Senin, 23 Mei 2011

Kumpulan Cerpen

DAFTAR ISI
Daftar Isi
Kata Pengantar Penulis
Membunuh Karena Cinta
Menjadi Tokoh tanpa Menjadi Tokoh
Menyingkap Misteri Kehidupan
Kematian Idola
Kiai Sunan
Keyakinan Diri
Dalam Buaian Akal
Kau
Universitas Kehidupan Sehari-Hari
Kematian Cita-Cita
Setitik Harapan
Makna Sebuah Nasihat
Pengabdi Pada Kehidupan
“Merpati, Maafkan Aku!”
Melawan Adat Istiadat
Ketidakwarasan Hakikatku
Hakikat Hidup
Akhir Sebuah Pencarian
“Dor!”
Menolong Maling

Mimpi Buruk

Perkawinan Bisu

Kata Pengantar Penulis
Sastra tak lagi dipandang sebelah mata dibanding karya ilmiah, khususnya berkat kemunculan studi kultural di Inggris, yang awal kehadirannya ditandai dengan penelitian menyeluruh terhadap karya sastra tanpa terjebak dalam dikotomi sastra tinggi atau sastra rendah, sastra serius atau sastra populer, sastra kelas atas atau sastra kaum marjinal. Lewat jasa merekalah, kemudian dikuak lebih jauh bahwa hakikatnya tiada batas antara fiksi dan fakta.
Fakta yang mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, fiksi mengungkapkan apa yang mungkin terjadi. Fakta menggunakan bahasa denotatif, fiksi menggunakan bahasa konotatif dan metafora. Fakta melahirkan karya ilmiah, fiksi menghasilkan karya sastra. Semua perbedaan ini menimbulkan kesalahpahaman menyangkut dikotomi fakta dan fiksi. Apa yang mungkin terjadi di tengah-tengah masyarakat atau yang dialami seseorang, diolah imajinasi menjadi cerita yang diceritakan dengan melibatkan perasaan, menggunakan bahasa konotatif dan metafora, diedit ulang menggunakan pikiran, terciptalah karya sastra, lalu lewat kritik sastra dipilah-pilah; mana yang merupakan fakta, apa makna dari bahasa konotatif atau metafora yang ada dalam karya sastra, mana yang khayalan belaka, pesan apa yang dikandung dari karya sastra tersebut, apa makna tersembunyi yang diinginkan penulis, struktur masyarakat mana yang diceritakan, bagaimana keterkaitan antar tokoh dalam karya sastra dengan tokoh yang ada dalam kenyataan, dengan itu semua baru ditemukan ternyata apa yang mungkin terjadi menjadi apa yang sebenarnya terjadi. Sebaliknya, berapa banyak fakta-fakta yang sebenarnya, disembunyikan dari kisah sejarah, disembunyikan dari kenyataan, disembunyikan demi; kepentingan penelitian ilmiah, kepentingan sebagian orang, kepentingan penguasa, kepentingan pemilik modal, kepentingan ilmuan, kepentingan intelektual, kepentingan cendikiawan, sehingga fakta-fakta berubah menjadi fiksi semata. Di sinilah tiada batas antara fiksi dan fakta.
Saya bersyukur memahami tiada batas antara fiksi dan fakta dari buku Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi dan Fakta, karya Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna. Lewat pemahaman inilah, saya lebih termotivasi untuk menulis bermacam-macam karya, melakukan edit ulang terhadap 25 cerpen yang pernah saya tulis dengan perspektif baru (19 di antaranya dimuat dalam kumpulan cerpen ini), melakukan pembacaan ulang terhadap buku-buku kumpulan cerpen yang saya miliki sebagai perbandingan, mulai Ernist Hemingway, Milan Kundera, Najib Mahfous, Frans Kafka, Umar Kayyam, Danarto, Hamsad Rangkuti sampai Mahesa Ayu. Jadi kumpulan cerpen yang ada di hadapan pembaca adalah tulisan yang melalui proses yang panjang, mungkin ada dalam imajinasi saya tahun mulai tahun 2000, tahun 2004 diwujudkan dalam cerpen, antara 2005 dan 2006 mengalami proses editorial ulang.
Dalam kumpulan cerpen ini, ada yang saya tulis tanggal, bulan dan tahun penerbitan, ada yang tidak saya tulis. Mengapa demikian? Pertama; ada beberapa tulisan yang berkaitan dengan kejadian-kejadian yang ada pada waktu tertentu dan tempat tertentu, sehingga harus ditulis tanggal, bulan, dan tahun terbitnya, sebab tanpanya ada fakta-fakta yang kabur atau disembunyikan, sebaliknya yang tidak ditulis menunjukkan bahwa keterkaitan ruang dan waktu tidak terlalu dijadikan patokan utama, kedua; pembaca karya sastra ada yang sezaman dengan saya, ada pembaca sepanjang zaman, cerpen-cerpen yang tidak saya cantumkan tanggal, bulan, dan tahun penulisannya, berarti ditujukan pada pembaca sezaman dan sepanjang zaman.
