Senin, 23 Mei 2011

BIDADARI POSMODERN
Ahmad Zamhari Hasan

SATU

Suasana kantin sekolah ramai dengan anak-anak yang bersenda gurau sambil menikmati makanan. Di pojok kantin nampak Hari duduk dengan canggung di hadapan Cecil, adik kelasnya yang cantik.
“E….a..nu.” Hari tak mampu mengeluarkan kata-kata dengan baik, dia gugup sekali.
“Tidak biasanya kau bersikap gugup di hadapanku,” sahut Cecil.
“Su….”
“Suntoloyo,” potong Cecil. “Becanda, gpp kan?”
“Yoi!” Hari mencoba menenangkan diri.
“Coba kau bersikap tenang, baru mengatakan yang hendak kau katakan. Oke?”
Hari menatap Cecil, yang ditatap balas menatap sesaat, lantas menundukkan kepala. Debar jantung Hari bergerak cepat.
“Hhhhhmmm!” Hari menarik nafas dalam-dalam. “A…aku men…cin…taimu,” Hari terbata-bata. Beban berat di pundaknya serasa lepas.
“What?” Cecil terperanjat mendengarkan kata-kata yang tak diduganya.
“Kau tak menyangka, ya? Tapi itulah yang kurasakan. Aku memendam perasaan ini lama sekali,” Hari gelisah menunggu jawaban.
“Ah!” Cecil bergumam tak jelas.
“Katakan sejujurnya perasaanmu padaku! Aku siap dengan kemungkinan terburuk sekalipun.”
“Kupikir kita adalah dua orang sahabat yang saling membutuhkan satu sama lain, bahkan kau kuanggap sebagai Kakakku. Bagaimana mungkin …”
“Aku mengerti, tidak usah dilanjutkan,” potong Hari. “Tetaplah menjadi Adikku yang baik.” Hari berusaha bersikap tenang, padahal perasaannya kacau balau.
“Aku tidak bermaksud menyakitimu.”
“Sudahlah! Tidak perlu kau pikirkan.”
“Maafkan aku, Kak Hari!”
“Tuuut! Tuuuut! Tuuuut!” bel sekolah berdering. Hari berdiri hendak membayar ke kasir, namun Cecil mendahuluinya. Hari tidak protes, dia menganggap gadis itu ingin menghiburnya.

Cecil melangkah menuju kelasnya, sedangkan Hari melangkah ke kamar mandi. Sesampai di kamar mandi, Hari menumpahkan emosinya dalam derai air mata. Setiap menghadapi masalah berat, dia selalu menangis. Dia tidak pernah menunjukkan kesedihan pada semua orang, melainkan menyimpan sendiri, entah menumpahkan di kamar mandi seperti di lakukannya kali ini atau di atas kasur di kamarnya.
Sebagai laki-laki, Hari memang sentimentil, dia mudah meneteskan air mata saat mengalami masa-masa sulit atau melihat sesuatu yang mengharukan. Dia sebenarnya benci dengan sikap sentimentilnya, sebab tidak mewakili sosok laki-laki yang macho, jentleman, jantan, keras. Mau apa lagi, sikap tersebut telah menyatu dengan dirinya, dia tak pernah mampu mengatasinya.
Selesai menumpahkan seluruh tangisnya, Hari membasuh muka dengan air. Dia menghilangkan sisa-sisa air mata. Dia menarik nafas berulang kali, mencoba bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Setelah merasa tenang baru melangkah menuju kelasnya.
“Dari mana saja kau?” bentak Pak Wiryo gurunya yang terkenal kiler.
“E… dari ka…mar mandi, Pak!” Hari gugup dibentak gurunya.
“Lama sekali. Ngapain kau di sana?” mata Pak Wiryo menatapnya tajam, Hari menundukkan kepala.
“Biasa, Pak!” sahut salah seorang murid.
“Bermain-main di kamar mandi asyik, kali,” balas yang lain.
“Ha ha ha!” suara tawa anak-anak membuat suasana kelas menjadi gaduh.
“Diaaam!” bentak Pak Wiryo, kelas hening kembali. “Kau berdiri di depan kelas dengan kaki diangkat sebelah.”
“Pak! A…ku…”
“Mau mematuhiku atau tidak?” potong Pak Wiryo. “Atau kau tidak boleh mengikuti pelajaranku selamanya jika tidak patuh. Efeknya kau tahu sendiri, Kau bisa tidak naik kelas lagi.”
“Aku tidak naik kelas akibat sakit keras sewaktu berusaha untuk berdiet agar tubuhku langsing, bukan karena kebodohanku,” sahut Hari dalam hati. Dia hanya berani protes dalam hati saja.
Sebagai murid dia tak kuasa membantah perintah gurunya, dia berdiri sambil mengangkat kaki sebelah. Dia benar-benar merasa bernasib buruk hari ini, sudah cintanya ditolak, ditambah sanksi berdiri oleh gurunya yang kiler.

Hari berdiri dengan kaki sebelah, ingatannya menerawang masa-masa dirinya tidak naik kelas, ini sebagai konpensasi tidak membebankan rasa sakit di kakinya. Waktu itu menjelang ujian, dia sedang rajin-rajinnya diet menurunkan berat badan dengan cara mengkonsumsi obat tertentu, mengurangi makan, dan rajin berolah raga.
Tanpa dinyana, diet yang dilakukan justru membawa petaka. Bukan mendapatkan apa yang diinginkan selama ini, yakni seorang gadis yang mau menjadi kekasihnya, justru Hari jatuh sakit parah berbulan-bulan, sehingga tidak bisa mengikuti ujian, dan tidak bisa bersekolah lagi, maka wajar dia kemudian tidak naik kelas. Padahal otaknya terkenal cerdas karena dia merupakan salah seorang anggota tetap the best of three semenjak kelas I sampai kelas III SMU sekarang.
Kegagalan diet melahirkan trauma dengan kata-kata tersebut, efeknya adalah tubuhnya yang gemuk tidak terkendali. Baginya, yang terpenting kini adalah menjalani hidup apa adanya, hidup dengan segala kekurangan yang dimiliki tanpa harus memaksakan diri menjadi orang lain yang atletis, tampan, menarik, atau menjadi primadona sekolah.
Mengkhayalkan masa lalu yang menggetirkan sekalipun, memungkinkan Hari untuk tidak terlalu merasakan sakit yang dirasa kakinya karena berdiri dengan kaki sebelah, bahkan pelajaran Pak Wiryo yang membosankan baginya berlalu dengan cepat tanpa terasa.
Pelajaran Pak Wiryo berakhir juga, Hari duduk ke tempat duduknya. Guru dengan mata pelajaran berbeda masuk, Hari sudah tak bisa berkonsentrasi. Dia terfokus pada kegagalan yang dialaminya.
Akhirnya pelajaran sekolah hari itu yang menjemukan, berakhir juga. Hari mempercepat langkahnya meninggalkan sekolah.
“Sukses?” cegat Kurus.
“Sorry aku terburu-buru!” Hari mengelak dari sahabatnya, dia ingin menyendiri.
“Katakan dulu!” Jefri berdiri di sampingnya.
“Tidak ada yang harus kukatakan.” Hari berlari menuju motornya yang di parkir di tempat parkir sekolah. Jefri berusaha mengejar, Kurus menahannya.
“Tidak usah dikejar, aku mengerti yang sedang dialaminya.”
“Maksudmu?”
“Kuyakin cintanya ditolak. Dia bersikap aneh setiap kali cintanya ditolak. Masa kau sudah lupa, ketika kelas II dulu cintanya ditolak Risa, dia tidak mau berbicara pada kita sepatah katapun.”
“Kau benar juga. Kasihan dia, untuk kesekian kalinya merasakan penolakan cinta dari seorang gadis.”
“Entah apa yang salah dengan dirinya, akankah karena bertubuh gemuk dia harus mengalami penolakan cinta terus menerus.”
“Menurutku masalahnya menyangkut pandangan hidup dan sikap mentalnya juga. Dia menurutku terlalu sensitif dan sentimentil terhadap wanita, di samping karena gadis-gadis yang diincarnya cantik-cantik semua untuk ukurannya, padahal keadaannya tidak mendukung hal itu.”
“Ya, dia harus lebih realistis jika ingin memiliki pacar.”
“Dari pada membicarakan kejelekannya, sebaiknya kita harus mencari cara untuk menghiburnya.”
“Itu lebih baik. Menurutmu apa?”
“Kita putuskan ntar malam aja. Aku akan ke rumahmu, baru kita mengunjungi sahabat kita yang patah tulang, eh patah hati.”
“Ha ha ha!” mereka tertawa.
Di dalam kamar, Hari tidur-tiduran di atas kasur, imajinasinya menerawang ke mana-mana. Mengingat yang dialaminya tadi pagi, dia mencatat hal itu sebagai kejadian yang ketiga dalam hidupnya.
Sewaktu SMP kelas tiga, dia merasakan cinta pertamanya dengan bintang kelas di sekolahnya yang bernama Rosita, seorang gadis cantik yang pintar. Banyak anak laki-laki yang menyukainya, dia mendapatkan para pesaing yang menyulitkan posisinya. Namun dia terus maju untuk mendapatkannya, sampai semua itu menjadi jelas.
“Aku kesulitan untuk tugas puisi, kau bisa bantu?” pinta Rosita.
“Itu gampang, asal kau mau menjawab setiap pertanyaan yang kuajukan. Bagaimana?” Waktu itu dia sedang belajar berdua di rumah Rosita, sedang keluarganya tidak ada di rumah.
“Kok pakai persyaratan segala, biasanya aku membantumu dalam tugas-tugas Matematika, kini giliranmu membantuku di bidang puisi.”
“Ini berbeda. Jika tidak setuju aku pulang,” Hari berdiri pura-pura ingin pulang.
“Oke, aku setuju.”
“Begitu lebih baik,” Hari tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya.
“Kau menyukai laki-laki tipe apa?”
“Pertanyaanmu ngawur, aku tidak mau menjawab.”
“Berarti gagal, dong!”
“Ah! Kau egois sekali. Baiklah! Aku suka lelaki yang membuatku senang.”
“Apa dia harus tampan?”
“Yap!”
“Apa harus bertubuh atletis?”
“Tidak mesti, fisik semata bukan ukuran.”
“Aku mulai memenuhi syarat,” ujar Hari dalam hati. “Apa dia harus pintar?”
“Asal tidak terlalu bodoh tak masalah.”
“Menilik dari jawabanmu tadi, bukankah aku memenuhi syarat?”
“Aku tidak mengerti.”
“E……” Hari menjadi gelagapan. “A…ku me..nyukaimu.”
“Heeh?” Rosita melongo.
“Apakah kau juga menyukaiku?” Hari berdebar-debar jantungnya.
“Lebih baik kita selesaikan PR ini,” Rosita mencoba mengalihkan perhatian.
“Kita sudah sepakat di muka, kau mesti menjawab pertanyaanku.” Suasana hening sejenak. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Apapun jawaban yang kuberikan, kau akan tetap membantuku menulis puisi dan kita tetap berteman baik.”
“Yoi!”
“Maaf! Aku sudah punya pacar.” Bagai disambar petir, Hari tersengat dari tempat duduknya. Harapan yang disusun indah dalam mimpi musnah. Dia benar-benar terkulai lemas. Cinta pertamanya berakhir menggenaskan. Setetes air mata mengalir di pipinya, dia mengusap dengan kedua tangannya.
Pada waktu kelas II SMU dia tertarik dengan Risa teman sekelasnya yang berwajah cantik. Meski tertarik, dia tidak kunjung menyatakan cintanya karena takut ditolak, padahal mereka telah sangat akrab sekali. Ketika memutuskan untuk menyatakan cintanya ternyata sudah terlambat, gadis itu menerima pemuda lain di hatinya.
“Ini untuk ketiga kalinya cintaku ditolak. Apa aku harus berhenti mencintai seseorang? Apa aku selamanya hidup jomblo? Mungkinkah ini akan menjadi akhir kisah cintaku. Tidak! Aku tidak boleh menyerah, bukankah kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda? Sampai kapan? Kini aku telah kelas III SMU, aku harus terus berusaha pantang menyerah,” ujar Hari dalam hati.
Matanya memandang langit-langit kamar, nampak kelihatan kabur karena pelupuk matanya masih digenangi air mata. Dia bangun, duduk di atas kasur. Menarik nafas dalam-dalam tiga kali, lantas melangkah menuju beranda rumah.
Melihat anak-anak sedang bermain tenis meja, Hari mulai asyik menonton untuk mencari hiburan. Pertandingan berlangsung seru menjelang skor akhir. Pertandingan itu berakhir dengan smash keras yang tidak bisa dikembalikan.
“Main yuk, Har! Mumpung lapangan lagi kosong, “ ajak Agustin tetangganya yang berwajah cantik, seksi, dan gemulai. Pemain yang bertanding sedang istirahat dengan melap keringat masing-masing, lapangan tidak ada yang memakai.
“Aku tidak mood untuk main!”
“Alasan! Paling takut kalah,” Agustin memancing emosi Hari agar mau bermain dengannya.
“Siapa takut kalah? Justru kau yang tidak pernah menang melawanku.”
“Buktikan, dong!”
“Oke!”
Hari mengambil bed di kamarnya, berganti pakaian sebentar, lantas melangkah keluar. Mereka mulai bermain. Agustin mengajak becanda sambil bermain, Hari merasa terhibur juga, walau dalam permainan dia banyak kalahnya.
“Kau kalah bukan?” Agustin mengemasi barang dan melangkah menuju rumahnya.
“Lain kali kubalas, kau!” Hari memasuki rumahnya juga.
Matahari bersembunyi di ufuk Barat. Siluet merah membayangi di angkasa, menyegarkan suasana di sekitar. Tiada beberapa lama adzan Magrib berkumandang.
Hari mengguyur kepalanya dengan air berulang kali, peristiwa-peristiwa menyedihkan hadir kembali. Selesai mandi melangkah ke lemari berganti pakaian. Pada saat memakai kaos, suara lagu Padi berbunyi di Handphonnya, bergegas dia mengangkat, ternyata Kurus yang menelpon.
“Ada perlu apa?” tanya Hari.
“Malam ini aku ingin mengajakmu nonton,” ajak Kurus.
“Nonton? Aku lagi bokek.”
“Tenang, kami yang traktir.”
“Bagus itu! Apa kau akan menjemputku?”
“Ya! Nanti kita berangkat bersama-sama dari rumahmu.”
Malam yang cerah, bintang-bintang menghiasi angkasa. Hari, Kurus, dan Jefri tiba di Blok M Mall, mereka melangkah menuju bioskop 21. Monopoli gedung bioskop oleh satu perusahaan membuat tontonan menjadi mahal, sehingga harga tiket tak terjangkau kalangan bawah. Mereka jarang menonton film di bioskop, bahkan mungkin tidak pernah nonton film di bioskop.
Mereka lebih senang menonton film-film baru yang disukai dengan membeli CD atau DVD bajakan yang berharga murah, meski kualitasnya kurang bagus, terjemahan yang tidak tepat dengan dialog di film, paling penting bisa menikmati tontonan film dengan murah.
“Mau nonton film apa?” tanya Jefri sambil melihat-lihat gambar.
“Aku terserah Hari saja,” sahut Kurus.
“Menurutku sih, lebih asyik nonton film Banyu Biru.”
“Pasti karena Dian Sastro main.”
“Bukan, aku tertarik dengan peran yang dimainkan Tora Sudiro, di samping rindu akting Dian Sastro yang telah lama tidak main film lagi setelah Ada Apa dengan Cinta.”
“Tuh, kan ujung-ujungnya Dian Sastro,” canda Jefri.
“Aku ikut Hari aja,” Kurus membela Hari, karena tujuan mereka nonton adalah untuk menghibur sahabatnya yang patah hati.
“Memangnya aku mau nonton sendirian?” sergah Jefri
“Waktu kita tinggal setengah jam lagi, sebaiknya mencari tempat duduk.” Mereka melangkah ke kursi tunggu, untung penonton hari itu tidak terlalu ramai, mungkin karena hari Selasa, mereka duduk dengan santai.
Ketika asyik duduk santai, mata Hari melihat seorang gadis cantik melihat-lihat gambar sendirian, dia menyikut kedua temannya. Mereka melihat gadis itu melangkah ke gambar yang lain, sehingga kecantikannya kelihatan dengan jelas.
“Luar biasa cantik,” ujar Kurus.
“Fantastik man!” Jefri tak mau kalah memuji.
“Perwujudan seorang putri kerajaan yang hidup dalam zaman ini!” Hari menggeleng-gelengkan kepala. “Gadis itu benar-benar cantik sekali, tak ada kata yang tepat untuk melukiskannya.”
“Pandai memuji tak ada gunanya. Siapa yang berani berkenalan dengan gadis itu, kutraktir makan. Setuju kagak?” Usul Jefri.
“Oke, Coy!” Hari bersemangat.
“Siapa takuuut?” Kurus tak mau kalah.
Hari berdiri dengan memperbaiki rambut dan pakaiannnya. Kurus yang ikut berdiri ditarik Jefri dengan tanda berkedip dari matanya.
Hari melangkah selangkah, seorang lelaki tampan datang dari kamar mandi berbicara sebentar dengan gadis itu dan mengamit tangannya. Hari terpaku pada langkah kedua.
“Kau ingin nonton film apa?” tanya cowok itu.
“Film ini sepertinya bagus,” balas sang gadis menunjuk film Banyu Biru.
“Tunggu sebentar! Aku mau membeli tiket.” Cowok itu pergi membeli tiket, Sang gadis menunggunya tepat di depan Hari.
“Ha ha ha!” mereka tertawa terbahak-bahak menarik perhatian gadis itu. Pada saat bersamaan Hari menatapnya, dua mata bertemu, degub jantung Hari bergerak kencang, sedang gadis itu bersikap cuek. Gadis itu dan cowoknya telah masuk ke dalam gedung bioskop.
“Hei! filmnya hampir mau diputar, kalian mau nonton, nggak?” Kurus mengingatkan teman-temannya yang asyik tertawa, Hari terduduk di kursi kembali, sedang Jefri pergi membeli tiket.
Mereka menonton film yang sama. Ketika menonton perhatian Hari terpecah, sesekali menoleh ke gadis itu yang duduk tidak jauh darinya. Sosok gadis itu benar-benar sangat kuat, bahkan dalam benak Hari timbul hasrat membandingkan antara gadis tersebut dengan aktris tokoh utama di film yakni Dian Sastro Wardoyo, dari sudut tinggi badan gadis itu lebih tinggi dari Dian Sastro, dari bentuk wajah sama-sama-sama berwajah cantik, namun gadis itu lebih unggul sedikit, dari rambut sama-sama panjang terurai indah, mata gadis itu lebih indah dari milik Dian Sastro, bibir yang tipis tanpa lipstik benar-benar menggetarkan kalbu, hanya saja dari sudut akting gadis itu tidak ada apa-apanya dengan Dian Sastro yang sudah teruji dengan piala Citra.
Ketika pulang dari nonton bioskop, diam-diam Hari mengajak teman-temannya untuk mengikuti gadis itu sampai ke tempat parkir.
“Ngapain sih, kita mengikutinya sampai ke tempat parkir segala,” gerutu Jefri.
“Aku setuju padamu, lagian gadis itu sudah punyak cowok,” Kurus juga gemas melihat tinggah Hari.

“Sosok gadis itu benar-benar kuat teman, kita boleh tidak memilikinya, namun paling tidak kita telah melihatnya sampai puas. Ayo kita cari bus untuk pulang.” Hari melangkah pergi, diikuti kedua sahabatnya. Mereka berusaha mau mengerti sikap Hari yang membingungkan, mungkin karena baru ditolak cintanya.
Kedua sahabatnya telah pulang, Hari melangkah menuju ke kamarnya dengan gontai, pikirannya dipenuhi bayang-bayang gadis di gedung bioskop, dia sulit memejamkan matanya di atas kasur, begitu terpejam dia tidur dengan pulas,
“Wajahmu perpaduan antara kecantikan seorang putri dengan balutan busana yang fashionable.”
“Kau terlalu memuji.”
“Lukisan Monalisa kalah cantik denganmu.”
“Gombal!”
“Matamu memancarkan sinar yang menusuk jantung, bibirmu yang seksi tanpa lipstik benar-benar menggairahkan, wajahmu yang unik tidak membosankan untuk dilihat, uraian rambutmu indah seindah berlian, tubuhmu yang seksi memiliki daya pikat tersendiri. Oh! Dewiku peluklah aku!” Hari hendak memeluk gadis itu, tapi dia malah menghindar, Hari terjatuh.
Begitu membuka mata, Hari kaget, dia terkulai di lantai, tubuhnya terasa agak sakit. Dia memimpikan gadis yang ditemuinya di gedung bioskop.
“Ah! Memimpikan gadis itu merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri, sebab dalam dunia nyata tidak mungkin memiliki gadis yang luar biasa itu,” ujar Hari dalam hati.
Hari masuk sekolah seperti biasa, pada waktu istirahat dia menyibukkan diri di perpustakaan. Dengan membaca buku, dia merasa bisa melupakan kisah cintanya yang menggetirkan. Membaca buku-buku sastra, novel, cerpen, puisi, merupakan sarana yang paling tepat melupakan kerumitan hidup dengan segala problematikanya. Apalagi dari beberapa buku yang dia baca, dia bisa menulis cerpen-cerpen baru yang siapa tahu bisa dimuat di koran atau majalah suatu waktu nanti.
Cecil mencari-cari Hari ke mana-mana, namun yang dicari tidak ditemuinya. Dia merasa bersalah pada Hari, dia ingin menghibur orang yang banyak membantunya selama ini tanpa pamrih. Dalam hati dia menggerutu mengapa harus ada cinta yang lahir dalam lubuk hati Hari, sehingga persahabatan mereka yang indah menjadi rusak.

Cecil sadar bahwa Hari menghindar untuk bertemu dengannya dalam beberapa hari ini, mungkin Hari masih mempersiapkan diri melupakan dirinya yang terlanjur dicintainya. Cecil yakin ketika suatu waktu Hari mampu membenahi perasaannya sendiri, Hari akan mau bersahabat dengannya kembali seperti dulu.
Hari tidak mungkin menghindar terus menerus dari Cecil, maka seminggu kemudian dia menemui Cecil. Mereka duduk santai, awalnya kelihatan canggung, sebab sama-sama menahan diri.
“Bagaimana pelajaranmu?” Hari memulai pembicaraan.
“Apa?” Cecil rupanya tidak memperhatikan perkataan Hari, ketika sadar dia tersenyum pada diri sendiri.
“Apa kau mengalami kesulitan menerima pelajaran?”
“Tidak! Kau sendiri?”
“Untukku tidak ada pelajaran yang sulit, yang sulit justru mendapatkan pacar.”
“Maaf! Aku telah menyakiti hatimu!”
“Kata-kataku tadi bukan ingin mengingat kejadian seminggu lalu. Ini cuman lelucon, tak usah ditanggapi dengan serius, oke?”
“Berarti kau telah melupakan kejadian itu?”
“Udah lupa, tuh!” Hari mengacak-acak rambut Cecil, Cecil tertawa senang. Apa yang ditakutinya selama ini tidak terjadi, dia bisa bersahabat dengan Hari. Dalam lubuk hati yang paling dalam, Cecil sebenarnya mengagumi Hari yang mampu bersikap bijak dalam menyikapi apa yang terjadi di antara mereka.


DUA

Beberapa anak asyik bermain basket, salah seorang melempar bola yang melambung ke angkasa, bergerak di sekitar ring, bola lantas masuk ke dalam keranjang. Hari yang bertubuh gemuk menonton di pinggir arena, tubuhnya tak memungkinkan ikut bermain, walau dalam lubuk hati timbul hasrat untuk menikmati permainan di tengah lapangan.
“Tumben, bengong sendirian? Biasanya bersama grupmu,” tegur Tyas teman sekelasnya, dia duduk di samping Hari.
“Tahu, pada kemana dua makhluk asing itu,” balas Hari.
“Cerpenmu yang dimuat di majalah sekolah bagus sekali. Apalagi Judulnya “Setitik Harapan!” membuat pembaca tertarik untuk membaca, isinya juga bagus dengan ending cerita yang mengugah kreatifitas pembaca.”
“Wow, penilaian yang komplit. Terima kasih atas komentarnya, Nona!”
“Penilaianku benar-benar obyektif.”
“Jika cerpen itu bagus, apa pengaruhnya bagiku?”
“Jelas ada, dong! Kau bisa mengembangkan bakatmu di bidang penulisan cerpen, sehingga tulisanmu bisa dimuat di majalah komersial yang bisa menghasilkan uang, seperti cerpen-cerpenku.”
“Proses untuk penulis pemula berliku-liku dan susah sekali.”
“Aku akan membantumu.”
“Really?” Hari menatap Tyas, Tyas balas menatap, dia menemukan keseriusan di pelupuk mata itu.
“Super sungguh-sungguh!”
“Sebuah tawaran yang menarik juga, tapi aku tidak punya majalah cerpen, buku-buku kumpulan cerpenpun tak punya, aku bisa menulis karena senang membaca di perpustakaan. Apa yang kubaca dijadikajan sumber inspirasi untuk tulisan cerpenku, di samping membaca kenyataan yang ada di sekitar kita!”
“Aku punya banyak macam buku di rumahku, kau tinggal pilih buku-buku yang diinginkan,” Tyas diam sebentar. “Hampir bel, ke kelas yuk! Nanti malam kutunggu kedatanganmu di rumahku,” ajak Tyas.
Hari menganggukkan kepala. Mereka melangkah menuju kelas. Berhubung sekelas, mereka masuk ke kelas yang sama.
Pada malam harinya Hari pergi ke rumah Tyas. Dia kagum melihat rumah yang lumayan besar dibandingkan dengan rumahnya yang sederhana, di samping rumah ada bagasi yang lumayan besar, mungkin muat tiga mobil sekaligus.
Hari memijit bel, dari dalam terdengar langkah kaki pelan menuju pintu.
“Mencari siapa?” seorang wanita setengah baya membukakan pintu.
“Tyas, ada?”
“Kau pasti Hari, masuklah!” mungkin Tyas telah menceritakan kedatangannya, sehingga wanita tersebut yang ternyata mama Tyas langsung menyuruh masuk. Tiada beberapa lama Tyas muncul, mamanya beranjak menuju ruangan di lantai dua.
“Sudah lama?”
“Baru saja sampai,” Hari duduk santai di atas sofa yang empuk. “Tata ruang rumahmu indah sekali, menyegarkan pandangan orang yang melihat.”
“Biasa aja!”
“Aku yang baru pertama kali ke sini merasa betah.”
“Makanya sering-sering main ke mari.”
“Mau minuman apa, Non?” Seorang pembantu menyela pembicaraan mereka.
“Biasanya kalau orang gemuk suka jus apel. Betul nggak?”
“Tepat sekali!”
“Bi! Buatkan jus apel dua!” Pembantu itu melangkah ke dapur.
“Menjadi orang gemuk sungguh tidak mengenakkan, sebab menjadi orang yang paling dibenci di bumi,”
“Justru orang gemuk yang mampu memberi senyum pada dunia.”
“Sehari ngobrol denganmu membuatku besar kepala.”
“Ini minumannya, Non!” Pembantu meletakkan dua minuman.
“Terima kasih!” ujar Hari. Pembantu itu tersenyum, lantas melangkah ke dalam.
“Minumlah, Har!” Tyas meminum jus, Hari juga meminumnya. “Nanti kau buat cerpen yang bagus, kalau bisa tentang cinta. Sebab cerpen-cerpenku yang dimuat di majalah, rata-rata tentang cinta, tentu dengan sudut pandang berbeda dan ceritanya harus menarik.”
“Tentang cinta?” suara Hari parau, seperti berbicara pada diri sendiri.
“Kau pernah jatuh cinta dan dicintai seorang gadis, bukan?”
“Pernah, tiga kali malah, semuanya ditolak mentah-mentah,” ujar Hari dalam hati. “Per…nah,” Dia terpaksa berbohong.
“Tulis saja pengalaman hidupmu itu, asal sudut pandang yang ditulis harus lain dari pada yang lain. Dalam cerpen yang hendak kau ditulis, buat cerita yang menegangkan, konflik yang menarik, menimbulkan rasa penasaran pembaca, sehingga mereka bisa membaca sampai tuntas. Kalau kau sudah bisa membuat cerpen yang membuat orang senang membacanya sampai akhir, kau bisa menjadi penulis terkenal.”
Handphon Tyas berbunyi, dia melihat yang menelpon lantas mematikan Handponnya. Hal itu berlangsung sampai tiga kali. Hari yang memperhatikan kejadian itu, merasa ada sesuatu yang disembunyikan Tyas.
“Kok tidak diangkat?”
“Bukan siapa-siapa,” Tyas agak salah tingkah.
Hari mengerti ada sesuatu yang terjadi pada temannya, tapi Hari tak mau mengorek lebih dalam, bukan urusannya.
“Agar aku bisa membuat cerpen yang bagus, aku ingin meminjam majalah yang bisa memuat cerpenku suatu saat nanti, buku metode penulisan cerpen, buku kumpulan cerpen.”
“Tunggu sebentar!” Tyas Masuk ke ruang perpustakaan keluarga. Dia memilih beberapa buku seperti yang diinginkan Hari. Tyas kembali menemui sahabatnya.
“Ini,” Tyas menyerahkan tiga buah majalah remaja yang berbeda, dan duah buku.
“Biar kepelajari dulu semua yang kau pinjamkan. Aku berpamitan dulu!”
“Kok buru-buru?”
“Sudah malam,” Hari berdiri dan melangkah menuju halaman rumah, Tyas mengikuti.
“Salam pada Mamamu!”
“Nanti kusampaikan. Semoga sukses, ya!” Hari melangkah menuju motornya.
“Thanks! Sampai ketemu di sekolah.”
Hari menyalakan motornya, dia sempat menoleh dengan senyum dikulum, dia melambaikan tangan, lantas menjalankan motornya. Ketika melewati pagar sebuah mobil masuk, James lelaki yang ada dalam mobil melihatnya sekilas, Hari bersikap cuek, kemudian melanjutkan perjalanan.
“Siapa lelaki itu Tyas?” ujar James penuh rasa cemburu sambil melangkah keluar dari mobilnya.
“Apa pedulimu?” ucapan Tyas tidak kalah sengit.
“Aku masih pacarmu sampai detik ini? Tentu aku peduli. Kecuali kau punya gebetan baru.”
“Kau yang punya gebetan lain. Aku malas bertengkar denganmu. Boring tahu!”
Tyas Berjalan cepat ke dalam rumah, James berusaha memegang tangannya, tidak berhasil. Tyas menutup pintu dengan keras.
“Kita harus bicara, Tyas. Tolong buka pintunya!” Tidak ada jawaban dari dalam. Setelah tidak dijawab-jawab, James melangkah menuju mobilnya dan pulang.
Tyas melangkah ke kamarnya. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur, matanya menerawang ke atas memikirkan masalah yang dialami dengan pacarnya.
“Ada apa sayang?” Tiba-tiba mamanya sudah ada di sampingnya.
“Tidak ada apa-apa, Ma!” Tyas menutup mukanya dengan bantal menyembunyikan air mata yang menggenangi kelopak matanya..
“Tidak apa-apa, kok nangis.” Tyas tidak menyahut. “Katakan saja, siapa tahu Mama bisa membantu.”
“Aku bisa mengatasinya sendiri, Ma!”
“Oke jika begitu. Tapi seandainya tidak mampu mengatasinya, Mama siap membantumu kapan saja.” Tyas meletakkan bantal di sampingnya, dia lalu memeluk mamanya. Mamanya memeluk erat.
“Mama baik sekali. Untuk kali ini biar aku mengatasinya dengan caraku sendiri, baru meminta bantuan Mama.”
“Kau semakin dewasa sekarang.” Pelukan mereka dilepaskan.
“Istirahatlah sambil mencari solusi terbaik! Mama ke kamar dulu!” Tyas mengangguk. Dia menatap kepergian mamanya dengan senyum. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Kelopak matanya susah dipejamkan, imajinasinya mengelana tak tentu arah, perasaannya berkecamuk tak menentu, pikirannya berusaha diikutkan agar menemukan jalan keluar, barulah perasaan dan imajinasinya bisa diarahkan pada sesuatu yang diinginkan.
Hari berjalan-jalan dengan Tyas di Mall. Mereka melangkah menuju toko buku Gunung Agung. Saat asyik mencari-cari buku bacaan yang ingin dibeli, Hari melihat gadis cantik yang dilihatnya di gedung bioskop sedang berjalan bersama seorang pemuda tampan. Hari terpesona dengan kecantikannya, gadis itu sempat bertatapan dengannya sekilas, tapi sikapnya tetap acuh.
“Lihat siapa? Kok bengong begitu!” tegus Tyas.
“Ti…dak!” Hari gugup. “Hanya melihat pemandangan bagus.”
“Mana ada pemandangan di sini, pasti melihat gadis cantik. Mana?”
“Bukan, maksudku dengan pemandangan adalah cara penyusunan buku di toko ini benar-benar menarik.”
Pada saat ngobol, Tyas melihat James bersama seorang wanita cantik. Ketika James melihatnya, Tyas mengamit lengan Hari dan mengajaknya keluar dari toko buku. Hari merasa bahagia tanpa menyadari apa yang sesungguhnya terjadi, yang ada dalam benaknya adalah target memiliki pacar pada kelas III SMU akan segera kesampaian.
James marah melihat hal itu, tapi tidak bisa meninggalkan gadis di sampingnya. Tyas meninggalkan Mall dengan raut muka cemberut.
Hari menemui Tyas pada malam harinya sambil menyerahkan cerpen yang ditulisnya. Tyas membaca dengan seksama cerpen berjudul Cinta Berbuah Prahara, sesekali dia tersenyum sendiri, mengkerutkan kening, memejamkan mata sambil merenungkan isinya.
“Lumayan, juga!” komentar Tyas.
“Syukurlah!” Hari merasa lega mendengar komentar yang positif untuk cerpennya. Sebuah komentar tentang karya sastra memiliki dua pisau berbeda, satu segi membangkitkan motivasi untuk menghasilkan karya yang lebih baik, dalam segi berbeda bisa membunuh kreativitas seseorang. Seorang penulis yang baik akan menanggapi setiap penilaian sebagai upaya menghasilkan karya yang lebih baik pada masa mendatang, tanpa terjebak dalam bentuk penilaian yang dibuat.
“Kelemahannya ada beberapa pilihan kata yang kurang tepat, kurang gaul dan perlu disesuaikan dengan pembaca remaja. Dari sudut plot yang menggunakan alur maju cukup menarik, temanya juga orisinil tentang perubahan cinta menjadi petaka dalam kehidupan sepasang kekasih, untuk setting agak lemah sebab pembaca dibuat tak mampu menghayati seakan-akan hadir di tempat atau waktu yang dituju dalam tulisanmu, karakter tokoh juga perlu diperkuat lagi.”
“Aku senang dengan penilaianmu yang obyketif dari berbagai sudut pandang, kau tidak sekadar berbakat menjadi penulis cerpen, namun juga berbakat menjadi kritikus sastra.”
“Pujian adalah racun yang mematikan.”


“Racun bagi yang terlena, obat dari racun, bagi yang menganggap sebagai sarana meningkatkan kemampuan diri,” Hari menatap Tyas sekilas, lalu menundukkan kepalanya. “Apa menurutmu bisa dikirim ke majalah tempat tulisanmu pernah dimuat?”
“Bisa, asal kau sempurnakan lagi. Setelah sempurna, serahkan padaku di sekolah, biar aku edit kembali, baru mengirimkannya ke majalah. Urusan pengiriman biar aku yang urus.”
“Kau baik sekali!” Hari merasa senang dengan kebaikan Tyas padanya. Dia tidak langsung pulang ke rumah, melainkan pergi ke rental komputer, lantas memperbaiki tulisannya; perbaikan pada pilihan kata, memperkuat karakter tokoh, memfokuskan sudut pandang tulisan, menambah gambaran setting yang lebih tepat, dan memperbaiki bagian-bagian cerita yang kurang relevan dengan keseluruhan alur cerita.
Keesokan harinya, Hari menyerahkan disket pada Tyas. Tyas menerima dengan senang hati. Baginya sebagai sesama penulis, alangkah senang bila ada orang lain di sekolah yang tulisannya bisa dimuat di majalah, dia merasa turut merasa bahagia melihat keberhasilan sahabatnya, apalagi dirinya turut memberikan andil. Padahal terkadang banyak penulis yang tidak mau berbagi pada orang lain sesama penulis yang dianggap sebagai saingan, sehinggga dimusuhi dan dijauhi.
Sesampai di rumah Tyas memeriksa tulisan Hari secara teliti, kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, dan keseluruhan tulisan secara utuh, dia sedikit melakukan perbaikan, cerpen tersebut dianggapnya cukup sempurna. Selesai diperiksa, dia print cerpen tersebut, lalu dia menulis surat pengantar singkat. Tyas memasukkan semua yang diprint dalam amplop, dengan tetap menulisakan nama Hari sebagai penulis berikut alamat rumahnya. Keesokan harinya, dia kirimkan ke majalah yang sesuai dengan cerpen tersebut.

TIGA

Pagi yang cerah, mendung tidak tampak di angkasa. Hari meliuk-liuk dengan motornya di antara beberapa mobil yang padat. Tanpa disadarinya sebuah mobil mengikuti dari belakang.
Di perempatan jalan yang agak sepi, sebuh mobil mencegatnya. Tanpa basa basi Hari dikeroyok tiga orang pemuda, salah satunya adalah lelaki yang dilihatnya di rumah Tyas.
“Hajar teman-teman!” perintah James sambil mengirimkan tendangannya yang keras, Hari terjengkang. Dua orang pemuda lain mendatanginya dan mengirim beberapa pukulan telak. Handphon yang ada di saku hari terlepar, melihat hal itu salah seorang pemuda menginjak-injaknya sampai hancur.
Sementara itu, James mengambil bensin dari dalam mobil dan menyiramkan ke motor Hari, James membakar motor dengan korek api. Melihat hal itu, Hari mengerahkan tenaga yang dimiliki untuk melawan, tapi dia tak berdaya dikeroyok teman-teman James. Untung waktu itu ada orang lewat yang berteriak, sehingga mereka berlari meninggalkannya menuju mobil James. Mobil itu berjalan kencang meninggalkannya babak belur.
Orang yang berteriak mendekatinya, demikian juga beberapa orang yang kebetulan lewat di tempat itu.
“Kau tidak apa-apa?” tanya orang yang berteriak.
“Aku baik-baik saja,” Hari berusaha bangun perlahan dibantu orang-orang yang ada di sekitarnya. Dia duduk dengan lesu memandangi motor yang hangus terbakar dan Hpnya yang hancur berkeping-keping. Baginya tubuh babak belur tidak ada artinya, tapi motor pemberian Bapaknya yang hangus terbakar dan Hp yang hancur akan membawa masalah besar di rumahnya.
“Ada bengkel terdekat dari sini?” tanya Hari.
“Tiga ratus meter dari sini ada bengkel, kau bisa membawanya ke sana!” sahut salah seorang yang membantunya.
“Kau sebaiknya memikirkan dirimu dari motormu,” seorang lelaki setengah baya menasihati.
“Keadaanku tidak lebih penting dari motor itu, lagi pula aku hanya mengalami luka yang ringan.”
“Apa kau sanggup membawanya?” tanya lelaki kurus dengan pakaian compang camping.
“Nanti kumuat dalam Bajaj. Terima kasih atas bantuan kalian.” Satu persatu mereka meninggalkannya. Tiada beberapa lama, Hari menyetop Bajaj, awalnya tidak bersedia mengangkut, setelah ditawari sejumlam uang yang lumayan, pengemudinya bersedia mengangkutnya menuju bengkel terdekat.
Hari diam di bengkel itu seharian, dia tidak masuk ke sekolah. Untung pemiliknya orang yang baik hati. Lewat jasa pemilik bengkel, rongsokan motor bisa laku terjual. Hari memegang sejumlah uang.
Hari baru pulang ke rumah malam harinya. Dia bingung menghadapi kedua orang tuanya, sebab motornya yang dibeli dengan susah payah oleh mereka, kini habis sudah.
“Sampai larut malam begini baru pulang, keluyuran ke mana kamu?” tegur Bapaknya.
“Sa…ya ..” suara Hari terbata-bata tak bisa melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa mukamu babak belur?” Sebelum Hari menjawab, Bapaknya melangkah keluar karena dia merasa curiga, ternyata motornya tidak ada. Kembali ke dalam dengan amarah. Sedang Hari duduk di atas kursi didampingi Bu Maryam ibunya.
“Mana motormu?” Bentak Bapaknya.
“Rusak, ada di bengkel Pak.”
“Berarti kau tawuran, sehingga motormu rusak,” Bapak Hari mendekatinya dan menarik lengannya, Hari bersikap pasrah. Ibunya menangis sesungukan. “Ayo Jawab!”
“Tidak, Pak! Saya tidak tawuran,” Hari merasa tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya terjadi, sebab orang tuanya tidak akan percaya, lagi pula dia tidak mengetahui pasti orang-orang yang mengeroyoknya. Memang salah seorang di antaranya pernah dilihatnya di rumah Tyas, tapi siapa dia, Hari tak tahu pasti.
“Bohong! Buktinya kau babak belur begini. Dasar anak bandel!” Bapaknya mendorong tubuh Hari yang jatuh terjengkang. Bapaknya melangkah ke luar rumah. Ibunya menangis memeluk anaknya yang menatap dengan tatapan kosong.
Hari tidak masuk sekolah keesokan harinya. Baru setelah merasa keadaannya lebih baik, dia masuk ke sekolah seperti biasa.
“Dua hari tidak masuk, kemana aja?” tegur Kurus.
“Aku terjatuh dari motor,” Hari berbohong pada temannya, dia terbiasa menyimpan masalahnya sendiri. Dalam menjalani hidupnya selama ini, dia ingin berbagi kegembiraan dengan orang lain, namun kesedihan dan penderitaan akan ditanggung sendiri.
“Apa? Kenapa tidak menghubungiku. Kau selalu begitu, kalau sedih ditanggung sendiri, kalau gembira dibagi bersama. Lihat mukamu!” Kurus memegang muka Hari yang masih kelihatan babak belur. Ketika Kurus melihat-lihat muka Hari, Tyas memanggil dari belakang.
“Har, sini!” panggil Tyas. Hari menoleh, namun tetap tak bergeming dari tempatnya.
“Nanti kuingin dengar ceritamu tentang keadaanmu. Temui gadis itu dulu!” Kurus meninggalkan Hari. Tyas yang merasa diacuhkan mendekatinya.
“Dipanggil, malah bersikap acuh,” Tyas berdiri di hadapan Hari. “Kau kenapa?”
“Aku tak apa-apa,” gumam Hari.
“Wajahmu babak belur, kau bilang tak apa-apa,” Tyas memegang muka Hari, Hari merasa jengah, walau hati berbunga. “Habis berkelahi ya?”
“Aku jatuh dari motorku,” Hari tidak mau menceritakan yang sebenarnya, meski sebenarnya dia penasaran dengan orang-orang yang mengeroyoknya. Di samping itu dia memiliki rencana yang akan dilaksanakan pada malam panggung kesenian sekolah yang semakin dekat. Berhubung orang yang mengeroyoknya ada keterkaitan dengan Tyas, maka dia tidak ingin mengacaukan rencana yang dibuat dengan cara menyembunyikan kejadian yang sebenarnya.
“Pantas kau tidak masuk dua hari ini. Sorry ya! aku tidak tahu kau kena musibah, jika tahu pasti aku menjengukmu.”
“Terima kasih atas perhatiannya. Oh ya, seminggu lagi akan berlangsung Panggung Kesenian di sekolah kita, kau katanya yang mempersiapkan drama kisah cinta 1001 Malam. Benarkah?
“Ya, benar, latihannya sudah sekitar 60 %, nanti pas acara 100% siap. Tapi aku tidak ikut tampil. Kau katanya akan tampil bersama grup lawakmu.”
“Biasa, membuat dunia tertawa adalah hobiku, maka tampil dalam acara komedi di panggung kesenian adalah sesuatu yang kusukai. Kau pasti hadir?”
“Off course!” Mereka masuk ke dalam kelas.
Malam berkabut, gelap memayungi angkasa, segelap pikiran Hari saat menghadapi Bapaknya. Dia tidak mampu menutupi perihal motornya yang terbakar habis gara-gara pengeroyokan.
“Mana motornya? Katanya diperbaiki di bengkel,” tegur Bapaknya. Hari diam tak menjawab. “Kau pasti bohong soal kecelakaan itu, paling kau jual telah menjualnya.”
“Motor hancur dibakar orang-orang yang mengeroyokku,” Hari mencoba bersikap jujur.
“Benar dugaanku, kau tawuran. Plaar Plaar Plaar!” Tiga tamparan mengenai muka Hari. Ibunya bergegas memeluknya.
“Sudahlah Pak! Motor bisa dibeli lain kali.”
“Dibeli pakai jidatmu! Makanya jangan manjakan anakmu itu, kenakalannya semakin menjadi-jadi.”
Hari menangis di pangkuan ibunya, Bapaknya menghidupkan TV dan menonton sambil bersungut-sungut. Kemudian Bu Maryam membawa anaknya ke kamar.
“Sebenarnya motor itu kau kemanain?”
“Motorku rusak dibakar orang yang mengeroyokku.”
“Sungguh?”
“Ibu tidak mempercayaiku tak apa-apa.”
“Ibu percaya kok,” Bu Maryam berdiri. “Kau istirahat dulu, pukulan Bapakmu jangan diambil hati.” Hari menganggukkan kepala, dia berusaha mengerti sikap kedua orang tuanya, sebab pada kenyataannya motor dan Hb terlanjur rusak tak dapat diperbaiki.
Malam yang indah, anak-anak memenuhi aula sekolah. Panggung tertata rapi dengan warna warni lampu yang serasi. Suara musik dari tape recorder terdengar sebelum acara dimulai. Tiada beberapa lama muncul MC memulai acara. Acara diawali dengan tari modern mengikuti musik R&B yang menghentak dari Miss Elliot.
Sebelum giliran tampil di atas panggung, Hari mengajak Tyas ke belakang sekolah. Suasana sepi dan agak gelap, Hari berdiri di depan Tyas. Suara musik terdengar dari Panggung kesenian.
“Untuk apa kau mengajakmu kemari, Har?”
“E…anu …” Hari gemetar, perasaannya kacau.
“Anu apa?” Tyas memandang Hari, yang dipandang menundukkan kepala.
“Kuharap kau tidak menertawakanku.”
“Bagaimana mau menertawakanmu, kau belum mengatakannya. Kau katakan dulu yang ada di benakmu. Bukankah kita bersahabat?”
“Aku ingin lebih dari sekedar sahabat,” ujar Hari dalam hati.
“Sebentar lagi giliranmu tampil, sebaiknya cepat sampaikan keinginanmu!”
“Aku menyukaimu!”
“Benarkah?” Tyas melongo.
“Ya, malah aku mencintaimu.”
“Ta…pi ….” Tyas tidak dapat melanjutkan ucapannya. Dia tidak berani menatap Hari yang menunggu dengan harap-harap cemas. Suasana hening bagi mereka berdua
“Katakanlah sejujurnya, Tyas!”
Tyas memainkan ujung kukunya, imajinasinya menerawang jauh. Selama ini dia bersikap baik pada Hari untuk memanas-manasi pacarnya, dia tidak sadar sikapnya malah membuat Hari GR, sehingga kali ini menyatakan cinta padanya. Dia bingung tak tahu harus mengatakan apa.
“Har, a…ku,” Tyas tidak sanggup meneruskan kata-katanya, Hari menunggu dengan cemas.
“Katakanlah!”
“Ka..u,” Tyas diam sejenak. “Kau sahabat terbaik bagiku, tidak lebih dan tidak kurang,” suara Tyas lirih.
Bagai dihantam benda yang keras, Hari merasa hancur lebur, dia lunglai, tak berdaya, sedih, tapi seperti biasa dia berusaha bersikap tegar
“Hhm hhmm hhmm!” Hari menarik nafas tiga kali, sesuatu yang dilakukannnya dalam keadaan galau. “Kuhargai kejujuranmu.”
“Maafkan aku, Har!”
“Aku benci kata-kata maaf dari seorang gadis, sebab itu berarti bencana bagiku,” ujar Hari dalam hati. “Aku ingin kau tahu satu hal, wajahku babak belur bukan karena jatuh dari motor. Aku dikeroyok oleh lelaki yang kulihat di rumahmu saat pertama kali aku ke rumahmu untuk meminjamkan buku. Dia bahkan membakar motor dan menghancurkan Hpku.”
Hari berlari cepat menuju Panggung Kesenian. Dia tidak menceritakan yang sebelumnya karena tidak ingin dikasihani, dia ingin dicintai karena memang pantas dicintai seorang gadis bukan rasa belas kasihan.
“Benarkah?” Tyas mendongakkan kepala, Hari sudah tidak ada di hadapannya. Dia tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Berarti yang membuat muka Hari babak belur adalah James kekasihnya.
Kurus dan Jefri menunggu Hari dengan gelisah, karena giliran mereka untuk tampil hampir tiba, sedang yang ditunggu belum muncul juga. Tiada beberapa lama Hari datang dengan nafas terengah-engah.
“Heh heh heh. Sorry teman!”
“Dari mana saja kau?” Jefri bertanya dengan suara tinggi.
“Minum air ini dulu!” Kurus menyerahkan sebotol air Aqua, dia merasa sesuatu terjadi pada sahabatnya, jadi dia berusaha mengerti keadaannya.
Hari meminum air itu sampai habis tak bersisa, perlahan-lahan dia berusaha menguasai keadaannya.
“Aku ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan tadi, makanya terlambat datang ke sini.” Hari mengenakan kostum lawaknya, perutnya ditambah bantal agar lebih besar, sebab dia menjadi PRIA HAMIL dalam lawakan tersebut
“Agar suasana malam bertambah meriah, mari kita siap tertawa bersama-sama grup lawak masa depan Indonesia, Grup 101 dengan judul PRIA HAMIIIL. Selamat menyaksikan!” suara MC panggung memanggil mereka. Hari bergegas memperbaiki kostumnya.
Sementara itu Tyas yang berbaur dengan penonton mencari-cari James yang berjanji akan hadir dalam panggung kesenian, saat yang sama James mencarinya.
“Aku mencarimu dari tadi, sayang!”
Tyas tidak menjawap, dia justru menempeleng James, James kaget setengah mati, orang-orang yang ada di sekitar menoleh pada mereka.
“Belum apa-apa kau menamparku. Ada apa?”
“Kau lelaki brengsek! Bukankah kau yang mengeroyok Hari dan membakar motornya.” Giliran James yang salah tingkah. “Benar kan?”
“Kupikir kau berselingkuh dengannya.”
“Ah!” keluh Tyas. “Tadi Hari menyatakan cintanya padaku dan kutolak, justru kau menghajarnya sampai babak belur,” Tyas tak kuasa menahan air matanya. James berusaha menenangkan kekasihnya dengan memeluk tubuhnya. Tyas justru memberontak, tapi James memeluknya lebih erat.