Semua cerpen yang saya tulis merupakan gabungan antara kenyataan yang ada dalam masyarakat dengan keliaran imajinasi yang mengembara menembus lorong waktu, diedit ulang berulangkali untuk mendapatkan hasil yang terbaik, meski saya sadar belum tentu menghasilkan yang terbaik. Saya berusaha tidak terjebak pada tuntutan “pasar” dalam menyempurnakan tulisan, tidak terjebak aturan tulisan yang tidak berubah dari Ernest Hemingway sampai sekarang, tidak terjebak seseuatu yang baku dalam penulisan cerpen, dan tidak terjebak dalam tuntutan materi, sebab saya hidup dengan berdagang bukan dari menulis. Saya bekerja keras, siang dan malam, gigih, bersemangat, mengoptimal kan segenap potensi yang dimiliki, mengorbankan materi hasil berdagang, menerima kritik sebagai upaya memperbaiki cerpen, membaca realitas yang ada di masyarakat sebagai bahan cerita, berusaha sekuat tenaga agar setiap cerpen memiliki makna berbeda dengan tidak meniru karya orang lain.
Saya berharap pembaca yang sezaman atau sepanjang zaman, seluruh masyarakat Indonesia atau umat Islam Indonesia, semua generasi atau generasi muda, semua golongan masyarakat atau para santri, bisa mengambil manfaat dari cerpen-cerpen yang saya tulis, sehingga mereka bisa mengaca diri, termotivasi, berusaha menghasil karya, bekerja keras, gigih pantang menyerah, mengembangkan potensi yang dimilki, dan melakukan tindakan riil yang bermakna bagi orang lain.
Dalam beberapa paragraf berikut akan dijelaskan tentang ide-ide yang melatar belakangi lahirnya sebuah cerpen. Untuk hal ini saya berterima kasih pada Hamsad Rangkuti yang melakukan hal serupa dalam kumpulan cerpennya BIBIR DALAM PISPOT.
Gantung diri, Bunuh diri, dan meminum racun menjadi hal biasa dalam era edan ini. Ayah tiri memperkosa anaknya, ayah menghamili anaknya, kakak menghamili adiknya mulai menggenjala. Muncul fenomena baru, ibu tega membunuh anaknya. Sesuatu yang tidak terbayangkan siapa pun sebelumnya. Fenomena ini berupaya saya imajinasikan untuk dijadikan cerpen dari sudut pandang berbeda, sehingga pembunuhan ibu terhadap anaknya tidak dilihat dengan kaca mata biasa, melainkan dengan kaca mata luar biasa, sehingga dipahami konteks, motif dan maknanya. Maka lahirlah cerpen Membunuh Karena Cinta.
Menjadi Tokoh tanpa Menjadi Tokoh, cerita pendek yang lahir dari kegelisahan saya melihat tingkah laku tokoh-tokoh elit nasional yang tidak memberi suri tauladan yang baik bagi rakyat Indonesia, padahal banyak orang di tengah-tengah masyarakat yang bekerja keras, mengabdikan hidup demi masyarakat, memberi suri tauladan yang baik, tanpa pamrih, tapi ketokohannnya tidak diakui, tidak mendapatkan penghargaan yang layak, tidak mendapat imbalan materi yang setimpal. Siapa Tokoh yang sebenarnya?
Menyingkap Misteri Kehidupan, saya melihat perjuangan guru di pesantren-pesantren kecil atau madrasah Diniyah/Tsanawiyah/Aliyah swasta tidak mendapatkan gaji yang layak, namun ini tidak menghentikan semangat untuk menunaikan tugas mengajar sebaik-baiknya, meski sepulang mengajar harus bertani di ladang dan menyabit rumput, malam mengajar mengaji. Semua itu dilakukan demi menyingkap misteri kehidupan yang berbeda-beda antar setiap individu.
Kematian Idola, cerpen yang unik, di dalamnya tak ada cerita, namun penuh dialog yang bermakna bagi generasi muda tentang masa kematian tokoh-tokoh idola masa kini. Cerpen ini seperti tidak bercerita apa-apa, justru dialog yang bercerita. Idenya berasal dari kemuakan saya pada tokoh-tokoh idola di kalangan generasi muda, yang hakikatnya tak pantas untuk diidolakan.