Sedang di atas panggung, Hari muncul dengan perut sangat besar, belum ngomong apa-apa penonton tertawa terbahak-bahak. Perhatian setiap orang kini tertuju ke panggung. Tyas melepaskan pelukan James, dia menghapus air matanya dan mengalihkan pandangan ke panggung. Mau tidak mau James juga melihat.

HARI
Sekarang zaman Edaaaaan, anak SMU hamil biasa, anak kandung dihamili Bapaknya, mulai ramai gitu Lho! (dengan nada khusus) Bahkan aku sebagai pria sejati, diperkosa sampai hamil juga. Awas kalau pacarku tidak bertanggung jawab, kucincang nanti. Wes ewes bablas angene! (sambil menirukan iklan Basuki)

KURUS tampil ke atas panggung dengan pakaian banci, langsung dijewer HARI

KURUS
Aduuh sakit sayang! (dengan suara dibuat-buat seperti suara banci)

HARI
Sebagai orang yang setengah pria dan wanita, kurang ajar kau! Membuatku bunting begini.

KURUS
Tenang, sayang! Aku akan bertanggung jawab. Tapi KUA mana yang mau menikahkan kita?

HARI
Ya ya ya ya ya (penonton tertawa)

KURUS
Aku sudah mendatangkan dokter spesialis binatang hamil
JEFRI muncul membawa pisau, kapak, dan alat suntuk besar untuk hewan

JEFRI
Aku dokter spesialis gajah, kudengar di sini ada gajah hamil, betul apa betuuul!

PENONTON
Betuuul!

HARI
Aku takut sayang! (bersembunyi di belakang KURUS)

KURUS
Jangan takut! Hanya dokter ini yang bersedia membantumu melahirkan, dokter yang lain tidak bersedia. Mereka tidak percaya ada pria hamil, sedang dokter gila ini menganggapmu seperti gajah.

JEFRI
Jangan ribut! Kalau tidak bersedia aku pulang (pura-pura beranjak pergi)

HARI
Baiklah sayang, aku bersedia. Aduh, aduh, aduuuh, anakmu menggeliat, honey!

Penonton tertawa, KURUS mendekatkan kepalnya ke perut HARI

JEFRI
Sebelum operasi Cesar, kupersilahkan memberi pesan terakhir

HARI memegang secarik kertas berisi puisi, JEFRI Juga memegang kertas, mereka membaca bergantian




HARI
Malam gulita tanpa sebintik cahaya
Petang menyelimuti jagad raya
Hati merintih pilu tanpa daya
Jauh dari harap, kasih dan cinta


KURUS
Malam gulita waktu tidur nyenyak
Khok khok khok mengerok nyaring
Asyik kaaan! (penonton tertawa)
Hati perih kalau diputus pacar
Hilang satu cari lagi, peduli amat sih!

Penonton tertawa terbahak-bahak

HARI
Hidup adalah jalan terjal berliku
Duri tajam senantiasa memerah darah
Menjalani hidup takdir manusia dari dulu
Memaknai dengan tinta-tinta surah
Menguak duri, menghancurkan sembilu

Tyas tak kuasa mendengar puisi itu, sebagai seorang penulis dia memahaminya sebagai tragedi baginya yang telah menjadi penjahat bagi Hari sahabatnya yang tulus. Dia pergi dari kerumunan penonton menuju mobil diikuti James, tidak ada gunanya menyaksikan dramanya. Mobil yang mereka tumpangi pergi meninggalkna sekolah.

KURUS
Orang hidup, tentu tidak mati
Orang mati tentu tidak hidup, pusiiiiing aku! (menggaruk kepala)
Gini aja, deh teman-teman
Lakoni Hidup nopo?
Hidup pancen oye! (mengajak penonton mengikuti)

PENONTON
Hidup pancen oye! (Penonton tertawa terbahak-bahak)

JEFRI
Banyak amat pesanmu. Sekarang ke meja operasi!

Di panggung ada meja tertutup kelambu. Setelah ditidurkan, mulailah JEFRI mengoperasi. Awalnya alat suntik diangkat tinggi-tinggi

HARI
Ooiii, Sakiiiiit!

JEFRI
Tenang dijamin masih hidup, kau!

JEFRI mengambil pisau diacungkan ke langit dan seperti membelah sesuatu. Lalu mengambil kapak dipukul-pukulkan ke meja

KURUS
Jangan kasar, dokter! Nanti pacarku mati.

BAYI
Oeee, oeee, oeee! (suara tangis bayi)

JEFRI melemparkan boneka ke penonton, Penonton berebutan mendapatkannya, malah boneka yang direbut tak berbentuk lagi karena ada yang mendapatkan tangan, kaki, perut, dan kepala.

JEFRI
Ini anak dari seorang pria. (melemparkan boneka lain) Tunggu tidak hanya satu, ini lagi, ini lagi. (sampai lima boneka)

HARI
(berdiri dari meja operasi) Anakku, mana?

JEFRI
Sudah kuserahkan ke pononton.

HARI/KURUS
Dasar dokter gila
Mereka menjewer telinga dokter itu dan melangkah ke tengah panggung

HARI/KURUS/JEFRI
Jika masih sekolah, Jangan HAMIL teman-teman!

Acara lawak selesai dengan meninggalkan kesan yang mendalam dalam setiap penonton karena kelucuan dan pesan moral yang disampaikan sangat penting, sedang Hari pemeran utamanya menikmati duka yang dalam.
Pada tempat berbeda, James menghentikan mobilnya di rumah Tyas. Tyas masih menangis sesungukan mengingat apa yang terjadi, James memeluknya.
“Aku benar-benar merasa menjadi penjahat cinta,” ujar Tyas.
“Aku justru yang paling jahat. Tidak kuat menahan emosi, malah menyengsarakan orang yang dimanfakanmu untuk memanas-manasi, seharusnya aku menyelidiki dulu.”
“Siapa suruh kau punya gebetan lain,” Tyas melepaskan pelukan, berucap kesal.
“Maksudmu yang kau lihat di Mall?” James balik bertanya.
“Aku tidak cuman sekali melihatmu bersamanya, tapi juga pernah melihatmu dengannya di tempat hiburan.”
“Oh! My God, itukah masalahnya?” James menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal.
“Tuh kan, kau menganggap sepele masalah ini.”
“Aku tidak bermaksud demikian, cuman jika masalahnya gadis yang bersamaku, ini sungguh menggelikan. Dia sepupuku yang baru datang dari Australia, sebab orang tuanya bekerja di sana. Kau puas?”
“Kau tidak mengarang cerita?”
“Tidak! Aku bersunguh-sungguh dengan kata-kataku.”
“Ja…di?”
“Kita salah paham, gadisku yang manis,” canda James.
“Untuk itu kita menimpakan kesalahan pada lelaki yang baik hati seperti Hari. Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Sebelum menyelesaikan masalah Hari, berarti kau mau memaafkanku?”
“Lain kali, cerita dulu jika ingin jalan dengan gadis lain.”
“Siap, Bos!”
“Kau ada-ada saja!” Tyas mulai sedikit melupakan kesedihannya, air matanya dihapus dengan tisu sampai habis. “Bagaimana dengan Hari.”
“Aku akan datang kepadanya secara jentelman dan mengakui semua kesalahan itu.”
“Tidak hanya itu,” tambah Tyas. “Kau harus mengganti motor dan Hpnya, sebab kedua barang tersebut sangat penting baginya.”
“Itu tidak terlalu sulit bagiku.”
“Aku ikut mendampingimu, sebab aku juga merasa bersalah.”
“Eh! Ngomong-ngomong bagaimana dengan dramamu.”
“Aku sudah tidak memikirkannya lagi, terserah bagaimana tanggapan teman-teman, paling penting masalah kita bisa diatasi.”
“Aku juga setuju.”
“Kau tidak mau membukakan mobil untukku?”
“Oh! Sorry lupa,” James keluar dari mobil dan membuka pintu untuk Tyas. Tyas melangkah keluar.
“Kau tidak mau masuk?”
“Sudah malam!” James mendekati Tyas, dia mencium kening. Tyas lembut, gadis itu menerimanya dengan bahagia. James melepaskan ciuman, dia melangkah ke dalam mobil. Tyas tetap berdiri dengan memejamkan mata, James tersenyum simpul.
“Aku pulang dulu, sayang!” seru James sambil tertawa. Tyas kaget dan tersipu malu.













EMPAT

Sebuah rumah di kawasan Elit di Pondok Indah terpampang megah dan artistik. Setiap orang yang melihat merasa tertarik dengan bangunan itu. Di dalam rumah Tata membaca buku filsafat kegemarannya. Ketika asyik membaca buku, Hpnya berdering.
“Hallo. Apa kabar Alex?” tanya Tata.
“Baik!” jawab Alex.
“Sedang apa?”
“Biasa baca buku.”
“Baca buku terus, tak boring, tuh?”
“Malah senang. Dengan membaca buku, hidupku lebih berarti bagiku!”
“Oh ya, Minggu besok kita bisa jalan-jalan, kan?”
“Hari Minggu, bagaimana ya?”
“Memangnya kau punya kegiatan lain.”
“Ya!”
“Menemani sang kekasih adalah idaman setiap pecinta.”
“Sok seniman! Betul juga pernyataanmu. Cuman aku tak bisa memastikan akan bisa menemanimu atau tidak.”
“Bisa nggak? Jangan plin plan begitu!”
“Jika kau menginginkan yang pasti, kayaknya aku tak bisa deh,” Tata merasa sedikit kesal, sebab Alex tidak memberinya kesempatan berpikir secara jernih, lalu dia mencari alasan yang tepat. “Aku ada kegiatan menemani Papa setiap hari Minggu, maklum Mama sedang ke luar negeri, jadi Papa butuh aku. Besok aku tidak bisa menemanimu jalan-jalan.”
“Tidak bisakah kau mengalah padaku?” tanya Alex dengan nada sedih, di ujung telephon jawaban Tata yang ditunggu-tunggu tak kunjung bersuara, Alex melanjutkan ucapannya. “Mau apa lagi bila kau tak bersedia, sudahlah!”
“Sorry!”
“Tak apa,” Alex mematikan Hpnya.
Tata meletakkan Handponnya, dia duduk sesaat. Sebenarnya dia ingin pergi bersama dengan Alex kekasihnya pada hari libur, cuman dia kasihan pada papanya akan sendirian di rumah, sebab mamanya sedang bekerja di luar negeri minimal dalam kurun waktu enam bulan. Mengingat papanya, Tata tersenyum, papanya seorang lelaki bertubuh gemuk yang sangat diidolakannya.
Dulu Tata sempat protes pada mamanya, kenapa menerima lelaki gemuk seperti papanya sebagai suami, padahal dengan wajah mamanya yang cantik, dia yakin mamanya bisa mendapatkan suami yang tampan.
Jawaban mamanya membuat Tata terpana, “Untuk memilih suami kita harus melihat kepribadian, ketulusan hati, sikap yang baik, memiliki pengertian yang lebih, dan mencintai kita sepenuh hati, bukan melihat penampilan fisik semata. Semua itu dimiliki papamu, makanya mama memilihnya. Berbeda jika sekedar pacar yang bersifat semu, kita tentu memilih yang paling tampan. Bukankah pacar juga bisa dijadikan pajangan agar enak dilihat orang?”
Kini Tata memahami perkataan mamanya, yah papanya tipikal lelaki yang diidamkan semua wanita. Sewaktu mamanya menyampaikan keinginan untuk belajar di luar negeri agar karirnya semakin meningkat, justru papanya mendorong setengah mati, padahal mamanya berniat mengurungkan jika papa tidak setuju. Di samping itu, selama menjalani hidup bersama, papa dan mamanya jarang bertengkar, jika bertengkar papanya pasti memiliki cara untuk mengatasinya, hingga kemarahan mamanya mereda, malah tertawa riang.
Bagaimana dengan Alex pacarnya? Alex bukan tipe lelaki ideal seperti papanya, buktinya ketika dirinya tidak memastikan hadir atau tidak, Alex tidak berusaha mengerti, malah memaksanya untuk membuat keputusan menolak, padahal jika menggunakan strategi tarik ulur, Tata mungkin akan menemaninya jalan, tentu setelah menemani papanya.
“Sedang mengkhayal, ya?” tegur papanya yang baru pulang dari kantor. Tata tersadar dari lamunan panjangnya.
“Kok baru pulang, Papa selingkuh, ya?” Tata mengungkapkan dengan nada canda.
“Selingkuh dengan komputer di kantor?” Papanya tersenyum mendengar guyonan anaknya.
“Papa bohong, nanti kubilang ke Mama lho!”
“Bilang aja! Pasti Mamamu mau mengerti. Dari pada suntuk dengan masalah kemacetan di Jakarta yang tidak pernah bisa diatasi, lebih baik menyelesaikan pekerjaan di kantor sambil bermain games strategi kesukaan Papa.” Papa Tata duduk di sofa, dia membuka sepatu dan dasinya. Pembantu rumah tangga datang mengambil sepatu, dasi, dan jas, serta membawanya ke dalam.
“Kau tidak keluar dengan pacarmu?”
“Dia mengajak jalan-jalan esok hari, tapi kutolak.”
“Mengapa?”
“Aku ingin menemani Papa di rumah sambil latihan memasak dengan Mbok Ijah. Papa kan biasanya ikut-ikutan bantu.”
“Tidak bisa begitu, kau tidak boleh mengorbankan kebahagiaanmu demi aku. Seharusanya aku yang berkorban untukmu.”
“Pokoknya pokok, aku sudah buat keputusan tidak bisa diganggu gugat.”
“Anak filsafat memang egonya tinggi. Ha ha ha!” Papanya tertawa, Tata mendekati dan meninjunya pelan, dia duduk di samping papanya. Tata merasa senang dimanja papanya.
“Papa jahat! Nanti kugagalkan menemani Papa besok.”
“Begitu aja ngambek. Kau seperti Mamamu kala muda.”
“Aku tidak mau disamakan dengan Mama, I want To be my self.”
“Itu baru anak papa!” papanya tersenyum, Tata juga tersenyum. “Kau teruskan baca bukumu, biar bisa be your self.’
“Oke, tuan besar!” Tata tersenyum simpul.
Papanya berdiri melangkah menuju kamar, mengganti pakaian, dan mandi air hangat. Sedang Tata asyik dengan buku bacaannya.
Pagi yang cerah, sinar matahari bersinar terang. Tata menemani papanya lari pagi di Senayan. Suasana yang ramai membuat mereka lari pagi dengan gembira. Mereka memutar stadion senayan sebanyak tiga kali, ketika hendak melanjutkan keempat kalinya, papanya sudah tidak kuat lagi.
“Papa kok loyo?”
“Bukan loyo, usia papa yang semakin tua tidak memungkinkan lagi untuk lari lagi. Kau teruskan saja larimu.”
“Malas sendirian!” Tata menggerak-gerakkan tubuhnya.
“Kita ikut senam bersama yuk. Biasa untuk merengganggakan otot-otot yang kaku,” ajak papanya.
“Katanya capek?”
“Kalau untuk senam capeknya hilang,” papanya melangkah menuju kelompok senam, Tata mengikuti dari belakang. Mereka mengikuti senam pagi bersama. Selesai senam, beristirahat sejenak dan pulang ke rumah
.
Sesampai di rumah, Tata latihan memasak di dapur bersama papanya dibimbing Mbok Ijah. Tata memegang resep yang ada di majalah, tapi beberapa kali nasihat Mbok Ijah justru lebih tepat, sebab Mbok Ijah sering menonton acara memasak dan mempraktekkannya. Itulah mengapa keluarga mereka memanfaatkan tenaga Mbok Ijah, gajinya setiap tahun dinaikkan, sehingga membuat Mbok Ijah merasa senang. Apalagi sikap mereka yang baik hati terhadap Mbok Ijah jauh lebih mahal dari sejumlah uang sebesar apapun..
Sore hari, Tata merasa suntuk di rumah. Dia memutuskan jalan-jalan ke Mall, papanya tidak mau ikut, sebab ia berharap anaknya pergi jalan-jalan dengan pacarnya. Sesampai di Mall Tata pergi melihat-lihat sekitar, lalu melangkah ke toko buku Gramedia kegemarannya. Dia mencari-cari buku yang disukainya, membaca cover belakang atau kalau bisa membaca kata pengantar, baru memutuskan membeli buku. Dia membeli sekitar tiga buku.
Tata keluar toko buku melangkah menuju restoran, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya ketika melihat Alex sedang menyuapi seorang gadis cantik. Mereka kelihatan mesra.
Tata marah sekali melihat hal itu, dia mendekati mereka. Alex yang asyik menyuapi seorang gadis kaget, saat menyadari Tata berdiri di sampingnya.
“Begitu kelakuanmu, ya?” Tata mengambil minuman yang ada di hadapan Alex dan menyiramkan ke mukanya, lalu melangkah pergi.
“Tata tunggu!” Sayup-sayup Tata mendengar suara Alex memanggilnya, tapi tangan perempuan yang ada di hadapannya mencegah Alex untuk mengejarnya.
Entah mengapa, walau berasa bersedih, perasaan Tata justru lega. Yah! Dia lega berpisah dengan pacarnya. Tata tersenyum ketika mengingat perkataan ibunya, orang tampan baik untuk dipacari, tidak untuk dijadikan calon suami.
Selama ini Tata menjadikan pacaran bukan sekerdar permainan kasih sayang yang berlangsung semu, dia ingin menjadikan pacaran sebagai sarana menjajaki perasaan dan saling pengertian, siapa tahu bisa menjadi cinta sejati yang diwujudkan dalam rumah tangga. Tiga kali kisah pacarannya berakhir dengan kegagalan. Pacar pertama yang ada dipikirannya adalah seks, pacar kedua punya gebetan lain, pacar ketiganya selingkuh dengan wanita lain. Semua mantan pacarnya adalah orang-orang tampan secara fisik, bertubuh atletis dan menarik perhatian. Sayang mereka semua tidak memiliki kepribadian yang benar-benar didambakannya.
Pada malam harinya, Alex datang ke rumah Tata. Awalnya Tata tidak mau menemui, atas anjuran papanya dia mau menemuinya.
“Aku minta maaf atas kejadian tadi sore,” seru Alex.
“Meminta maaf sangatlah mudah, namun membenahi hati yang terlanjur luka jauh lebih sulit.”
“Aku tahu,” Alex berusaha menggenggam tangan Tata, gadis itu justru menolaknya dengan mengibaskan tangannya. “Gadis tadi bukan siapa-siapa bagiku.”
“Bukan siapa-siapa?” nada suara Tata penuh ejekan. “Kau meminta maaf padaku dan masih berusaha membohongiku dengan mengatakan gadis yang bersamamu adalah bukan siapa-siapa. Kau aneh sekali. Sungguh aneh bin ajaib.”
“Baiklah, kuakui bahwa aku punya gebetan lain, namun dalam hal ini kau juga bersalah.”
“Apa?” Tata membelakkan matanya yang indah. “Kau juga menyalahkan aku?”
“Mengapa kau tidak mau menemaniku jalan-jalan, kau lebih mementingkan Papamu dari diriku. Wajar aku mencari pelarian dengan gadis lain.”
“Wow, sebuah pengakuan yang penuh ironi. Hanya karena tidak mau berjalan-jalan saja, kau memutuskan untuk mencari gebetan lain, suatu keputusan yang luar biasa sekali. Ini menambah keyakinanku bahwa kita harus putus,” tegas sekali ucapan Tata.
“Tidak adakah pintu maaf untukku?” Alex memelas dengan kata-katanya.
“Kau kenal aku dengan baik selama ini, sebuah keputusan yang kuambil tidak akan berubah sedikitpun walau langit runtuh ke atas bumi sekalipun.” Tata melangkah ke kamarnya tanpa memperhatikan Alex.
“Ah!” Alex menyesali yang telah dilakukannya, sebab Tata adalah cewek idamannya. Penyesalan yang terlambat, sebab pintu maaf gadis itu benar-benar tertutup baginya. Alex pulang dengan perasaan hampa, dia melangkah dengan gontai, hatinya benar-benar terluka kehilangan gadis yang tidak hanya cantik secara fisik, namun juga cantik dari dalam, sesuatu yang sulit dicari.
Setelah melihat tidak ada lagi di ruang tamu, Tata mendekati papanya yang duduk santai di atas sofa. Dia duduk di samping papanya.
“Mengapa kau tidak memberikan kesempatan sekali lagi padanya?” protes papanya.
“Kesemputan untuk bermain-main dengan wanita?” Tata balik bertanya.
“Setiap orang pasti berbuat salah, menanggapi kesalahan orang lain secara bijak adalah tindakan yang arif.”
“Aku bisa mentoleril kesalahan yang lain, namun jika menduakanku dengan wanita lain, aku tidak bisa memaafkan.”
“Bukankah dia menyesali kekeliruannya?”
“Dia tidak seperti Papa, yang mampu menjadikan sebuah kesalahan sebagai pelajaran. Dia tipe lelaki yang melangkah dari satu kesalahan ke salahan lainnya.”
“Kau jangan terlalu terobsesi dengan Papa, itu bisa menjerumuskanmu.”
“Tidak mungkin!”
“Mungkin, sebab tidak ada orang yang sama di dunia. Begitu kau terjebak dalam figur seseorang, pandanganmu akan menyempit, sehingga kau tidak bisa melihat segala sesuatu secara jernih.” Tata memandang papanya, yang dipandang menganggukkan kepala, lalu papanya memeluk putri kesayangannya.
“Aku akan selalu mendengarkan nasihat Papa.”
“Papa senang kau mau mendengarkanku, asal perkataanmu untuk menjadi diri sendiri diingat setiap saat. Nasihat orang lain sekedar bahan perbandingan dalam membuat sebuah keputusan. Itulah salah satu rahasia menjadi diri sendiri.”
“Aku mengerti sekarang,” Tata melepaskan pelukan. “Aku dituntut benar-benar menjadi diri sendiri dan tidak terjebak dalam figur apapun, maka dalam mencari cowok selanjutnya harus lebih hati-hati.”
“100% setuju.”
“Yes!” Seru Tata gembira. Dia menemukan sesuatu yang terbaik untuk melewati hari-hari pada masa mendatang. Semua itu didapat berkat bimbingan papanya seorang lelaki gemuk yang baik hati.
Tata melangkah ke kamarnya, di dalam kamarnya ada sebuah komputer pemberian papanya pada ulang tahunnya yang ke 18, dia senang menerimanya, sebab bisa mencari banyak informasi lewat internet.
Dunia internet menawarkan sebuah dunia terbuka tanpa batas, segala sesuatu ada di sana, mulai informasi agama, sosial, politik, ekonomi, pengetahuan, sampai pornografi. Melihat pornografi, awalnya memang menarik, lama kelamaan dia merasa sedang melihat binatang bukan manusia. Kadang dia merasa aneh, mengapa manusia yang berpikiran maju, justru bertingkah laku seperti orang purba atau binatang. Orang Barat ramai-ramai mendengungkan emansipasi wanita, namun wanita diperlakukan secara buruk dalam pornografi tidak pernah digubris. Mungkin mereka melihatnya sebagai bagian dari kebebasan, kebebasan tanpa kendali, justru membimbing manusia menjauhi jati dirinya sebagai manusia.
Tata membuka emailnya, siapa tahu dapat surat dari temannya di kampus, ternyata emailnya masih kosong Lantas dia mulai chating via yahoo messenger, sebab emainya ada di yahoo. Ada beberapa cowok iseng yang berusaha menghubunginya, tapi tidak ada yang menarik perhatiannya. Dia mencari informasi pengetahuan aktual, lantas mencari bahan untuk kuliahnya keesokan harinya. Setelah mendapatkan yang diinginkan, dia mendonload yang penting. Karena merasa capek, dia memutuskan untuk mematikan internetnya malam itu.



LIMA

Hari melampiaskan rasa sedih akibat ditolak cintanya dengan berjalan-jalan dari satu bus ke bus yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain. Dia berjalan dari satu Mall ke Mall lain, berbekal uang seadanya, hanya itu yang bisa dilakukan. Seharian Hari tidak makan, sebab rasa lapar itu hilang untuk sementara waktu. Saat malam menjelang, barulah rasa lapar terasa. Tidak ada jalan lain, dia memutuskan pulang ke rumahnya, sebab uangnya hampir habis.
Rasa kecewa yang menggunung seperti gunung es, mencair perlahan, membuatnya sedikit merasa lega, setelah mencari pelampiasan dengan jalan-jalan sehari penuh. Masalah bisa sedikit bisa diatasi dengan konpensasi yang tepat.
“Dari mana saja, Har!” tegus ibunya.
“Jalan-jalan, Bu.”
“Dengan Kurus dan Jefri?”
“Tidak, sendirian.”
“Kau punya masalah?”
“Aku lapar, Bu!”
“Baiklah, akan aku siapkan segera.” Bergegas ibunya mempersiapkan makan untuk anaknya, walau sadar anaknya sedang menghadapi masalah, tapi dia tidak berusaha mengorek keterangan lebih lanjut. Pendidikannya yang sampai SMP, membuatnya tidak mampu memahami masalah yang diderita anaknya. Inilah yang membuat sikap Hari menjadi tertutup, sentimentil dan mudah mengalah.
“Bu, aku minta uang sepuluh ribu!” Hari selesai menyantap makan malamnya, dia membersihkan mulutnya dengan tisu.
“Untuk apa?”
“Aku mau ke Warnet, biasa menghubungi teman.”
“Kau tidak capek seharian jalan, sekarang mau jalan lagi.” Hari diam tak menjawab. “Ini terimalah!” Bu Maryam menjulurkan uang sepuluh ribu, Hari menerima dengan gembira, ibunya tersenyum.
Hari pergi ke Warnet, sudah lama dia tidak mengotak-atik internet, mencari teman chating baru. Di sana Hari mulai mencari-cari situs, hotmail dan yahoo messenger. Akhirnya dia menemukan browser dengan nama samara : GEMROOT sebagai teman chating.

HARI
Salam kenal! Dari nama samaranmu kau generasi gemuk, ya? Balas oke!
Setelah mengklik browser dengan nama samaran GEMROOT, Hari memberi salam pembuka, siapa tahu dapat balasan. Karena belum ada tanggapan, dia membuka web-site lain yakni berita-berita olah raga yang paling disenanginya dan membuka emailnya. Hari mengklik teman chattingnya lagi, belum ada tanggapan. Kembali ke situs olahraga www.detik.com. Baru beberapa lama kemudian dia mengklik GEMROOT kembali, ternyata ada jawaban.

GEMROOT
Benar, kau juga?

HARI
Jadi orang gemuk tidak enak sekali.

GEMROOT
Kata siapa, aku merasa senang dengan keadaanku. Paling penting bisa menjalani hidup apa adanya. Kau punya banyak masalah, ya?

HARI
Seperti paranormal saja! Tebakanmu tepat sekali

GEMROOT
Setiap manusia pasti punya masalah, paling penting bagaimana cara menyelesaikannya. Aku sebenarnya juga punya banyak masalah, tapi bisa kuatasi karena punya Papa yang baik hati membantuku menyelesaikan masalah.

HARI
Kau beruntung, sedang orang tuaku tidak bisa membantuku.

GEMROOT
Apa mereka terlalu sibuk, sehingga tidak punya waktu untukmu.
HARI
Bukan begitu, aku merasa tidak sreg curhat ke mereka. Makanya aku berharap agar kita bisa berhubungan terus via chating, minimal seminggu sekali, sehingga bisa saling curhat.

GEMROOT
Oke, menyampaikan masalah pada teman merupakan bagian penyelesaian masalah. Seminggu sekali kelamaan, gimana kalau seminggu tiga kali.

HARI
Oke Bro’! Pada malam Senin, Rabu, Sabtu pukul 19.00 WIB

GEMROOT
Istilah apaan tuh Bro! Jangan malam Sabtu, Minggu, Senin, dan Rabu aja.

HARI
Kau kuper rupanya, Bro artinya teman. Malam Minggu kau tidak keluar dengan pacarmu?

GEMROOT
Bukan kuper, tak tahu gitu lho! Sumpeh! Ha ha ha! Aku baru putus dengan pacarku

HARI
Baru putus? Ada peluang nih.

GEMROOT
Silahkan saja kalau kau berani, aku telah menendang tiga orang cowok jauh-jauh, apa kau mau jadi orang keempat yang kutendang.

HARI
Ampun, Nona. Ha ha ha!
GEMROOT
Menertawai kehidupan adalah upaya keluar dari berbagai masalah yang dialami seseorang.

HARI
Kata-katamu bagus sekali. Kata-kata bagus adalah yang sesuai kenyataan, kata-kata indah tak akan berguna bila berlainan dengan kenyataan.

GEMROOT
Kenyataan adalah filter yang tepat untuk segala hal dalam kehidupan, tapi sayang, banyak kenyataan di sekitar kita yang direkayasa demi kepentingan tertentu.

HARI
Ngobrol denganmu asyik juga.

GEMROOT
Ya, kita sama-sama nyambung. Makanya kuharap persahabatan kita via internet menjadi langgeng.

HARI
Idem Coy! Sudah ya, duitku hampir habis. Met bobok! Ingat jadual chatingnya!

GEMROOT
Met mimpi indah! Aku pasti ingat slalu.

Hari menutup internet, dia melangkah menuju penjaga warnet dan membayar sejumlah uang sesuai pemakaian. Dia pulang ke rumahnya dengan senyum dikulum, sebab mendapatkan teman baru yang senasib dengannya yakni sama-sama bertubuh gemuk, siapa tahu bisa saling curhat. Hari merebahkan tubuhnya di kasur dengan nyenyak sekali.
Keesokan sorenya Hari kedatangan tamu Tyas dan James. Hari menyambut kedatangan mereka dengan sikap dingin, dia berusaha menahan amarah di dada, mengingat yang dilakukan James padanya. Mereka duduk berhadapan, suasana sunyi.
“Mengapa kau tidak terus terang sebelum menyatakan cintamu padaku?” tanya Tyas membuka kebekuan.
“Aku tidak ingin membangun cinta palsu di atas nama belas kasihan.” Hari berbicara dengan nada ketus.
“Kedatangan kami kemari ingin meminta maaf atas apa yang menimpamu,” James menimpali
“Gampang sekali mulutmu mengatakan maaf. Sudahkah kau menyadari secara utuh?”
“Sudah!” sahut James.
“Belum, kau belum paham. Coba berdiri!” Hari berdiri.
James merasa bingung, dia menoleh pada Tyas, gadis itu mengangguk meski tak paham maksudnya. James juga berdiri. Mendadak Hari memukul dengan keras, James sampai terjengkal ke ke belakang. Mendengar suara ribut ibunya keluar.
“Ada apa, Har?” seru Bu Maryam.
“Ibu saya minta masuk ke dalam, ini urusan anak muda.”
“Ta…pi!”
“Tolonglah untuk kali ini saja!” Hari memohon dengan sangat, mau tidak mau Bu Maryam menuruti kata-kata anaknya. Secara diam-diam Bu Maryam memperhatikan di balik gorden.
James bangun dibantu Tyas dengan segumpal amarah, bibirnya mengeluarkan dara, Tyas menghapus dengan sapu tangannya. James sekuat tenaga menahan amarahnya demi kekasih tercinta. Sebab bila marah, mereka akan benar-benar putus.
“Kami datang dengan baik-baik, kau malah memukulnya,” protes Tyas.
“Aku memukulmu bukan karena dendam. Aku ingin kau benar-benar sadar bahwa dipukul orang itu sakit sekali, sehingga kau tidak seenaknya memukul orang.”
Tyas dan James terdiam sejenak memikirkan perkataan Hari, yah mereka menangkap kebenaran dari kata-kata itu, sehingga kemarahan dalam diri James mereda perlahan. Hari duduk kembali, nafasnya yang turun naik berusaha ditenangkan.
“Aku ingin menyerahkan ganti rugi motor dan Hpmu, ini uang 20 juta,” James menaruh amplop di atas meja.
“Bila pukulanku dianggap impas dengan pengeroyokanmu, untuk apa uang ganti rugi?”
“Kau kehilangan Hp dan motor kesayanganmu dalam pengeroyokan itu. Kau harus menerima ganti rugi atas semua itu,” Tyas menimpali.
“Aku sebenarnya tidak ingin menerimanya, tapi aku punya hutang pada Bapakku berkaitan dengan motor dan Hp. Terpaksa kuterima uang ini!” Hari membuka tutup amplop dan mengambil uang 15 juta. “Harga motorku 13,5 juta dan Hpku anggap 1,5 juta, itu jika kalian setuju. Kukembalikan yang lima juta.”
“Tidak, terimalah semua. Anggap sebagai biaya kesehatan!”
“Maaf, ini keputusanku! Itu jika kalian mau berteman denganku.”
Tyas dan James saling pandang, Tyas mengangguk, James segera mengambil uang yang lima juta.
“Tunggu sebentar!” Hari masuk ke dalam rumah, dia mengambil sebuah majalah remaja, dan sebuah amplop. Tyas dan James menunggu dengan perasaan tak mengerti. “Dulu Tyas membantuku agar bisa menulis cerpen dengan baik, alhamdulillah cerpenku dibuat di majalah remaja. Ini buktinya!” Hari membuka majalah tepat di halaman cerpennya yang dimuat, dia menyerahkan pada Tyas.
“Oh, ya!” Tyas menerima dengan perasaan terkejut, sebab jarang sekali tulisan pemula yang dimuat pada waktu pertama kali mengirim, dia sendiri butuh lima kali sampai dimuat cerpennya. Tyas membaca cerpen itu tanpa memperhatikan James yang turut membaca dari samping.
“Ini semua berkat bantuanmu, Tyas! Aku ucapkan ribuan terima kasih, sebab menerbitkan harapanku untuk terus menulis cerpen pada masa mendatang.”
“Tidak juga,” Tyas mendongakkan kepala setelah selesai membaca. “Ini semua hasil karyamu secara utuh, aku melakukan editorial pada sebagian kecil saja.”
“Kau terlalu merendah. Honor pertamaku ini harus dibagi dua, kau turut andil dalam proses penyelesaian cerpenku.”
“Tidak bisa begitu,” James turut menimpali. “Kekasihku membantu sebagian kecil saja, jadi honor itu merupakan hakmu seutuhnya.”
“Benar, Har! Bagiku, karyamu dimuat sudah merupakan anugerah terbesar kedua dalam hidupku. Aku merasa menjalankan amanah sebagai penulis yang harus memberikan makna pada orang lain. Di samping itu, ini juga bisa menjadi salah satu penebus kesalahanku padamu. Please! Jangan nodai dengan masalah honorarium.”
“Ta….pi!”
“Tak ada tapi-tapian, kau sudah menolak uang lima juta kami, padahal kau berhak menerimanya di samping yang 15 juta. Apa kau masih mau menghukum kami dengan honor yang tidak seberapa ini?”
Hari tak berkutik mendengar kata-kata dari James yang kini dianggap sebagai sahabat barunya. Persahabatan yang lahir dari suatu percekcokan, perkelahian, dan pertengkaran kadang lebih abadi dari persahabatan biasa.
“Kami permisi dulu. Kuharap kita tetap berteman,” pamit Tyas
“Ya, benar,” sahut James.
“Oke! Kita sepakat,” Hari dan James saling bersalaman.
Tyas dan James berpamitan pulang, mereka melangkah dengan perasaan senang, sebab masalah bisa diselesaikan. James sendiri memuji sikap Hari, walau sebuah pukulan keras membuat bibirnya berdarah.
Bu Maryam terharu mendengar semua itu, dia keluar memeluk anaknya. Sebab dulu dia sempat tidak percaya bahwa anaknya dikeroyok walau mulutnya menyatakan percaya, kini jelaslah semua. Dia memeluk anaknya dengan perasaan bangga.
“Kau memang anak yang baik!”
“Sudahlah! Aku harus ke Dealer untuk membeli motor, dan tentu membeli Hp baru di Mall.”
“Pergilah anakku!” Bu Maryam melepaskan pelukannya. Hari mengambil uang dan berangkat menuju tempat yang diinginkan.
Hari datang dengan motor baru dan helm baru. Dia memarkir motornya di beranda rumah, saat itu Bapaknya sedang duduk santai di beranda rumah. Melihat anaknya datang dengan motor baru, dia merasa takjup.
“Bagus sekali motormu, pinjam pada siapa?” tanya Bapaknya. Hari meletakkan helm dan kunci motor di atas meja.
“Ini kunci motor dan helmnya, James yang mengeroyokku memberikan ganti rugi atas motor yang dibakarnya dulu.” Hari masuk ke dalam rumah tanpa menunggu tanggapan bapaknya.
“Dhaar!” Hari membanting pintu.
“Makanya jangan sembarangan menghakimi anak tanpa informasi yang jelas!” protes Bu Maryam pada suaminya.
“Orang tidak tahu masa tidak bisa dimaafkan. Aku akan berhati-hati ke depan dalam bersikap. Anak kita memang tidak seperti yang kukira. Bu! Berikan kunci ini padanya, motor itu miliknya.”
Bu Maryam mengambil kunci motor dan helm dan melangkah ke kamar anaknya. Saat itu Hari sedang duduk di atas kasur.
“Motor itu milikmu, mengapa kau serahkan kuncinya pada Bapakmu?”
“Saya tidak mungkin menghancurkan milik Bapak untuk kedua kali,“ suara Hari parau. Bu Maryam mengelus rambut anaknya.
“Kutahu kau anak yang baik, makanya ibu sangat menyayangimu. Anak punya salah, orang tua membuka pintu maaf lebar-lebar. Orang tua bersalah pada anaknya, sudah selayaknya seorang anak memberi maaf.”
Hari diam seribu bahasa, Bu Maryam meletakkan kunci dan helm di meja belajar anaknya, lantas melangkah keluar kamar dengan menutup pintu pelan-pelan. Hari merebahkan tubuhnya dan memandang langit-langit kamar. Melihat cecak yang berjalan berusaha mengejar mangsa, membuatnya tersenyum. Tidak terasa matanya tertutup perlahan, dia tertidur pulas.
Keesokan hari, Hari mentraktir teman-temannya makan di restoran yang lumayan bagus untuk ukuran mereka. Mereka memesan makanan sesuai selera masing-masing. Dengan lahap mereka memakan sajian yang ada, tanpa memperhatikan pada orang-orang di sekitar yang melirik sambil mengejek melihat tingkah laku mereka yang dianggap kurang sopan.
“Lezat sekali!” Kurus meminum jus melon.
“Kuharap tidak hanya sekali ini, kau mentraktir kami, Har!” Jefri meminum jus straberry kesukaannya.
“Doakan saja, semoga cerpenku bisa dimuat di majalah lain kali, sehingga bisa mentraktir kalian makan sampai puas,” Hari melap mulutnya dengan tisu.
“Doa adalah pekerjaan paling mudah, kami pasti melakukannya. Cuman paling penting kau mampu menghasilkan karya yang lebih baik agar bisa dimuat kembali.’
“Ngomong-ngomong, katanya kau baru nembak Tyas, ya?”
“Kata siapa?” Raut wajah Hari nampak marah, Kurus menyenggol Jefri sambil memberi koder tertentu.
“Kami mendengar dari kabar burung yang hinggap di pundak orang gila, ha ha ha!” Kurus mencoba mencairkan suasana.
“Aku tidak mau membahas masalah Tyas, oke?”
“Kami bermaksud baik untuk meringankan beban berat yang menimpamu. Selama ini, waktu gembira kau berbagi bersama kami seperti sekarang ini, sedang waktu sedih kau tanggung sendiri. Ini tidak adil bagi kami sebagai sahabatmu.”
“Aku punya cara tersendiri dalam mengatasi masalahku. Bukankah kalian paham watakku yang tidak ingin menyusahkan orang lain.”
“Kami kau anggap orang lain?”
“Aku tidak bermaksud begitu,” Hari terdiam, matanya menatap jus apel di depannya.
“Kalau boleh, kami punya pendapat khusus tentangmu,” Jefri berpikir sejenak. “Selama ini cewek-cewek yang kau sukai memiliki kriteria penilaian yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari standar kriteria kami. Rosita cinta pertamamu gadis yang cantik dan cerdas, Cecil gadis yang cantik dan kaya raya, Risa primadona sekolah, Tyas gadis manis yang tidak bosan tuk dilihat, memiliki prestasi ekstra kurikuler yang bagus, berasal dari keluarga orang terpandang pula. Mungkin inilah akar permasalahan, kenapa cintamu ditolak terus menerus.”
“Kau lihat kami berdua,” Kurus menambahkan. “Pacar kami adalah orang biasa semua dengan wajah yang biasa pula, sebab kami merasa itulah cara kami mendapatkan pacar yang sesuai dengan keadaan kami masing-masing.”
Hari diam tidak menyahut, dia menyimak perkataan sahabatnya dengan penuh seksama. Walau sebenarnya ingin membantah, tapi ucapan mereka tepat sekali. Dia terlalu idealis dalam memilih pacar, padahal keadaan dirinya sebagai lelaki gemuk yang berwajah manis jauh dari ideal.
“Paling tidak kau menurunkan standar kriteria cewek yang akan kau sukai, sehingga bisa menerimamu apa adanya.”
“Wajah cantik enak dipandang dalam beberapa waktu, menimbulkan kebanggaan di mata orang lain, namun pada waktu kita bersama seorang gadis dalam ikatan cinta, justru kecantikan dari dalam diri yang terbentuk dalam tingkah laku sopan, baik hati, suka menolong, tidak suka iri pada orang lain, memandang orang lain secara sama tanpa melihat latar belakang, dan tidak egois.”
“Petuah kalian panjang lebar sekali seperti Ustad yang sedang memberikan ceramah, ha ha ha!” Hari mencoba menetralisir suasana, teman-temannya turut tertawa. Dalam lubuk hati paling dalam, Hari berniat memperhatikan sekaligus mempraktekkan nasihat teman-temannya.
Mereka keluar dari restoran menuju rumah masing-masing, setelah Hari membayar sejumlah uang. Dalam perjalanan pulang, Hari merenungkan kembali kata-kata dari temannya.

ENAM

Hari bermain tenis meja dengan Agustin sore itu, selesai main dia gobrol dengan gadis itu yang usianya setahun lebih tua darinya, dan sudah duduk di bangku kuliah semester enam.
“Permainanmu semakin bagus,” puji Hari.
“Biasa-biasa saja!” Agustin melap keringatnya sambil meminum setenguk air. “Bagaimana Sekolahmu?”
“Sekolah adalah permainan hidup yang menyenangkan,” Hari juga melap keringat di wajahnya.
“Masa-masa SMU adalah yang paling menyenangkan dalam hidup, banyak kenangan tak terlupakan di sana.”
“Bukankah masa-masa kuliah juga menyenangkan?”
“Ah! Tidak bagiku,” Agustin tercenung beberapa saat.
“Aku tak mengerti yang kau ucapkan.”
“Belum saatnya kuceritakan padamu,” Agustin berdiri dari duduknya.
“Hampir tiap malam kau sering keluar, ya?” selidik Hari.
Agustin tidak menjawab, dia menatap Hari dengan curiga, Hari mengalihkan pandangan ke arah lain. Saat itu Agustin melangkah memasuki rumahnya. Hari tidak berusaha mencegahnya, namun di benaknya penuh dengan sejuta tanya.
Hari berkunjung ke rumah Agustin yang tiada beberapa jauh dari rumahnya. Ketika baru sampai, Agustin bersiap-siap hendak pergi.
“Kau keluar lagi malam ini?”
“Ya! Ada perlu apa?” Agustin balik bertanya.
“Besok saja. Aku pulang dulu!” Hari melangkah ke rumahnya.
Agustin berjalan dengan gemulai sambil membawa tas kecil. Diam-diam Hari mengikuti dari belakang tanpa sepengetahuannya. Di jalan raya, sebuah mobil mewah menunggu Agustin, dia masuk ke dalam mobil dengan raut muka ceria. Hari mulai bisa menerka-nerka apa yang dilakukan Agustin, yang hampir setiap malam keluar rumah.
Dalam perjalanan pulang, Hari ingat bahwa dia punya janji chating di internet dengan teman barunya GEMROOT. Hari bergegas ke Warnet terdekat dan mulai membuka yahoo messenger, ternyata GEMROOT sudah stand by. Mereka mulai asyik saling curhat.
HARI
Kau tahu, aku benar-benar lelaki yang paling tidak beruntung

GEMROOT
Masa?

HARI
Sampai kelas III SMU hampir lulus, belum pernah pacaran.

GEMROOT
Separah itukah?

HARI
Ya!

GEMROOT
Umurmu berapa?

HARI
20 tahun. Kok nanya-naya umur?

GEMROOT
Dalam usia 20 tahun, tentu kau seharusnya sudah kuliah, mengapa masih kelas III SMU?

HARI
Aku pernah tidak naik kelas karena jatuh sakit sangat lama, sehingga tidak sempat ikut ujian, di samping itu, aku agak terlambat waktu masuk SD. Padahal prestasiku cukup lumayan. Hidupku benar-benar memilukan, ya? Usia menginjak yang ke 20 tahun belum pernah merasakan indahnya masa-masa berpacaran.



GEMROOT
Mungkin kau belum ditaqdirkan untuk bertemu dengan pacarmu. Tuhan menciptakan manusia berpasangan, pasti ada seorang gadis yang mencintaimu suatu saat nanti.

HARI
Taqdir adalah pelarian bagi manusia karena tak kuasa melawan keadaan yang dihadapi.

GEMROOT
Kau tidak percaya taqdir?

HARI
Aku percaya, cuman kalau aku sial terus menerus, maka kukatakan taqdirku benar-benar buruk begitu? Itu sama dengan menyalahkan Tuhan, padahal menurutku Tuhan tidak salah.

GEMROOT
Tepat sekali! Ceritain kisah cintamu, dong.

HARI
Aku akan terbuka padamu, kuharap kau juga. Aku mulai percaya padamu.

GEMROOT
Sama

HARI
Cinta pertamaku sewaktu SMP ditolak mentah-mentah, cinta kedua sewaktu kelas II SMU ditolak juga, cinta ketiga dengan adik kelas Cecilia bernasib sama, lalu dengan Tyas teman sekelas malah lebih parah lagi, aku dijadikan pelarian semata. Entah sampai kapan aku mengalami penolakan cinta?

GEMROOT
Kisahmu membuatku terharu.

HARI
Makanya kubilang tidak enak jadi orang gemuk

GEMROOT
Menurutku fisik bukan ukuran buat menilai seseorang, buktinya mantan pacarku yang tiga orang, semuanya tampan, tapi kepribadiannya membuatku muak pada laki-laki tampan. Bentuk fisik yang bagus tidak berkesesuaian dengan tingkah lakunya. Sikapnya sombong, menang sendiri, punya gebetan lain, play boy dan yang ada di otaknya hanya tubuh seksi perempuan, kau berbeda

HARI
Bagus menganggapku berbeda dengan mereka, tapi sampai sekarang aku tidak laku-laku pada seorang gadispun. Eh! Bagaimana rahasianya sebagai gadis gemuk kau bisa memperoleh pacar, tampan-tampan lagi?

GEMROOT
Ha ha ha!

HARI
Kok malah tertawa, aku seriuuuuusss!

GEMROOT
Untuk hal ini belum saatnya kuceritakan, lain kali jika waktunya tepat.

HARI
Katanya kita mau bersikap saling terbuka?


GEMROOT
Udah malam, aku ngantuk. Kita lanjutin lain kali

HARI
Kau membuatku penasaran?
Hari menunggu beberapa lama, siapa tahu sahabat chatingnya masih online, namun ternyata tak ada jawaban, terpaksa Hari menyudahi chatingnya.
Hari bersiap-siap berangkat ke sekolah ketika Agustin datang menemuinya. Hari menemuinya di beranda rumahnya.
“Kedatanganmu ke rumahku semalam, pasti punya kepentingan.”
“Ada. Tapi kau sibuk sekali,” sahut Hari dengan naga menyindir.
“Kira-kira apa kepentinganmu?” Agustin tidak mau terpancing.
“Aku diundang ke pesta ulang tahun Tyas besok malam. Datang sendiri rasanya malu. Tidak mungkin datang ke pesta seorang gadis bersama teman lelaki.”
“Kau ingin mengajakku ke pesta itu?”
“Ya!” jawab Hari singkat, ada harapan besar di sana.
“Bagaimana ya?” Agustin berbikir sejenak. “Baiklah! Aku akan menemanimu,”
“Yes!” ujar Hari sambil mengepalkan tangannya, Agustin tersenyum simpul manis sekali. “Thanks berat!”
“Oke! Kau sepertinya akan segera berangkat.” Hari mengangguk, Agustin pulang ke rumahnya. Hari melangkah menuju motornya, sepanjang jalan dia bernyanyi-nyanyi kecil di atas motornya.
Kedatangan Hari ke pesta ulang tahun Tyas dengan Agustin yang cantik jelita, disambut antusias teman-temannya satu sekolah. Sudah menjadi rahasia umum, Hari tidak pernah berpacaran dari kelas I sampai kelas III SMU.
Hari memberi ucapan selamat pada Tyas, gadis itu menyambut hangat. Tyas turut gembira melihat Hari berjalan dengan wanita cantik.
“Pacarmu?” tanya Tyas.
Hari terdiam beberapa saat menatap Agustin, dibalas anggukan kepala. “Ya, ba…ru ja…dian,” Hari agak gugup, Agustin menahan senyum di mulutnya.
“Kau pintar memilih pasangan, teman!” sahut James, dia menyalami Hari dan Agustin
“Di balik sikap kasarmu, kau baik hati juga, pantas Tyas memilihmu,” Hari memandang James sesaat. “Cepat sekali luka hasil pukulanku sembuh?” dengan nada canda.
“Kau ini,” James meninju bahu Hari pelan, Hari tertawa. Suasana menjadi cair. Di lantai dansa anak-anak mulai asyik berjoged mengikuti irama musik, suasana pesta benar-benar semarak. Hari ikut berjoged bersama Agustin, berhubung tubuhnya agak gemuk, maka gaya jogednya menarik perhatian orang.
Dalam suasana yang riuh redah, salah seorang tamu dalam pesta ulang tahun Tyas mengenali Agustin. Setelah memastikan, dia berbisik pada temannya. Bisikan ini berjalan dengan cepat tanpa disadari Hari dan Agustin. Puncaknya salah seorang pengunjung berteriak nyaring.
“Hariii! kau membawa pelacur ke sini, ya?” Orang-orang yang asyik berjoged, diam semua. Hari mencari asal suara, tapi tidak berhasil. Agustin berlari keluar, mau tidak mau Hari mengejarnya.
Tyas sebenarnya berusaha mengejar, James menahannya. Musik sementara dihentikan, Tyas memberi kode pada para pemain yang sedang menyanyi di panggung rumahnya.
“Biar mereka selesaikan sendiri, kalau kita ikut campur, nanti malah mengulang kesalahan yang sama,” nasihat James.
“Kasihan, Hari!” Tyas berkata lirih.
“Siapapun yang membuka aib pacar sahabat saya sebaiknya menunjukkan diri jika jantan,” James berteriak nyaring.
Suasana pesta hening, tak ada seorangpun yang berani berbicara. “Berpacaran dengan pelacur, ayam kampus atau tante girang sekalipun, bukan hak kita mencampuri urusan orang lain. Yang berteriak tadi benar-benar banci,” James kelihatan marah.
“Sudah cukup, sayang!” Tyas memegang pundak James untuk menenangkan pacarnya. “Ayo kita berjoged lagi teman-teman!” Musik mengalun kembali menghidupkan suasana.
Hari berhasil mengejar Agustin, dia memegang tanggannya, Agustin berusaha melepaskan.
“Lepaskan tanganku!” Agustin menangis.

“Maafkan aku!” Hari memeluk Agustin, dia merebahkan kepalanya di pangkuannya. Hari mengusap air mata dengan sapu tangan. “Aku tak tahu bahwa salah seorang temanku ada yang mengenalimu. Nanti akan kucari, aku pasti menghajarnya.”
“Tidak usah. Aku memang pelacur, kok!”
“Apa salahnya menjadi seorang pelacur?”
“Jadi kau sudah tahu. Mengapa masih mengajakku?”
“Siapa lagi wanita mau ke pesta denganku?” ujar Hari lirih. Agustin melepaskan pelukan dan duduk di atas rumput dekat jalan raya, Hari duduk di sampingnya. “Bagiku tiada beda antara pelacur dan tidak, teman-temanku di sekolah sebagian ada yang menjadi pelacur, sebagian melakukan seks bebas secara sukarela, malah diabadikan di video tanpa rasa malu, apa itu bukan sesuatu yang memalukan. Lebih baik dirimu yang melakukan hubungan seks karena terpaksa.”
“Aku pernah bilang bahwa sewaktu kuliah adalah masa yang paling buruk, semenjak semester III aku terpaksa melacur. Awalnya pacarku yang menghamiliku tidak mau bertanggung jawab, terpaksa aku aborsi secara diam-diam. Setelah itu aku dihantui rasa bersalah, sebagai konpensasi aku lantas menjadi pelacur.”
“Nasibmu memang malang, lebih malang dariku yang mengalami penolakan cinta berulang kali. Tidak selamanya kisa cinta berakhir bahagia.” Mereka saling berdiam diri asyik dengan lamunan masing-masing.
“Kita sama-sama bernasib buruk, bukan?” seru Agustin.
“Jika demikian, kenapa kita tidak menjalin cinta saja?” pertanyaan mendadak Hari mengagetkan Agustin.
“Hah!” Agustin membelalakkan mata. “Jangan asal mengumbar rasa suka, bisa menyakiti orang lain.”
“Tidak! Aku memang menyukaimu.”
“Mustahil! Aku lebih tua darimu, apalagi profesiku sebagai pelacur kelas atas, apa kata orang nantinya?”
“Untuk apa mempedulikan perkataan orang, paling penting kita saling menyukai.”
“Kau satu-satunya lelaki yang menyatakan cinta secara tulus denganku, sebenarnya aku juga menyukaimu, tapi bila melihat ke belakang dan sebab akibat, terpaksa aku menolakmu,” Agustin berani berkata-kata dalam hati saja, dari mulutnya sama sekali tidak keluar sepatah katapun.
“Kau menerimaku jadi pacarmu?” tanya Hari berdebar-debar.
“Maaf, Har! Kau kuanggap seperti adikku sendiri.”
“Sudah kuduga. Pasti karena aku bertubuh gemuk,” Hari merasa lunglai.
“Bukan begitu, maksudku. Ah! Kau tidak akan mengerti.”
“Sudahlah! Kuantar kau pulang,” Hari sengaja datang ke pesta tidak dengan motornya karena merasa gengsi. Dia berdiri, lalu menyetop taksi. Sebuah taksi berhenti di dekat mereka, mereka masuk ke dalam. Dalam taksi mereka sama-sama diam seribu bahasa, mereka berusaha merenungkan yang baru dialami.

TUJUH

Hari curhat tentang masalah yang baru dihadapinya dengan teman chatingnya di internet. Teman chating adalah sarana yang paling efektif untuk mengurangi beban berat yang di tanggungnya.

HARI
Kau tahu, seorang pelacur saja menolak cintaku

GEMROOT
Jangan ngibul!

HARI
Sungguh! Aku benar-benar menyedihkan, bukan?

GEMROOT
Kau kelihatan putus asa begitu. Percayalah ada wanita terbaik yang akan hadir dalam kehidupan suatu waktu kelak!

HARI
Kapan? Sampai aku aki-aki.

GEMROOT
Entahlah! Oh ya, kau tahu ketika awal chating denganmu, aku baru putus dengan pacarku yang ketiga. Kayaknya aku mulai tidak percaya laki-laki.

HARI
Kau mending, sudah tiga kali pacaran. Sedang aku belum pernah. Eh! Aku laki-laki juga, kau percaya padaku? Jangan begitu menghakimi kehidupan.

GEMROOT
Makanya kau juga jangan menghakimi terlalu cepat.
HARI
Tenang aja BRO!

GEMROOT
Aku Juga ingin mengetahui alamat Tyas, boleh?

HARI
Untuk apa?

GEMROOT
Ada deh!

HARI
Dia beralamat di Jl. …….

GEMROOT
Sekian dulu, aku ngantuk nih!

HARI
Selamat istirahat, moga cepat dapat gantinya.

GEMROOT
Thanks!
Seorang gadis cantik sedang asyik berchating ria dengan teman chatingnya, tanpa sadar seorang lelaki gemuk mendekati dari belakang.
“Akhir-akhir ini kulihat putriku mulai rajin berchating ria!” Gadis itu ternyata Tata. Dia kaget setengah mati, dia segera menutup internetnya. “Takut ketahuan ya?”
“Papa, mengganggu kesenangan orang aja,” Tata berseru manja.
“Apa sudah dapat capar baru?”
“Istilah apaan tuh capar?”
“Calon pacar, istilah itu aja nggak tahu.”
“Siapa yang mencari pacar di internet? Aku ingin mencari teman sebanyak-banyaknya, sebab bisa saling curhat dengan tetap menjaga privasi masing-masing.”
“Mencari teman, jika merasa cocok lalu berubah jadi temin. Ha ha ha!” Tata nampak merengut, dia mengambil bantal dan melemparkan ke Papanya. Papanya lari menghindar keluar kamar putrinya. Gadis itu menutup pintu, dia tersenyum senang.
“Aku harus menyelidiki secara teliti, baru membuat keputusan penting. Na na na!” Tata bernyanyi kecil menuju kasurnya.
Seorang gadis bertubuh langsing, berwajah cantik, anggun, dan memukau datang ke rumah Tyas. Tyas merasa kikuk karena tidak pernah bertemu sebelumnya.
“Siapa ya?” tanya Tyas.
“Aku teman Hari,” sahut tamunya.
“Silahkan duduk!” Tyas mempersilahkan masuk, tamu itu duduk dengan tenang, menunjukkan kelasnya sebagai gadis kelas atas. “Sebelumnya maaf! Aku merasa aneh, Hari punya teman yang cantik luar biasa seperti dirimu.”
“Kita tidak boleh meremehkan seseorang karena kelemahan fisik semata.”
“Kau lebih bijak dariku, pantas menjadi teman dekatnya.”
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu,” dengan raut muka serius. “Kau punya foto Hari?”
“Sebagai teman dekatnya, kau pasti memilikinya?” Tyas balik bertanya.
“Kami belum pernah bertemu sebelumnya.”
“Bagaimana mungkin?” Tyas tidak dapat mengerti yang baru didengarnya.
“Kami berteman via internet.”
“Bilang dong dari tadi,” Tyas tersenyum. ”Tunggu kuambilkan!” Tyas melangkah mencari di rak foto di sekitar ruang tamu, membuka-buka sebuah album sekolah. Begitu ditemukan, dia berjalan sambil melihat-lihat kalau ada foto Hari.
“Mana fotonya?” Entah mengapa hati gadis itu berdebar juga.
“Ini fotonya!” Tyas menyerahkan selembar foto.
Gadis itu melihat dengan seksama, dia merasa lelaki itu sebenarnya menarik dilihat dari facenya, hanya memang tubuhnya agak gemuk, cuman bila dibandingkan dengan papanya, Hari masih lebih kurusan dikit.
“Gimana kepribadian pemuda itu?”
“Dia seorang pemuda yang baik, suka menghibur teman kalau lagi sedih, senang membantu orang lain, sportif, dan menyimpan kesedihannya sendiri. Pokoknya kepribadiannya bagus deh!”
“Kenapa kau menolaknya? Karena dia bertubuh gemuk?”
Tyas memandang tamunnya tanpa berkedip, gadis itu menundukkan kepala. “Apa Hari telah menceritakan semua tentang kisahnya denganku?” Ada yang sakit dalam hati Tyas ketika menanyakan hal itu, sebab dia telah berusaha melupakan.
“Dia hanya bilang dimanfaatkan olehmu.”
“Tepat sekali! Walau aku tidak bermaksud demikian. Aku sebenarnya mendekati Hari untuk memanas-manasi pacarku. Aku tak tahu bahwa karena sikapku itu membuatnya GR, makanya aku kaget setengah mati ketika dia menembakku…” Tyas menceritakan semua yang terjadi antara dirinya dengan Hari, tidak ada yang dipotong sedikitpun. Siapa tahu ini bisa membantu Hari, dan membantu dirinya untuk tidak dihantui rasa bersalah terus menerus. “Aku sudah pacaran dengan James mulai kelas satu SMU, tidak mungkin putus karenanya. Tapi aku menyesal.” Tyas mengakhiri ceritanya.
“Apa kau ada keinginan berubah pikiran.”
“Aku tak tahu!” Tyas memainkan kukunya yang lentik
“Kuharap tidak, sebab kalau kau berubah mencintainya, kuyakin itu karena kasihan bukan cinta.”
“Hari belum pernah pacaran seumur hidup.”
“Sebentar lagi dia akan memiliki pacar idamannya.”
“Siapa? Kau!” Tyas merasa gembira sekali, tapi kemudian dia menatap gadis di hadapannya nanar. “Kau jangan memberikan harapan jika tidak ingin menyakitinya.”
“Gadis yang kumaksud belum tentu aku. Hanya feelingku mengatakan tidak lama lagi dia akan mendapatkan cinta sejatinya.”
“Kuharap juga begitu,” Tyas mencoba bersikap seperti semula. “Menurutku, kau satu-satunya gadis yang menyelidikinya sedetail ini, tentu ada maksudnya dong! Apapun itu, kalau kau butuh bantuanku, 100% akan kubantu.”
“Berapa nomor Hpmu?”
Tyas menyebutkan beberapa nomor, lantas gadis itu mencatat dan menyimpan nomor itu. Dia kemudian melakukan misscall pada Tyas, Tyas menyimpan nomor sahabat chating Hari.
“Kau harus berjanji merahasiakan ini pada Hari bagaimanapun caranya. Ini untuk kebaikannya juga.”
“Tenang aja, ditanggung beres. Eh aku belum tahu namamu?”
“Sebut saja….” Gadis itu mengingat-ingat sebentar, dia mencari-cari nama samaran yang tepat. “Silvi. Ingat jaga rahasia ini!”
“Rileks aja!” Gadis itu berpamitan pulang, Tyas menatapnya dengan senyum dikulum.


DELAPAN

Seorang gadis cantik duduk dengan santai di warung tepi jalan yang berdekatan dengan sekolah, dia memperhatikan anak-anak yang baru pulang. Dari kejauhan nampak seorang lelaki bertubuh gemuk keluar dengan menaiki motornya seorang diri. Merasa pemuda itulah yang diselidikinya, dia meletakkan uang seratus ribuan dan melangkah pergi, pemilik warung sempat memanggilnya, cuman melihat uang seratus ribu untuk segelas jus melon, mengurungkan niatnya untuk mengejar gadis itu.
Gadis itu berjalan cepat menuju mobilnya. Dia berusaha mengikuti motor Hari diam-diam, sebenarnya agak sulit mengikuti motor dalam jalan Jakarta yang macet, sehingga mobilnya tidak leluasa bergerak, sedang motor Hari meliuk-liuk melewati beberapa mobil yang berjalan pelan. Gadis itu bisa mengikuti Hari hanya sampai lampu merah, selepas lampu merah, Hari tidak kelihatan lagi. Meski begitu dia merasa penyelidikannya dianggap cukup, sebab keinginannya mengetahui secara langsung keadaan Hari yang sebenarnya sudah tercapai.
Sewaktu diam sendirian, bayang-bayang kegagalan cinta yang bertubi-bubi hadir dalam benak Hari. Dia benar-benar putus asa. Apa yang salah dengan lelaki gemuk seperti dirinya? Dia sebenarnya pernah berusaha untuk mengurangi porsi makanya menjadi dua kali sehari agar bisa bertubuh langsing, tapi tubuhnya tetap gemuk juga. Padahal ada temannya yang bertubuh kurus, porsi makannya bisa dua piring dengan tiga kali makan, tubuhnya tetap tidak gemuk seperti dirinya. Baginya yang paling penting menjaga porsi makan, rajin olah raga tenis meja setiap sore agar bisa hidup sehat. Memang dia bisa hidup sehat, fisiknya tidak pernah jatuh sakit lagi, masalahnya batinnya merasa sakit tanpa seorang kekasih di sampingnya.
Malam minggu teman-temanya asyik berpacaran, dia kesepian di rumah. Ketika sepasang kekasih menikmati masa-masa indah, dia menatap langit-langit kamar sambil memeluk guling. Manakala para pemuda dan pemudi dalam buaian cinta, dunia terasa indah bagi mereka, sedang dirinya memandang dunia sempit tanpa cinta.
Merasa suntuk dengan berbagai macam masalah yang di hadapinya, dia memutuskan jalan-jalan ke luar rumah. Di pertigaan jalan, anak-anak muda asyik bersenda gurau.
“Saya boleh bergabung dengan kalian?” tawar Hari
“Tumben mau bergabung?” Seorang pemuda berambot gondrong menyahut
“Biasanya kau bersikap cuek pada keberadaan kami,” lelaki yang bertubuh kurus mengeluarkan asap rokok yang mengepul dari mulutnya.
“Maaf, jika sikap saya kurang berkenan pada kalian selama ini.”
“Untuk apa mempersoalkan masa lalu,” lelaki tegap yang dihormati anak muda yang lain menyahut, dia nampaknya sebagai ketua kelompok tersebut. “Siapapun bisa bergabung dengan kita, dan siapapun bebas keluar dari kelompok kita. Kita berkumpul sekedar pelarian dari masalah masing-masing. Apakah kalian sepakat denganku?”
“Yaaa!” sahut mereka kompak
Kehadiran Hari mulai diterima di kelompok barunya, dia senang sekali. Awalnya dia ikut-ikut merokok sambil ngobrol ngolor ngidul atau bermain catur. Saat mereka berpesta minuman keras, mau tidak mau Hari ikut minum juga. Minum minuman keras merupakan pelarian baginya akibat penolakan cinta berulangkali. Dia kini memiliki kebiasaan baru yakni mabuk. Kebiasaan yang membawanya melupakan teman chating, dia tidak pernah chating lagi, sehingga hubungannya dengan teman chatingnya terhenti.
Agustin yang baru pulang kerja, sering memergoki Hari mabuk-mabukan di pertigaan jalan. Agustin bersedih melihatnya, dia merasa menjadi salah satu penyebab hal itu sampai terjadi. Agustin paham perasaan Hari, dalam keadaan tertekan, tiada jalan lain selain mabuk. Agustin pulang ke rumahnya, dia tidak dapat memejamkan mata membayangkan yang dialami Hari. Dia berusaha mencari jalan keluar terbaik.
“Kau mabuk, Har?” tegur ayahnya yang asyik menonton tinju, sehingga ketika Hari pulang dalam keadaan mabuk, dia memergokinya. Selama ini Bu Maryam berusaha menutup-nutupi.
“Si…apa ya?” Hari mabuk berat.
“Dasar laki-laki tak berguna!” Tangan Bapaknya hendak menamparnya, dipegangi Ibunya.
“Kau tidak mengetahui kesedihan anakmu, jangan mudah menamparnya! Ingat kasus motor dulu, apa kau tidak malu pada anakmu?”
“Huh!” Bapaknya sekuat tenaga menahan amarahnya yang menggunung, dia duduk lagi menyaksikan tinju.
Bu Maryam membimbing anaknya menuju kamar tidurnya, sesampai di sana Hari muntah, sebagian muntahannya mengenai tubuh ibunya. Dengan sabar Bu Maryam memijit leher anaknya, lalu membaringkan di kasur, Hari tertidur pulas. Bu Maryam membersihkan muntahan di lantai dan pergi ke kamarnya. Setelah berganti baju, dia kembali lagi memperbaiki selimut anaknya.
Bu Maryam menemani anaknya dengan duduk di tepi ranjang, sampai tertidur di samping Hari. Meski tidur lebih lambat, Bu Maryam bangun terlebih dulu. Dia ke kamar mandi dan berwudhu, lalu menunaikan shalat Subuh. Setelah itu kembali ke kamar anaknya. Dia tidak tega melihat anaknya, air mata mengalir di pelupuk matanya.
Hari bangun dari tidur panjang, dia tertegun melihat ibunya menangis di sampingnya, Hari ikut bersedih.
“Jangan menangis, Bu!” cegah Hari.
“Kau sudah bangun, syukurlah!” Bu Maryam menghapus air matanya. “Kau tidak pernah cerita padaku jika sedang mengalami masalah.”
“Aku tidak ingin membuat Ibu cemas, lagian aku bisa mengatasinya.”
“Dengan cara mabuk?” Hari tertegun mendengar perkataan ibunya. “Mabuk tidak akan menyelesaikan masalah. Hadapilah secara tegar!”
Hari tercenung beberapa saat memperhatikan kata-kata ibunya, dia memang menjadikan mabuk sebagai konpensasi semata. Bu Maryam keluar dari kamarnya.
Sore hari yang mendung, awan bergelantung di angkasa menutupi cahaya matahari, hujan mungkin akan turun di malam hari. Hari menyalakan televisi, dia menonton berita tentang bencana banjir di Jakarta dan banjir bandang di beberapa daerah, untung rumahnya terletak di tempat yang agak tinggi, sehingga terhindar dari banjir. Ketika menyaksikan mayat-mayat diangkut ke atas ambulan., tanpa disadari air mengalir memenuhi pelupuk matanya.
Dalam benak Hari bayang-bayang tragedi Aceh kembali terlintas jelas. Keadaan Aceh lebih parah lagi, mayat-mayat bergelimpangan tak terurus selama berminggu-minggu, bangunan rata dengan tanah tersapu Tsunami, Seluruh kawasan pantai Aceh sampai beberapa kilo meter ke dalam dilalui tsunami yang ganas, sehingga korban jiwa mencapai ratusan ribu orang. Cuman hebatnya masjid tetap berdiri utuh, ini menunjukkan bahwa Islam akan tetap eksis dalam keadaan apapun.
Hari merenung lama memikirkan semua itu, dia kemudian menyimpulkan bahwa keadaannya walau belum pernah pacaran, masih lebih beruntung, banyak orang nun jauh di sana yang lebih menggenaskan, memilukan, menyedihkan dan menggetirkan nasibnya dari dirinya. Dia melangkah ke kamar mandi berwudhu, lantas menunaikan shalat. Dalam shalat Magrib tiga rakaat, tetesan air mata mengalir membasahi sajadah mengingat peristiwa Aceh, Nias, banjir di berbagai pelosok negeri dan musibah lainnya yang datang silih berganti, serta nasibnya.
Shalat yang dilaksanakannya terasa lain. Sekian lama tidak menunaikan shalat, pada waktu melakukannya dengan khusu’ senantiasa mengingat Allah, dia benar-benar merasakan ketenangan batin. Ini berbeda dengan shalat yang pernah dilakukan sebelumnya, yang hanya shalat Jum’at saja. Dalam doa Hari meratap pilu.
“Ya Allah! Semoga hamba-hambaMU yang dipanggil dalam berbagai musibah di seluruh pelosok negeri, Engkau ayomi di sisiMU! Semoga mereka berbahagia di surga, menikmati kebahagiaan yang tidak dinikmati di dunia. Ya Allah! Semoga Engkau menganugerahkan kesadaran pada orang-orang yang berada di jalan sesat. Aku memang gagal memiliki kekasih dalam beberapa tahun terkahir, tapi kuyakin Engkau menyayangiku, sebab sampai detik ini Engkau memberikanku kesehatan dan Islam. Terima kasih, ya Allah!” Hari menghapus air matanya.
“Assalamu’alaikum!” pada saat itu Hari mendengar suara salam dari luar, dia bergegas membuka pintu, Agustin datang berkunjung ke rumahnya.
“Wa’alaikum salam! Silahkan duduk!”
“Aku duduk di luar saja.”
“Di dalam kenapa, sih? Keluargaku sedang keluar semua.” Agustin menuruti kata-kata Hari, dia duduk di dalam. Hari ke dapur sejenak, dia keluar dengan membawa dua gelas teh.
“Merepotkan, nih!”
“Tinggal seduh, biasa pakai Dispenser. Silahkan diminum!” Hari meminum teh, Agustin meniup teh beberapa kali dan meminumnya.
“Kau berhenti mabuk-mabuan di perempetan jalan?”
“Lihat! Malam ini aku ada di sini,” Hari tersenyum.
“Ya malam ini, besok-besok kau mabuk lagi.” Suasana hening beberapa saat, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. “Bagaimana seandainya kita membuat komitmen bersama,” ujar Agustin tiba-tiba.
“Aku tidak mengerti.”
“Aku akan berhenti secara total menjadi pelacur selamanya, namun kau harus berjanji untuk tidak mabuk lagi.”
“Benarkah tawaran ini?”
“Yap!”
“Apa kau tidak menyesal?”
“Bukannya menyesal, justru harus disyukuri, sebab aku bisa keluar dari belenggu yang kuciptakan sendiri. Kini tiba saatnya bersikap benar, membuang konpensasi yang keliru jauh-jauh dari kehidupanku.”
“Aku senang mendengarnya,” Hari ingin berjingkrak-jingkrak mendengar hal itu, tapi dia berusaha menahannya. Sebuah perasaan misterius mengalir dalam sendi-sendi tubuhnya, mendatangkan rasa bahagia tiada tara.
“Berarti kita deal?” Agustin turut merasakan kebahagian yang sama, dia merasa mampu memperbaiki diri sekaligus memperbaiki Hari yang dikenal sebagai pemuda yang baik hati.
“Sangat super deal,” Hari merasa gembira sekali. “Seandainya banyak orang yang sadar sepertimu, semakin indah kehidupan ini.”
“Kau seperti seorang sastrawan. Hi hi hi!” Agustin tertawa.
“Sastrawan yang kesepian! Trims pujiannya, kau orang kedua yang sangat berarti dalam hidupku selain teman curhatku.”
“Kau punya teman baru, rupanya. Aku kok tidak pernah melihatnya datang ke rumahmu.”
“Dia teman chating di internet, kuharap suatu waktu kami bisa bertemu.”
“Jangan berharap terlalu banyak, nanti kau kecewa lagi!”
“Bukankah ada kamu? Ha ha ha!” Hari tertawa.
“Hi hi hi!” Agustin tertawa juga. “Kau pintar bercanda. Ingat kita tetap sebagai Kakak Adik.”
“Oke, Kakakku yang cantik.”
“Aku pamit dulu!” Agustin melangkah dengan langkah yang pasti, dia merasa hari esoknya bertambah cerah. Dia berhasil menyadarkan Hari sekaligus menyadarkan dirinya dari pelacuran.
Hari mendadak teringat dengan teman chatingnya yang telah lama dilupakan, dia melangkah tergesa-gesa menuju Warnet. Sewaktu memulai chating, teman chatingnya belum online. Dia mengirim kabar, sambil menunggu jawaban. Tiada beberapa lama baru ada jawaban

HARI
Maaf Bro! Aku baru kali ini online lagi


GEMROOT
Kirain tidak membutuhkanku lagi

HARI
Dari lubuk hati yang paling dalam, aku meminta maaf!

GEMROOT
Sebelum meminta maaf, udah kumaafin Bro!

HARI
Thanks Bro! Musibah yang menimpa negeri ini silih berganti, mulai tsunami Aceh, tragedi Nias, kini banjir menjadi pemandangan rutin tiap musim hujan? Malah disertai tanah longsor dan banjir bandang yang merengut banyak nyawa.

GEMROOT
Jika dirunut peringkat bencana, Aceh nomer satu, tragedi Nias nomer dua, banjir bandang nomer tiga, tanah longsor nomer empat, banjir nomer lima dan seterusnya. Untuk besarnya bencana yang pernah terjadi di muka bumi, Aceh mungkin terdasyat yang pernah menimpa umat manusia. Memang kudengar letusan gunung Krakatau lebih mengerikan lagi, tapi yang bisa kita lihat langsung adalah bencana Aceh ini. Apalagi dari sudut korban secara global, inilah bencana alam paling dasyat di dunia.

HARI
Menurutmu, apa makna semua itu?

GEMROOT
Mungkin peringatan bagi kita anak muda yang bersikap seenaknya dalam menjalani hidup; minum minuman keras, narkoba, seks bebas, gaya hidup berlebihan, pronografi dan menjauh dari Tuhan.


HARI
Menurutku bukan hanya bagi anak muda, tapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang sekarat ini. Krisis tanpa akhir, membuat kita terpuruk diperparah beberapa musibah yang datang silih berganti di berbagai pelosok tanah air, sungguh kita benar-benar sekarat. Semoga semua bencana yang menimpa kita selama ini, membuat kita bangkit dari mati suri.

GEMROOT
Bahasamu indah sekali. Gimana kabarmu?

HARI
Aku sempat mabuk-mabukan karena putus asa cintaku ditolak berulang kali, bahkan oleh seorang pelacur sekalipun. Tapi aku sadar, nasibku masih lebih baik dari orang-orang yang terpaksa merenggang nyawa tertimpa musibah.

GEMROOT
Berarti kau berhenti minum minuman keras

HARI
Ya! Di samping sadar karena melihat berita berbagai bencana yang melanda kita, juga karena jasa Kak Agustin, pelacur yang menolak cintaku. Dia mengajakku berkomitmen untuk sama-sama berhenti; aku berhenti dari mabuk dan dia berhenti jadi pelacur.

GEMROOT
Hebat sekali! Aku salut padamu dan Agustin, bisa mengatasi kesulitan yang dialami akibat penolakan cinta berulang kali.

HARI
Jangan terlalu memuji, pecah kepalaku. Ha ha ha!


GEMROOT
Ha ha ha!

HARI
Kita sudah saling kenal lama sekali. Apa tidak ada hasrat untuk bertemu.

GEMROOT
Nanti kau kecewa melihatku dan menghentikan persahabatan indah di internet ini.

HARI
Bukan sebaliknya? Seperti apapun keadaanmu, aku akan menerima dengan lapang dada. Sebagai orang yang sama-sama gemuk, tentu saling mengerti bukan?

GEMROOT
Sebenarnya ….

HARI
Kenapa tidak dilanjutkan kata-katamu

GEMROOT
Nanti pada waktu kita bertemu. Kita janjian ketemu di mana?

HARI
Terserah padamu!

GEMROOT
Gimana kalau di taman bunga TMII, romantis bukan?

HARI
Exactly! Bagaimana caraku mengenalmu


GEMROOT
Aku yang akan mengenalmu, kau cukup memakai baju yang paling menarik dan memegang bunga yang paling aneh.

HARI
Kau curang! Aku tidak bisa mengenalimu, kau bisa mengenaliku. Tidak bisa begini!

GEMROOT
Oke Bro! Nanti aku membawa boneka bertuliskan GEMROOT, sehingga kau bisa mengenaliku.

HARI
Yes! Sampai jumpa besok!

GEMROOT
Awas tidak datang kau!

Hari tanpa sadar menari-nari dan bernyanyi kecil di Warnet, tentu saja orang-orang ada di sekitanya melihatnya dengan menahan senyum. Setelah sadar dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia pulang ke rumah dengan tersenyum sendiri.
Hari merasa terbang di angkasa di antara bintang-bintang di langit, sewaktu bintang jatuh lewat, dia terbang bersama sambil memeluknya. Dia melihat dunia menjadi tempat yang luas, indah, dan terasa menyenangkan hidup di dalamnya. Ketika bintang menghilang, Hari kelimpungan, dia terjatuh.
“Bangun! Matahari hampir terbit! Kau tidak shalat shubuh?” Hari menggerakkan tubuhnya, membuka mata perlahan, ternyata hanya mimpi.
“Kau tidur di lantai?”
“Hah?” Hari bangun dengan tercengang, ternyata dia jatuh ke lantai dari atas kasur. Ini kedua kalinya terjadi, entah pertanda baik atau buruk. “Dasar mimpi!” ujarnya dalam hati.
Hari bangun dari tidur melangkah ke kamar mandi, dia mandi sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Lalu melap air dengan handuk, memakai sarung dan baju untuk menunaikan shalat subuh. Selesai shalat, Hari duduk tercenung agak lama.
Cinta pertama sampai kelima gagal semua karena kriteria cewek yang diincarnya terlalu tanggi. Rosita, Cecil, Risa, Tyas, Agustin adalah wanita-wanita yang cantik, manis, anggun, berasal dari keluarga kaya, sehingga wajar dia mengalami kegagalan saat menyatakan cintanya. Kini pandangan lama yang kurang tepat tentang orang-orang yang akan dicintainya berusaha dirubah.
Hari ingat nasihat temannya dulu, dia harus menurunkan standar kriteria cewek yang diincarnya, makanya dia mau bertemu dengan teman chatingnya seorang gadis gemuk, sama dengan dirinya, sehingga kemungkinan untuk diterima sangat besar sekali. Dia yakin kali ini cintanya akan diterima oleh teman chatingnya. Bagaimana jika gagal?
Tidak mungkin! Hari merasa tidak akan gagal lagi, bukankah dia sudah menurunkan standar kriteria cewek yang disukainya? Bukankah dia mau menerima seorang gadis gemuk? Bukankah dia mau menerima seorang gadis yang biasa-biasa saja? Bagaimana jika gagal?
Entahlah! Jika kali ini masih gagal, Hari tak tahu harus berbuat apa lagi. Mungkin dia ditaqdirkan untuk hidup sendiri seumur hidup. Alangkah sepi, sunyi, hampa, mengerikan hidup di dunia tanpa seorang wanita di sampingnya. Dia akan menjalani kehidupan yang membosankan seumur hidup.
“Mengapa aku harus patah semangat sebelum bertanding?” Hari berujar pada diri sendiri. Dia memutuskan menemui dulu teman chatingnya, baru memikirkan hal-hal lainnya kemudian. Memikirkan sesuatu yang belum terjadi justru membuat diri stres, rendah diri, frustasi, terbelenggu dalam tembok yang diciptakan sendiri.
Itulah hal-hal yang berkecamuk dalam diri Hari sebelum berangkat ke medan perang yakni perang untuk mendapatkan kekasih. Pertemuan pertama dengan teman chating secara langsung dianggap langkah awal mendapatkan kekasih hati yang merupakan perang terberat dalam hidupnya.
Hari meyakinkan diri sendiri untuk menghadapi apapun yang akan terjadi. Dia berdandan sebaik-baiknya untuk menemui calon kekasih hati.
Dengan langkah mantap, Hari memasuki taman bunga TMII yang indah. Bau harum yang semerbak mengharumkan penciuman. Dia menghirup nafas dalam-dalam. Dia membalikkan tubuh menghadap pintu Taman Bunga, memperhatikan orang-orang yang lewat. Dia menunggu dengan harap-harap cemas, setiap ada wanita bertubuh gemuk lewat diperhatikan dengan seksama.
Kala itu ada dua orang wanita lewat, salah satunya bertubuh gemuk. Hari menyangka mungkin wanita inilah yang ditunggunya. Wanita gemuk yang merasa diperhatikan tanpa berkedip, menjadi salah tingkah, sedang temannya menyikutnya sambil tersenyum. Melihat wanita itu tidak membawa boneka, Hari berusaha menjauh kembali ke tempat semula.
“Dasar orang sinting!” maki wanita gemuk itu, dia melangkah dengan bersungut-sungut, temannya tertawa terbahak-bahak.
Dari kejauhan seorang gadis cantik memperhatikan dari dalam mobilnya, dia tersenyum sendiri melihat tingkah Hari.
Seorang wanita gemuk lewat lagi sendirian, Hari mendekatinya. Dia mengelilingi wanita itu, yang tentu saja membuatnya kebingungan.
“Ada apa mengelingiku?” tanya wanita gemuk itu.
“Ti….dak. Maaf!” Hari gugup, dia tidak menemukan boneka yang dicari.
“Sialan!” Wanita gemuk itu pergi dengan jengkel.
Sepasang lelaki gemuk dan wanita gemuk berjalan beriringan, kebetulan tangan wanita itu disembunyikan di belakang punggungnya. Hari merasa inilah wanita yang ditunggunya, sedang yang laki-laki dianggap sebagai kakak wanita tersebut.
“Hei! Kau Gemroot ya?” tegur Hari tanpa rasa takut.
“Apa? Kau mengatai pacarku Gemroot? Plaar!” sebuah tamparan melayang ke pipinya.
“Maaf! Aku tidak bermaksud begitu!”
“Sudahlah, sayang! Ayo kita pergi!” Ajak ceweknya yang gemuk.
“Awas kau!” ujar lelaki itu. Ceweknya menarik tubuh pacarnya menjauh dari Hari.
Hari terduduk lemas, berarti teman chatingnya mungkin tidak datang. Dia merasa hari-hari buruknya tidak akan pernah berlalu, padahal dia berharap banyak pada pertemuan kali ini.
Melihat Hari ditampar, gadis yang berada di dekat mobil mendekatinya dengan tergesa-gesa, dia tidak menyangka kejadian itu akan terjadi.
“Menunggu seseorang?” tegur gadis itu.
“Tidak, eh, ya,” Hari salah tingkah, dia berdiri dari duduknya. Dia terpana melihat kecantikan gadis itu.
“Aku GEMROOT teman chatingmu di internet, nama asliku Tata.”
“Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin!” Hari menggeleng-gelengkan kepala sambil menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. “Teman chatingku bertubuh gemuk dan tidak luar biasa cantik sepertimu.”
“Ini buktinya!” Tata Mengeluarkan boneka dari belakang tubuhnya, boneka itu bertuliskan GEMROOT.
“Ah!” Hari merasa lemas seluruh tubuhnya, dia terduduk kembali di atas rumput, tangannya membuang bunga yang digenggam erat.
“Kenapa? Kau tidak suka?” Tata duduk di sampingnya.
“Bukan begitu. A…aku …” tangan Hari mempermainkan rumput.
“Aku merasa senang bertemu denganmu. Mengapa sikapmu aneh begini?”
“Apa yang harus kukatakan lagi?” Hari bingung tak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Katakan terus terang, bagaimana perasaanmu saat bertemu denganku?”
“Kenapa kau bohong?” Hari justru balik bertanya.
“Soal apa?” Tata juga melakukan hal yang sama.
“Di internet kau bilang bertubuh gemuk, lihatlah sekarang kau langsing, cantik, penuh pesona, anggun, bahkan bagiku kau sangat sempurna sebagai seorang gadis. Dan se…per…tinya kita pernah bertemu,” Hari mencoba mengingat-ingat sebentar. “Ya, kita pernah bertemu sebelumnya.”
“Dimana?” Tata senang sekali mendengar mereka pernah bertemu sebelumnya, meski dia tidak menyadari pertemuan tersebut.
“Yang pertama di gedung bioskop sewaktu hendak menonton film Banyu Biru, yang kedua di toko buku Gunung Agung saat aku tengah memilih buku. Kau benar-benar gadis itu yang membuatku melongo seperti orang bodoh, terpesona dengan sosokmu yang sangat kuat sebagai seorang gadis luar biasa, terpana dengan pancaran kecantikanmu yang tiada tara. Yah! Kau gadis paling sempurna yang pernah kulihat. Malah bagiku kau lebih cantik dari Dian Sastro, bintang film favoritku. Bagaimana mungkin?” Hari tidak melanjutkan kata-katanya.
“Kau pasti suka bertemu denganku secara langsung, duduk berduaan lagi,” Tata mendekatkan duduknya.
“Kau terlampau sempurna untukku!” Mendadak Hari berdiri dan berlari sekencang-kencangnya.

Hari tidak menghiraukan Tata yang terbengong-bengong tidak mengerti. Hari terus berlari, dia berlari dengan seluruh tenaga yang dimiliki, dia tidak menghiraukan tatapan orang-orang di sekitarnya. Baginya berlari, berlari dan berlari sampai merasa lelah adalah obat mujarab bagi luka hati yang semakin menganga lebar. Luka lama mengembang diperbesar dengan luka baru, batinnya benar-benar berdarah-darah. Darah yang menetes melumuri seluruh tubuhnya.
Dirinya hancur berkeping-keping tanpa bisa disembukan kembali, harapan untuk mendapatkan kekasih musnah ditelan hembusan angin, terbang ke angkasa bersama burung, menari bersama bintang, hinggap dalam pelukan rembulan.
Manakala standar kriteria cewek yang disukainya diturunkan pada level terendah, dia merasakan penderitaan, siksaaan, kepiluan, dan sakit yang tiada tara, tak pernah dia merasakan sakit yang sedasyat ini. Ketika ditolak cinta pertama dia memang terluka, ditolak Risa dan Cecil dia menderita, ditolak Tyas dia merana, ditolak Agustin dia sengsara, semua luka lama itu menyatu menjadi satu, bergabung dengan luka baru yang jauh lebih dasyat.
Hari menghentikan larinya, matanya mencari-cari kamar mandi. Dia melangkah gontai ke kamar mandi. Dia menumpahkan tangisnya di sana. Kali ini, dia lama sekali di kamar mandi, sampai tetesan air mata terasa mengering. Ketokan pintu dari orang yang ingin memakai kamar mandi tidak dihiraukannya. Dia mempermainkan air, dia menganggap air itu adalah jelmaan dari gadis-gadis yang pernah menolaknya, dia memukulnya berulang kali. Dia menumpahkan seluruh kekesalan pada air di kamar mandi. Air bermuncratan ke sana ke mari. Orang yang mengetuk dari luar tak mengetuk lagi mendengar suara gaduh dari dalam.
“Ya Allah! Apakah aku demikian memuakkan sehingga semua orang menolakku? Apakah aku yang bertubuh gemuk harus menerima kebencian dari seluruh gadis? Mengapa kau biarkan aku terus menerus terluka, gagal, putus asa, stres, menderita, merana, sengsara? Apakah taqdir hidupku adalah menikmati setiap putaran waktu, melewati detik demi detik, dalam jurang derita yang menganga?”
Hari terkulai di kamar mandi, matanya telah kering dari air mata. Tubuhnya terasa lemas tak berdaya, pikirannya buntu, imajinasinya mandeg, perasaannya galau, hatinya berdarah-darah, dirinya benar-benar merasa mati dalam hidup. Apa makna hidup bagi seseorang yang jiwanya kosong?

Mati, kata yang misterius muncul di benaknya. Mendadak dia merasa segar kembali. Mati, bisa menjadi jalan keluar dari masalah-masalah yang diderita. Mati, bisa menghilangkan duka lara menjalani kehidupan. Mati, obat mujarab segala macam penyakit. Apakah dirinya mesti memilih Mati?
Perlahan-lahan citra-citra dalam imajinasi memunculkan mayat-mayat bergelimpangan di Aceh, Nias, banjir bandang Pacet Mojokerto, banjir bandang di Jember, banjir bandang di Lombok dan orang-orang yang tertimbun hidup-hidup akibat longsor, menari-nari di pelupuk matanya. Mereka semua mati, karena keadaan menginginkan mereka mati, mereka mati dalam taqdir yang ditentukan Ilahi. Mereka mati secara terhormat dalam hembasan musibah akibat kemarahan alam.
Dirinya jika memilih mati dengan cara bunuh diri, berarti dia mati karena memaksakan diri, bukan kehendak Ilahi. Dia mati secara tidak terhormat. Gadis-gadis yang pernah menolaknya akan tertawa riang, mereka pasti bertepuk tangan gembira. Orang-orang di sekitar akan mencibirnya. Dunia akan mengutuk dirinya. Pintu akhirat akan tertutup rapat. Dia akan menderita setelah kematian, melayang-layang tanpa tujuan di antara dua dunia. Dia tidak boleh membiarkan hal ini terjadi pada dirinya.
“Bunuh diri bukan jalan keluar dari masalah, melainkan sumber masalah dari segala masalah,” Hari tersungkur kembali.
Imajinasinya bergerak-gerak kembali seperti cacing tanah, bergerak terus memenuhi benaknya, bergerak tak tentu arah ke sana ke mari, lalu hinggap dalam sebuah pulau bernama “Karya tulis”.
Seluruh dunia boleh menertawainya, semua wanita boleh menolaknya, seisi bumi boleh menghina dirinya, namun dia masih memiliki pulau yang sangat bermakna bagi kehidupan. Dia bisa menulis tentang pengalaman hidupnya yang menggetirkan ini. Siapa tahu kelak tulisannya bisa bermakna bagi orang yang bernasib sama dengan dirinya, bisa bermanfaat bagi orang lain, bisa merubah pandangan orang yang keliru dalam menilai seseorang, bisa membuka cakrawala baru, bisa berguna bagi sesama manusia.
Hari berdiri perlahan, dia mengibas-ngibaskan air dan kotoran yang melekat dalam dirinya. Dia membuka pintu kamar mandi, melangkah satu persatu dengan mantap, menjalani sisa hidup dengan berkarya. Pulau penuh warna, indah, elok, cantik, menanti agar digarap dengan serius, sungguh-sungguh, penuh dedikasi, telaten, sabar, dan tak kenal kata menyerah. Dalam pulau itu, dia bisa menciptakan gadis yang jauh lebih cantik dari semua gadis yang menolaknya, jauh lebih manis, jauh lebih seksi, jauh lebih sempurna, dan paling penting dia bisa memilikinya sepenuh jiwa, walau secara fisik hal itu tak pernah bisa jadi nyata.
Tata berusaha mengejar Hari begitu tersadar dari kebengongannya, tapi dia tidak mampu mengejarnya. Dia kembali ke mobilnya, sampai di mobil merenung lama, berusaha merangkai seluruh peristiwa yang terjadi pada dirinya dan Hari. Muncul berbagai imaji dalam benaknya, mulai perkenalan dengan Hari di internet, mereka saling curhat, penyelidikannya lewat Tyas, dia mengikuti Hari sampai lampu merah dan pertemuan mereka beberapa menit yang lalu. Tapi apa makna semua ini? Dia tidak mengerti sama sekali.
Perlahan Tata menjalankan mobil, dia tidak langsung pulang ke rumah, melainkan berjalan-jalan ke Mall. Capek berjalan-jalan, dia duduk santai di restoran. Beberapa lama kemudian, kakinya melangkah menuju gedung bioskop, berhubung ada film komedi bagus, dia menonton sendirian. Film lucu membuat para penonton tertawa, Tata tidak ikut tertawa. Meski matanya melihat layar, pikiran, imajinasi, perasaaan, dan hatinya melayang entah kemana.


SEMBILAN

Malam menyelimuti Jakarta, kota yang tak pernah mati. Tata menghempaskan tubuhnya di atas sofa dengan perasaan kesal, dia tidak menyangka Hari bersikap begitu. Dalam imajinya sebelum bertemu Hari, dia bisa menemukan cinta yang berbeda dengan kisah cinta yang dialami sebelumnya. Nyatanya Hari bersikap aneh yang tidak dimengertinya.
“Wah! Baru datang sudah kesal, habis tertimpa durian, Nona?” Papanya datang menghampiri untuk menghibur putrinya, sayang Tata tidak mengubrisnya.
“Orang gemuk suka bersikap aneh?” Tata bergumam seperti pada diri sendiri.
“Tidak semua. Aku bersikap aneh tidak?” Papanya balik bertanya.
“Tidak sih!” Tata terdiam beberapa saat.
“Putriku yang kebingungan, kau ceritakan secara lengkap apa yang terjadi, baru Papa bisa mengemukakan pendapat yang tepat. Siapa tahu bisa membantumu mengatasi masalah ini.”
“Papa tahu bahwa selama ini aku agak sering berchating ria di internet, nah dalam beberapa kali chating, aku memiliki teman yang mengaku bertubuh gemuk …”
“Mulai buka kartu rupanya,” sela papanya.
“Kumat lagi penyakit papa, aku serius nih!”
“Oke, anak manis. Papa akan diam sampai ceritamu selesai.”
“Awalnya kami sekedar saling curhat tanpa ada keinginan melangkah lebih jauh, lama-kelamaan dia menceritakan jati diri sebenarnya, lalu aku menemui salah seorang temannya Tyas untuk membandingkan dengan keterangan Hari di internet, ternyata dia bersikap jujur. Di samping itu, kisah hidupnya yang tidak pernah pacaran sampai berusia 20 tahun karena cintanya slalu ditolak, semakin menarik perhatianku. Lalu aku mengadakan penyelidikan ke sekolahnya, Hari lelaki bertubuh gemuk, namun wajahnya manis dan menarik, belum ditambah kepribadiannya yang benar-benar membuatku tertarik luar biasa. Sehingga ketika kami janjian untuk bertemu, aku senang sekali. Untuk mengenaliku, aku membawa boneka dengan tulisan GEMROOT, sebab nama samaranku di internet adalah GEMROOT.”
“Tunggu dulu, berarti kau di internet mengaku bertubuh gemuk seperti teman chatingmu.”

“Tebakan Papa benar sekali! Sewaktu bertemu di Taman Bunga TMII, aku melihatnya dari mobil, sengaja tidak keluar-keluar untuk melihat reaksinya. Waktu itu setiap ada wanita bertubuh gemuk lewat, kulihat Hari menyelidiki dengan cara melihat-lihat, atau mengelilinginya. Puncaknya dia ditempeleng seorang lelaki. Aku kaget dan bergegas menghampirinya. Aku mengaku sebagai teman chatingnya dengan menunjukkan bukti berupa boneka yang bertuliskan GEMROOT. Hari antara percaya atau tidak, dia bingung. Lalu kami saling ngobrol beberapa saat. Tiba-tiba dia mengucapkan; kau terlalu sempurna untukku, dia kemudian lari sekencang-kencangnya. Aku tak kuasa mengejarnya.”
“Oh begitu masalahnya, toh!” Papanya tersnyum simpul.
“Papa mau meledekku lagi?” Muka Tata merengut.
“Orang yang kesal bawaannya curiga terus. Maksudku tadi adalah teman chatingmu di internet punya anggapan bahwa kau wanita bertubuh gemuk, ternyata kau anak Papa yang cantik, langsing dan menawan, lantas dia kecewa sehingga bersikap aneh padamu.”
“Seharusnya dia senang melihatku sebagai gadis impiannya.”
“Dia minder bertemu denganmu sayang! Ketika berangkat dari rumah, dia telah memiliki citra tentang gadis yang hendak ditemuinya, yakni; seorang gadis bertubuh gemuk seperti pengakuanmu di internet, ketika bertemu nyatanya kau berbeda dengan yang dibayangkannya, sehingga menghancurkan citra yang dibangun. Dia kecewa sekali, karena merasa bahwa cintanya kali ini akan gagal lagi seperti kisah-kisah sebelumnya. Makanya dia bersikap aneh!”
“Berarti ini cuman salah paham semata.” Tata menyimpulkan.
“Begitulah!”
“Papa juga bersikap sama terhadap Mama. Bukankah Mama cantik sekali?”
“Ingin tahu rahasia Papa saja, lagian tidak baik membicarakan Mamamu yang berada di luar negeri.”
“Sorry, gitu aja tersinggung,” gantian Tata yang mengajak bercanda setelah mengetahui masalah yang sebenarnya. “Apa yang harus kulakukan, Pa?”
“Kau harus berani menemuinya kembali dan menyatakan perasaanmu padanya.”
“Tidak bisa! Selama ini lelaki yang mengejarku, mustahil sekarang aku yang mengejar lelaki. Bertubuh gemuk lagi.”
“Itulah kehebatan orang gemuk, sayang. Ha ha ha!”
“Huh, Papa ada-ada saja!”
“Tidak, Papa mengatakan yang sejujurnya. Seorang lelaki bertubuh gemuk yang punya sikap sensitif, hanya akan mencintai seorang wanita seumur hidupnya ketika wanita yang diidam-idamkan menjadi miliknya. Dia mewujudkan cintanya tanpa pamrih, tulus, sabar, baik hati, mudah memaafkan, sehingga mampu memberikan kebahagiaan pada wanita yang dicintainya.”
“Sama dengan Papa, dong!”
“Kau jangan membandingkan dengan Papa terus, nanti …”
“Tidak usah dilanjutkan, aku mengerti lanjutannya, nanti terjebak dalam figur seseorang yang mempersempit pandangan hidupmu. Lagian Hari-ku lebih manis dan menarik dari Papa, trus tubuhnya lebih kurusan dikit. Hi hi hi!” Tata berlari ke kamarnya dengan tawa renyah.
“Kau benar-benar jatuh cinta, putriku!” teriak Papanya. Sayup-sayup Tata mendengar kata-kata itu.
Tata memasuki kamarnya dan menutup pintu. Dia menghidupkan komputer dan mengaktifkan internet. Dia mencari tahu apa Hari chating malam ini, setelah menunggu beberapa lama, ternyata tidak ada. Dalam kebingungan, dia melihat Hpnya, teringat pada Tyas. Dia menelponnya.
“Hallo. Ini kau Tyas?”
“Ya, pasti Silvi. Ada apa?” tanya Tyas.
“Ada yang mau kuralat. Silvi nama belakangku, nama lengkaku Silvinandita, biasa dipanggil Tata,” Tata diam sesaat. “Aku ingin bertemu dengan Hari, cuman pertemuan tersebut harus istimewa.”
“Jadi nama panggilanmu, Tata,” Tyas manggut-manggut. “Tadi kau bilang ingin bertemu dengan Hari, harus istimewa lagi?” Tyas berpikir sejenak, sambil mengingat-ingat sesuatu, matanya secara tidak sengaja melihat tanggal.
“Hallo, kau masih di sana, Tyas?”
“Masih! Aku ingat, seminggu lagi Hari ulang tahun.”
“Kabar yang menggembirakan. Apa dia merayakannya?”
“Itulah masalahnya, dia tidak pernah merayakan ulang tahun bersama teman-temannya. Kurasa dia tidak pernah merayakannya seumur hidup!”
“Begini aja deh! Aku ingin ke rumahmu besok, baru kita rencanakan segala sesuatunya secara matang. Bagaimana?”
“Oke, kutunggu!” Tyas mematikan Hpnya, Tata meletakkan Hpnya di kasur.
“Yes! I feel in love …” Tata beryanyi kecil dengan riang gembira. Mendengar suara ribut di kamar Tata, papanya melongok di pintu, Tata salah tingkah
“Ada apa? Dapat bintang jatuh?” seru papanya.
“Ah Papa! Pokoknya kabar baik!” Tata melangkah ke pintu, berusaha mengeluarkan tubuh papanya, awalnya dia kesusahan mendorong tubuh papanya yang gemuk, tapi kemudian dia berhasil juga. Tata menutup pintu rapat.
“Ceritakan, dong!” ujar papanya dari balik pintu.
“Tidak sekarang, daaaah!” Tata Melangkah ke kasurnya, dia tersenyum menatap hari esok yang cerah. Perlahan-lahan Tata mulai memejamkan mata, dia tidur dalam balutan malam yang berlalu dengan cepat.
Keesokan Sore Tata menemui Tyas, mereka lalu membuat sebuah rencana yang matang. Agar berjalan sukses, Tyas melibatkan Jefri dan Kurus sahabat karib Hari. Mereka lalu memutuskan untuk menjalankan rencana yang dibuat dengan melibatkan semua pihak yang pernah hadir dalam kehidupan Hari.
Hari merasa aneh dengan kedatatangan Jefri dan Kurus tanpa menghubunginya terlebih dulu. Sebab biasanya mereka menelpon dulu, baru datang. Hari menerima mereka di ruang tamu.
“Untuk apa dua begundal main ke rumahku?” canda Hari.
“Memang tidak senang kedatangan kami,” balas Kurus.
“Senang sekali coy! Apa perut kerempengmu belum diisi makanan, sehingga kau mudah tersinggung sekarang. Ha ha ha!”
“Jangan bercanda terus! To the point aja, Kurus!”
“Pada malam Minggu ini, kau berdandan serapi mungkin. Nanti kami akan menjemputmu, kita akan ke Kafe bersama.”
“Tumben ngajak ke Kafe segala, baru panen ya?” Hari tidak menaruh curiga sedikitpun dengan kedua orang temannya.
“Kami tidak bisa ngomong lebih banyak, ayo cabut Kurus!”
Kurus dan Jefri ngeloyor pergi, tanpa memperhatikan Hari yang memanggil nama mereka agar mendapatkan penjelasan lebih lanjut, tapi keduanya justru mempercepat langkahnya.
“Ada apa gerangan ya? Malam Minggu harus tampil rapi, ke Kafe lagi. Ah! Daripada suntuk di rumah sendirian, lebih baik mengikuti mereka, siapa tahu dia bisa bersenang-senang agar bisa melupakan Tata. Ah! Tata kau gadis paripurna, sedang aku lelaki gemuk yang menyedihkan karena kisah cintaku yang tragis. Paling tidak kita pernah begitu akrab di internet, aku tidak akan melupakan hari-hari yang menyenangkan itu,” ujar Hari dalam hati.
Malam Minggu yang cerah, bintang-bintang bersinar di angkasa menyemarakkan suasana. Tata sibuk memilih pakaian, satu-satu pakaiannya dicoba, merasa tidak ada yang cocok. Papanya datang diam-diam dan duduk di atas kasur melihat putrinya mencoba-coba pakaian.
“Yang itu cocok untukmu, tampak anggun dan cantik,” usul papanya.
“Sejak kapan ada di kamar, Tata?”
“Mulai tadi, Non! Makanya jangan terlalu fokus ke pakaianmu.”
“Papa senang menggoda Tata.” Tata melempar salah satu pakaian, Papanya menangkapnya.
“Yap! Selera dia sama dengan Papa bukan?”
“Tuh kumat lagi.”
“Gitu aja ngambek. Sudah cepat pergi sana! Nanti amburadul semua rencanamu. Oh ya, Papa boleh ikut?”
“Tidak usah, ya?” Tata memonyongkan mulutnya yang manis. “Ayo cepat keluar, Pa. Aku mau dandan, nih!” Papanya melangkah keluar dengan senyum dikulum.
Hari pusing memilih pakaian yang tepat agar tampil beda pada malam itu, sebab tidak biasanya kedua temannya mengajak ke Kafe tanpa penjelasan yang lengkap. Dia tidak ingin mengecewakan mereka. Sampai Jefri dan Kurus datang menjemput, pakaian yang cocok belum didapat.
“Menurutku yang ini bagus,” usul Jefri
“Aku sependapat denganmu, Jefri.”
“Apa tidak akan memalukan kalian?”
“Tentu tidak. Ayo pakai, nanti kita terlambat.”
Hari mengenakan pakaian yang diusulkan temannya. Dalam pakaian yang cocok dengan celana yang serasi, Hari kelihatan menarik.
Mereka berjalan menuju jalan raya, sebuah Taksi menunggu kedatangan mereka.
“Wah! Kalian benar-benar banyak duit sekarang, biasanya naik bus kota atau angkot,” ujar Hari sambil masuk ke dalam taksi.
“Mumpung ada yang traktir,” sahut Jefri. Taksi berjalan menuju tempat yang diinginkan.
“Siapa?” Hari merasa penasaran.
“Kau tidak perlu tahu sekarang.”
“Ta…pi …” Hari menoleh pada dua temannya yang sama-sama menutup mulut rapat-rapat, mau tidak mau dia harus menutup mulut juga.
Taksi berhenti di sebuah Kafe, Kurus membayar ongkos taksi. Mereka berjalan santai tanpa ada seorangpun yang berbicara. Hari nampak kebingungan, sedang kedua orang temannya bersikap acuh tak acuh.
“Sudah sampai!” kata Kurus. Mereka tepat di depan pintu Kafe.
“Tugas kami mengantarmu sampai di sini,” timpal Jefri.
“Jadi kalian tidak mau masuk? Aku tidak mau kalau kalian tidak ikut.”
“Kau ingin bersahabat dengan kami? Cepat masuk ke dalam!” Terpaksa Hari masuk ke dalam Kafe dengan perasaan tak menentu.
Suasana Kafe sepi, balon ada dimana-mana, hiasan yang ada di dalam sungguh bagus. Sebuah meja dengan dua kursi ada di depan, di belakang ada beberapa meja dan kursi yang teratur rapi.
“Silahkan duduk di depan!” tegur seorang pelayan.
Hari mengikuti, duduk dengan tenang. Tiba-tiba musik mengalun merdu, lampu menyala, Hari menoleh ke sekeliling, tahu-tahu dia melihat Rosita dengan seorang cowok, Risa dengan pemuda tampan, Cecilia dengan pacarnya, Tyas dengan James, Agustin dengan pria dewasa, Kurus dan Jefri membawa pasangan masing-masing.
“Pasanganku mana?” ujar Hari dalam hati.
Suara musik mengalun, lalu lagu Happy Berthday mengalun dari ruangan, Hari bertambah bingung. Apalagi ketika seorang pelayan datang mendorong kue ulang tahun yang besar, panjang, dan indah ke hadapannya. Hari menatap sekeliling, dibalas senyum manis mereka yang hadir.
Tyas naik ke atas panggung mengambil mickrofon. “Pada kesempatan yang berbahagia ini, aku ingin memperkenalkan tamu istimewa pada pesta ulang tahun Hari yang ke 20 tahun; Silvinandita, biasa dipanggil Tata.”
Tata muncul dengan dandanan yang cantik dan anggun, semua yang hadir terpana dibuatnya, kecantikan wanita yang hadir pada waktu itu tak ada yang mampu menandinginya. Tata benar-benar paling menonjol di antara yang hadir.
“Selamat ulang tahun teman chatingku!” Tata menjulurkan tangannya, suasana hening.
Hari menerima uluran tangan itu dengan tangan gemetar, seumur hidup dia belum pernah merayakan ulang tahun, kini dia merayakannya di sebuah Kafe dengan orang yang pernah berkesan dalam hidupnya. Dan orang yang mengucapkan selamat pertama kali adalah teman chating yang mana dirinya lari dari gadis itu pada saat pertemuan pertama mereka dulu.
“Tha..thanks!” Hari masih gemetar. Sedang Tata melepaskan genggaman, berdiri bersisian dengan Hari. Tyas menyerahkan mick pada Tata.
“Sebelum meniup lilin, saya meminta Hari untuk menyampaikan keinginannya. Silahkan!” ujar Tata.
Tata menyerahkan mick pada Hari. Hari kebingungan, Kurus dan Jefri berkata-kata dengan isyarat agar Hari mengucapkan beberapa kata, Hari tetap tak bergeming dari tempatnya. Tak tahu mesti berbuat apa. Tyas menerima mick lain dari pelayan.
“Mungkin ingin menyampaikan doanya dalam hati saja,” usul Tyas. Hari Menoleh pada Tata, gadis itu tersenyum manis sekali sambil menganggukkan kepala. Hari memejamkan mata.
“Ya Allah! Semoga kau menganugerahkan kekasih yang mencintaiku apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekuranganku sebagai manusia. Kutahu Kau selalu memberikan yang terbaik pada hambaMU. Jika Kau izinkan, biarkan Tata menjadi milikku satu malam saja, tidak lebih,” Hari mengucapkan dalam hati, setetes air mata menetes di pipi. Hari membuka matanya perlahan.
“Sekarang kau tiup lilinnya!” himbau Tata.
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, selaraaang juga!” Semua yang hadir menyanyi.
Hari Meniup lilin dengan sepenuh tenaga, tinggal satu lilin menyala, Tata yang meniupnya.
“Sebelum kue dipotong dan dibagi-bagi, ada yang ingin disampaikan Tata. Silahkan!” Tyas melangkah dan berdiri di samping James pacarnya.
Tangan kanan Tata memegang tangan Hari kembali, tangan kirinya memegang Mick. Tata menatap Hari sebelum mengungkapkan isi hatinya. Degub jantung Tata berdegup kencang, persendian tubuh gemetar. Hari seperti mau pingsan menatap gadis yang dianggapnya sempurna dari segala segi, setitik embun membasahi hati yang kering di padang pasir tak bertepi.

“Aku mengenal Hari lewat cathing di internet, perkenalan kami awalnya biasa saja, bahkan aku bersikap cuek padanya saat bertemu di gedung Bioskop dan di Mall,” Tata terdiam beberapa saat. “Lama kelamaan aku mulai tertarik dengan sosoknya, maka aku melakukan penyelidikan tanpa sepengetahuannya. Puncaknya kami janjian bertemu di Taman Bunga TMII, sayang pertemuan kami berlangsung tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Akhirnya lewat nasihat Papaku, barulah aku paham apa yang sebenarnya terjadi. Maka malam ini kuputuskan untuk ….” Tata menghentikan kata-katanya sesaat. “Hari! Aku mencintaimu dengan segala kelebihan dan kekuranganmu!” Tata mengungkapkan dengan penuh keyakinan, orang-orang hadir kaget bukan kepalang, sebab mereka tidak menyangka sampai sejauh ini kisah Tata dan Hari.
Hari bingung, linglung dan terkejut bukan kepalang, dia merasa perayaan ulang tahun adalah kejutan yang paling membahagiakan dalam hidup, kini ditambah pernyataan cinta dari seorang gadis cantik yang hanya berani dikhayalkannya. Dalam doa sebelum meniup lilin, dia cuman meminta Tata menjadi pacarnya untuk malam ini saja, namun gadis itu justru mengungkapkan cinta tulusnya. Dia tak tahu harus mengatakan apa.
Tata menyerahkan mick pada Hari, Hari memegangnya dengan gemetar. Hari menghadap ke teman-teman yang hadir, salah satu tangannya tetap memegang tangan Tata erat tak mau dilepakan. Tata menunggu harap-harap cemas.
“A…ku sa…ngat berbahagia malam ini, bersama kalian semua orang-orang yang pernah singgah dalam kehidupanku,” Air mata yang menetes di pelupuk mata Hari, dihapus Tata dengan jemarinya. “Sungguh bahagia merayakan ulang tahun dengan Rosita cinta pertamaku yang gagal.” Rosita membalas dengan senyum dan tangan di dada, air matanya mengerjap di pelupuk matanya. “Aku juga senang mengenal Risa bekas teman sekelasku, ”Risa menghormat dengan dua tangan disatukan, “Cecilia adikku!” Cecilia membalas dengan sikap yang sama. “Agustin kakakku!” Sikap Agustin juga sama. “Tyas sahabatku yang mengajariku cerpen,” sikap Tyas sama. “Terakhir buat Kurus dan Jefri sahabat setiaku,” Kurus dan Jefri mengendapkan kepalanya seperti orang Jepang memberi hormat, Hari membalasnya.
“Kalian adalah orang-orang terbaik dalam hidupanku, maka berhagialah orang yang bersama kalian, meski kisah di antara kita mungkin memilukan untukku,” tetesan air mata Hari semakin deras, Tata menghapusnya.
“Enam tahun sejak cinta pertamaku ditolak semasa SMP, aku mencari cintaku ke sana ke mari tak tentu arah dan tujuan. Enam tahun cintaku benar-benar memilukan, menyedihkan, mengecewakan dan membuatku putus asa.” Hari tidak melanjutkan kata-katanya, sebab tangisnya semakin besar, semua yang hadir ikut menangis. Tata kembali membasuh air mata Hari dengan sapu tangannya. Hari berusaha menguasai diri kembali. “Kini di sampingku seorang gadis cantik, anggun, langsing, dan untuknya pantas kusebut Bidadari Postmodern, sebab dia tidak sekedar cantik dari luar, inner beutynya malah lebih menonjol, mau berteman tanpa memandang kelemahan orang lain, malah berani menyatakan cinta padaku, seorang lelaki gemuk yang ditolak cintanya berulang kali. Oh!Ya Allah!” Hari menangis kembali. Dia menghentikan ucapannya sesaat, Tata kembali menghapus air mata Hari, lalu menghapus air matanya sendiri. Suasana Kafe dipenuhi air mata, tidak hanya teman-teman Hari yang menangis, semua yang ada di Kafe ikut menangis. Papa Tata yang hadir diam-diam, turut membasuh tetesan air mata di pipinya.
“Tata! Aku amat sangat benar-benar mencintaimu dari lubuk hati yang paling dalam, aku mencintaimu di dunia sampai akhirat kelak!” Hari memeluk Tata erat seperti tak mau dilepaskan.
Orang-orang yang hadir mendadak berdiri sambil bertepuk tangan atau standing aplause. Suasana Kafe menjadi meriah dan mengharukan.
Hari mencium kening Tata. Gadis itu berbahagia sekali, dia memejamkan mata merasakan sesuatu yang indah dalam hidupnya. Hari menikmatinya bagai hidup dalam dunia dongeng.
Mereka berdiri bersisian kembali, Hari memotong kue dan menyerahkan pada Tata. Gadis itu menerima dengan senyum manis, senyum yang hampir membuat Hari jatuh pingsan. Lalu mereka saling menyuapi makanan, orang-orang yang hadir tersenyum senang.
Tata menyerahkan hadiahnya, Hari membukanya dengan hati-hati. Hadiah itu berupa dua cincin atas nama mereka, satu untuk Hari, satu lagi atas nama Tata. Mereka saling mengenakan cincin. Lalu Hari menatap Tata, gadis itu membalas dengan tatapan penuh cinta, Hari hendak mencium bibir Tata, tapi gadis itu meletakkan jarinya di mulut Hari.
“Kau bisa memiliki segalanya setelah kita menikah, sayang!” ujar Tata lembut.. “Cinta sejati adalah cinta tanpa nafsu birahi.”
Hari tersipu malu, mukanya memerah. Dia semakin mengagumi gadis yang ada di hadapannya, kekaguman yang membertebal rasa cinta tulusnya. Untuk mencairkan suasana, dia berteriak nyaring.
“Hooiiii! Aku mencintai dan dicintai Tata!”
Orang-orang yang hadir tertawa semua sambil memberikan standing applause kembali. Suasana mengharu biru, berganti tawa bahagia. Lalu satu persatu memberikan ucapan selamat pada Tata dan Hari.
Malam indah bintang bersinar terang, seterang cahaya dalam diri hati orang-orang hadir waktu itu. Semua merasakan kebahagiaan. Semoga Anda merasakan hal yang sama.

Bondowoso, 30 Maret 2006

TAMAT


Lampiran Cerpen:
Setitik Harapan
Haris berjalan di pinggir jalan beraspal, matanya sesekali menoleh ke belakang. Perjalanan dari rumah ke sekolahnya sekitar satu kilo meter, ditempuh dengan jalan kaki. Biar hemat, sebab dia berasal dari keluarga tidak mampu, untuk sekolah saja, sesuatu yang dipaksakan.
“Tuuut!” Suara klakson mobil dari belakang membuatnya menghindar ke tepi jalan. Pada waktu bersamaan, sepeda motor berkecepatan tinggi yang tak terkendali melaju ke arahnya, dia tertegun tak dapat mengelak. Tabrakan dasyat terjadi, dia terpental sejauh tiga meter. Kedua kaki berlumuran darah, sekujur tubuh terasa sakit, yang menabraknya terpental ke arah lain dan hanya mengalami luka ringan.
“Aduuuh!” Haris merintih menahan sakit, tiada beberapa lama jatuh pingsan. Orang-orang yang berkerumun berusaha menolong dan membawanya ke Puskesmas terdekat, termasuk yang menabraknya, ikut mengantar.
Semua biaya pengobatan dibayar utuh, tapi kedua kaki tetap tidak bisa dikembalikan. Hasil perdamaian antara mereka disepakati pembayaran biaya pengobatan Puskesmas dan Rumah Sakit untuk amputasi, ditanggung penuh. Sedang bagaimana dia menjalani kehidupan selanjutnya bukan urusannya lagi. Padahal kedua kakinya tidak akan berguna lagi seumur hidup, sehingga tidak bisa melakukan kegiatan secara normal. Ini menimbulkan kejengkelan pada kedua orang tuanya, setiap hari dia hanya makan dan tidur, tidak dapat mengerjakan apapun. Dia tidak bisa membantu kedua orang tuanya sepulang sekolah seperti dulu, malah sekarang dia terpaksa berhenti sekolah.
“Aku tak mengerti, kenapa anak kita selalu tidak beruntung,” ujar ibunya sambil menaruh nasi di piring suaminya. Keduanya tidak menyadari bahwa diam-diam Haris mendekatkan telinganya ke pintu untuk mendengar percakapan itu. Jarak antara dapur dengan kamarnya yang berdekatan, memungkinkan dia mendengar dengan jelas.
“Semenjak lahir dia selalu membawa ketidakberuntungan. Posisinya terbalik, sehingga menyulitkanmu melahirkannya, Bu!” Bapaknya mengunyah tempe goreng, bergantian dengan nasi.
“Ya, aku merasakan sakit yang luar biasa waktu itu.”
“Dia tidak seperti kakaknya yang pintar, dapat rengking pertama terus di sekolah, sehingga bisa mendapatkan beasiswa.”
“Dia tidak memiliki keistimewaan sama sekali, belum lagi ketidakberuntungan yang dialami selama ini, menjadikan beban kita bertambah berat.” Haris tak kuasa menahan uraian air mata yang menetes dari kedua pelupuk matanya, mendengarkan semua percakapan itu.
“Semenjak ada dia, usaha keluarga kita bertambah susah. Penghasilan padi di sawah, sering tidak memuaskan. Sebelum dia lahir, kita hampir mampu membeli mobil. “
“Sudahlah, Pak! Dia anak kita juga.”
Bapaknya telah selesai menyantap makanan, ibunya ganti menuju meja makan. “Haris! Makanan telah siap.” Dia bergegas menghapus air mata. Menarik nafas dalam-dalam, mencoba bersikap tidak mendengarkan apa-apa. Sebab dia menyadari yang mereka katakan memang benar, dia menjadi beban keluarga. Dia tidak bisa melakukan apa-apa.
Haris memakan nasi tanpa berkata apa-apa. Gairah makan hilang sudah, dia makan sedikit. Bergegas kembali ke kamar, duduk termenung menghadap jendela. Kedua mata menatap langit.
“Ya Allah! Mengapa aku dilahirkan dalam ketidakberuntungan terus menerus? Apa salahku? Apa kalau aku tidak beruntung, lantas aku tidak seperti anak kebanyakan? Apakah keberuntungan yang menunjukkan jati diri seseorang? Apakah aku Ada karena beruntung? Jikat tidak beruntung berarti hakikatnya aku mati. Ah! Aku tidak tahu, apakah Kau peduli padaku, seorang anak yang selalu tidak beruntung.”
Haris menatap kedua kaki, dua hal yang membimbing manusia berjalan, dua pijakan menjalani kehidupan, dua sarana menikmati hidup, keduanya buntung. Apa yang bisa dikerjakannya?
Kedua mata melihat burung terbang bebas di angkasa, terbang tinggi, menukik ke bawah, hinggap di atas pohon. Kebebasan burung membuatnya iri. Kenapa dulu tidak dilahirkan sebagai burung yang bisa terbang? Tapi dia keliru tatkala sebuah suara bergema, “Dor dor dor!” Burung terjatuh ditembak seorang pemburu. “Ah! Aku lebih beruntung dari burung itu.”
Kedua mata melihat semut yang berjalan beriringan di lantai rumah. Mereka hidup berkelompok, saling bekerjasama membangun rumah, menyantap makanan bersama-sama. Kehidupan semut lebih manusiawi dari manusia. Manusia mau memikirkan diri sendiri, sebab kehidupan berkelompok dianggap menghilangkan jati diri pribadi. Padahal dalam kehidupan berkelompok, yang saling tenggang rasa, saling memberi, saling menghormati, dan saling memahami, diri bisa menunjukkan keberadaannya.
Haris menyandarkan bahunya ke kursi roda, sedang ingatannya terbang tinggi menembus angkasa, menyibak putaran waktu yang pernah dijalani, menelanjangi ketidakberuntungan yang mengitari dirinya sepanjang hidup.
Ketika kecelakaan berlangsung, orang-orang berdatangan menjenguk. Mereka membawa gula, roti, beras, susu, makanan ringan, sehingga persedian di dapur berlebih. Gula dan beras yang melebihi kebutuhan dijual ke pasar, uangnya untuk membiayai hidup keluarga.
Kini tidak ada yang peduli padanya. Dia dibiarkan bersama kesepian, bersama beban yang menghimpit dada, bersama kesedihan karena dilahirkan dalam ketidakberuntungan.
Menginjak usia tiga tahun, Haris pernah berjalan sendiri menuju sumur di belakang rumah. Dia tercebur ke dalam sumur, untung seorang tetangga melihat dan menolongnya segera, sehingga bisa diselamatkan. Sejak itu dia selalu diawasi secara ketat. Jika tinggal di rumah seluruh pintu dan jendela di kunci rapat.
Dalam usia enam tahun, Haris duduk di teras rumah memperhatikan orang-orang lewat. Tiba-tiba sebuah batu menghantam kepalanya. Dia jatuh pingsan. Kepalanya diperban. Semenjak itu dia merasa sering pikun, otaknya tidak secerdas kakaknya, sehingga prestasi di sekolah menurun.
Hampir setiap tahun, berbagai penyakit datang menyertai. Mulai penyakit tyfus, bisul, kudis, alergi, sampai penyakit kuning diderita. Biaya pengobatan yang dikeluarkan kedua orang tuanya sangat besar, bila dihitung mungkin keluarganya sanggup membangun rumah yang bagus.
Mengingat semua kejadian yang pernah dialami, Haris merasa selalu berada dalam ketidakberuntungan. Bertahun-tahun menjalani kehidupan, ketidakberuntungan senantiasa menyertai, dimanapun berada. Dia merasa tidak melakukan kesalahan pada siapapun, bahkan dia berusaha baik pada setiap orang. Biasanya orang yang melakukan kesalahan pada orang lain, akan mendapat karma setimpal, itulah mitos masyarakat pedesaan. Mitos yang membuat orang-orang berhati-hati agar tidak berbuat salah, walau mitos ini kini mulai dilupakan.
“Apa yang bisa kukerjakan?” Tanpa sengaja, dia melihat seekor semut, kakinya sebelah putus, dia tetap berjalan tertatih-tatih sambil membawa makanan.
“Ah, semut itu masih bisa menikmati hidup walau tidak sempurna. Kenapa dia tidak bisa menikmati hidup? Paling penting bagaimana mengisi kehidupan.”
Haris mencari-cari cara agar bisa mengisi kehidupan dengan kegiatan yang bermakna, bisa melakukan sesuatu yang berguna, paling tidak supaya tidak menjadi beban keluarga. Dia menatap kedua tangan secara seksama. Dia masih memiliki dua tangan yang utuh. Dia berusaha mengingat apa yang pernah dikerjakan sewaktu kecil dengan tangannya. Dengan cepat imajinasi menggiring pada masa kanak-kanak manakala dia membuat bermacam-macam mainan untuk teman-temannya. Dia dipercaya membuat mainan karena hasilnya bagus.
Haris menggerakkan kursi roda ke belakang rumah, berhati-hati agar tidak diketahui ibunya, di samping khawatir ketidakberuntungan datang kembali. Dengan susah payah, dia mengambil tanah liat, mengambil air di kamar mandi yang berada di belakang rumah. Dia mulai berusaha membuat kerajinan dari tanah liat. Pertama yang dibuat adalah kendi, biar dia bisa mengambil air tanpa menyusahkan orang lain. Hal ini memungkinkan, dikarenakan struktur tanah di sekitar rumahnya cocok sebagai bahan kerajinan dari tanah liat.
Haris mengerjakan dengan telaten, memang susah awalnya, kendi yang dibuat tidak jadi-jadi. Lama kelamaan, dia mulai berhasil membuat kendi. Begitu selesai, dia puas menatapnya. Dia menghasilkan sebuah karya. Dia bisa berkarya dengan kedua tangan, kreativitas tidak mesti menggunakan kedua kaki. Kreativitas tetap bisa dijalankan meski kondisi fisik tidak sempurna.
“Kau, kucari-cari ada di sini rupanya,” ibunya datang menghampiri. “Dari mana kendi ini?”
“Aku yang membuat.”
“Benarkah? Bagus sekali!” Pujian pertama yang didengar seumur hidup. “Kau harus terus membuat, Ibu sangat mendukungmu.”
“Terima kasih, Bu!” Dia gembira karena karyanya dinilai bagus. “Pak! Haris ternyata bisa membuat kendi. Ini hasilnya!” Ibunya memperlihatkan pada suaminya.
“Bagus sekali. Teruskan, Nak!”
Ibunya memperlihatkan hasil karya putranya pada orang-orang sekitar rumahnya, orang yang ditemuinya. Dengan cepat kabar tersebut telah diketahui orang-orang di desanya.
“Aku memperlihatkan pada tetangga, mereka bilang bagus. Kalau bisa membuat bermacam-macam barang seperti cobik3, kendi, tempat air, kompor dari tanah liat. Mereka akan membelinya. Sebab harga minyak tanah yang melambung tinggi, membuat mereka ingin menanak menggunakan kompor dari tanah liat, bisa menghemat pengeluaran.”
“Benarkah?” tanya Bapak Haris, ibunya menganggukkan kepala. “Kita harus mendukungnya, Bu!”
Haris meneruskan karyanya membuat kerajinan dari tanah liat. Dia bersemangat untuk membuat berbagai macam kebutuhan rumah tangga lainnya yang dibutuhkan masyarakat.
Hari-hari dilalui dengan berkarya, berkarya, dan berkarya. Tiada hari tanpa membuat kerajinan dari tanah liat. Dia menghasilkan barang bermacam-macam. Awalnya hanya dibeli tetangga sekitar. Tapi para pedagang di pasar tradisional mulai tertarik, sehingga kerajinan-kerajinan yang dibuat, langsung dijemput para pedagang, dia tidak perlu repot-repot memasarkan.
Penghasilan membuat kerajinan dari tanah liat, tidak hanya dinikmati Haris, tapi dinikmati seluruh anggota keluarga. Dia merasa mampu menunjukkan keberadaannya dalam kondisi bagaimanapun. Bahkan dia mulai mensyukuri kertidakberuntungan-ketidakberuntungan yang selama ini dialami, sebab ketidakberuntungan itu yang membawanya mampu berkarya. Dia bersyukur buntung kedua kaki, dengan kelemahannya dia menyadari keberadaan kedua tangan. Dia bersyukur dianggap pembawa beban keluarga, itulah motivasi diri untuk berkarya. Dia berkarya karena ketidakberuntungan.
“Ya Allah! Aku mensyukuri ketidakberuntunganku!”








SEKILAS TENTANG PENULIS
Penulis dengan nama Ahmad Zamhari Hasan, aktif membaca sejak SD, membaca kreatif dan menulis sejak kelas III pesantren Al-Amien Madura atau setingkat kelas III SMP/MTs. Garis nasib menaqdirkannya hanya kuliah sampai semester III STIDA yang kini berubah menjadi IDEA dan kuliah informal DII di Pesantren Tinggi Al-Amien, serta menjadi pedagang kecil di pasar tradisional Wonosari. Lebih banyak belajar otodidak tentang sastra; cerpen, novel, drama dan puisi, skenario, filsafat, Islam, Marketing dan politik, dengan menyisihkan sebagian uang hasil berdagang untuk membeli buku-buku yang bermacam-macam.
Ketika mondok di Pesantren Al-Amien mempelopori lahirnya SUASA (Suara Sastra Al-Amien) aktif menulis kolom, cerpen dan artikel, menjadi staf redaksi majalah Qolam, mempelopori penerbitan majalah Al-Hikam. Pengalaman hidupnya adalah Mengajar di Pondok Pesantren Al-Amein Madura dua tahun, Mengajar Bahasa Indonesia di pondok pesantren Ciburuy Bogor satu tahun setengah, Mengajar Bahasa Indonesia di SMA Islam Pecalongan 3 bulan, Mengajar di TPA dan MQA Al-Azhar Wonosari 6 tahun.
Prestasi yang pernah dicapai adalah Juara baca tulis cerpen Se-Madura di Talang Sumenep, juara pertama karya tulis cerpen, ilmiah populer, dan artikel di Pesantren Al-Amien, dan tulisannya pernah dimuat di harian Surya saat berusia 22 tahun.
Karya tulis yang dihasilkan sampai sekarang adalah novel : Pengabdi Kemulyaan Cinta Sejati, dua ontologi puisi; Menjangkau Tuhan, Aceh Tersenyum Bahagia, satu kumpulan cerpen; Setitik Harapan (17 judul dari 23 cerpen yang ditulis), Membuat Skenario film layar lebar : Bidadari Postmodern, skenario sinetron; Permainan Cinta, membuat kumpulan tulisan tentang Pembacaan Kreatif, dan buku; Cara Sukses Berdagang Secara Islami yang akan segera diterbitkan.
Novel Bidadari Postmodern merupakan kisah nyata penulis yang digabung dengan imajinasi kreatif. Kisah nyata lebih menawarkan cerita apa adanya tanpa rekayasa, sedang imajinasi kreatif berusaha mencari sisi-sisi yang menarik, tragis, penuh ironi, menegangkan, cara meramu cerita, dan membuat ending yang mengejutkan. Novel ini ditulis sepenuh hati, mengerahkan segenap rasa, mengedit dengan pikiran, dan memutar semua imajinasi dalam rangkaian cerita.

Pengelola www.sampenulis.blogspot.com (butuh bantuan dana supaya berjalan sukses)
Alamat Rumah: Barat Stasiun Wonosari No. 26 B Rt/Rw 31/10 Bondowoso
Jatim -68282-