Kiai Sunan, banyaknya Kiai yang terjun ke dalam dunia politik, sedang masyarakat di desa dibiarkan tanpa bimbingan dari para Kiai yang punya kewajiban sebagai pewaris Nabi Muhammad, sehingga masyarakat perlahan-lahan menjauh dari nilai-nilai agama, saya berusaha membuat antitesis dari hal di atas dalam cerita.
Keyakinan Diri, idenya tentang kebiasaan orang mengatakan atau menasihati orang lain, padahal diri sendiri tak pernah melakukannya, sehingga yang terjadi seringkali orang yang dinasihati justru berhasil kelak dikemudian hari dengan kegigihan, kerja keras, optimalisasi semua potensi diri dan semangat pantang menyerah.
Dalam Buaian Akal, kegalauan saya melihat orang-orang Islam yang berusaha mengakalkan segala sesuatu termasuk keseluruhan dari ajaran Islam tanpa pandang bulu, memang orang tersebut berhasil meraih materi yang lumayan karena disukai media, Barat, AS, LSM internasional, tapi hakikatnya hidupnya tak bermakna apa-apa.
Kau, cerpen eksprimen saya yang mencoba penokohan orang kedua digabung dengan penokohan orang pertama, artinya penokohan dalam cerpen tak mesti orang pertama dan ketiga. Famili saya ada yang tidak menjalankan syariat beragama karena mengamalkan kebatinan, sedang teman saya di pesantren yang berhasil studi di luar negeri, menggugat saya yang hendak shalat atau menjalankan syariat beragama, ini adalah fakta. Lalu saya membaca beberapa literatur untuk mencari akar permasalahan, memikirkan jawaban yang tepat, berkontemplasi untuk menemukan kebenaran, berimajinasi cara menceritakan, lahirlah cerpen ini.
Universitas Kehidupan Sehari-Hari, saya gagal kuliah adalah kenyataan pahit karena orang tua baru jatuh bangkrut usahanya, hal ini sempat membuat saya berhenti belajar sebab menganggap bahwa tempat belajar satu-satunya adalah universitas, namun kesadaran baru timbul bahwa belajar tidak hanya di bangku kuliah, melainkan bisa belajar pada kehidupan sehari-hari, belajar cara masyarakat menjalani kehidupan, belajar secara otodidak, inilah yang membangkitkan proses kreatif saya. Di samping karena semenjak lama saya terinpirasi oleh EMHA Ainun Nadjib, seorang otodidaktor yang berhasil.
Kematian Cita-Cita, seperti saya katakan di awal bahwa saya bukan penulis ternama, tulisan-tulisan saya gagal diterbitkan atau dimuat di media, dan saya merasa banyak penulis lain yang gagal dan berakhir dengan keputus-asaan, malah berhenti sama sekali menulis. Ini merupakan pengalaman pribadi dalam mengaktualisasi karya tulis yang dihadang tembok raksasa, khususnya tembok yang dibangun media massa.
Setitik Harapan adalah cerpen yang mewakili kondisi riil masyarakat Indonesia, dan mewakili petualangan saya sebagai penulis yang penuh liku-liku, kegigihan, semangat pantang menyerah, dan berbagai hambatan lainnya yang hampir menghentikan kreativitas menulis.
Keadaan masyarakat Indoensia akhir-akhir ini bertambah parah ditempa krisis multi dimensi, ekonomi masyarakat semakin tak menentu, pengangguran jumlahnya berlipat-lipat, orang-orang miskin tumbuh subur, banyak masyarakat yang hidup dalam kekurangan, kejahatan merajalela, dekadensi moral dibiasakan, masyarakat menjauh dari nilai-nilai moral dan agama, musibah datang silih berganti tiada henti, semua itu membuat saya berpaling pada istilah ketidakberuntungan. Masyarakat kita berulangkali mengalami ketidakberuntungan, baik disebabkan ulah masyarakat sendiri, pemerintah yang tak mampu menangani semua masalah dengan baik, maupun di sebabkan pengaruh memburuknya keadaan secara global. Dalam cerpen Setitik Harapan, saya ingin menggugah siapapun, bahwa keadaan di sekitar kita yang bertambah buruk, jelek, tidak menentu, membingungkan, dan ketidakberuntungan, hakikatnya merupakan sarana bagi masyarakat Indonesia seluruhnya untuk memperbaiki diri, mencari dan menemukan potensi diri yang bisa dikembangkan, membangkitkan kesadaran personal, melahirkan kreativitas, melakukan inovasi dalam berbagai aspek kehidupan, yang lebih penting adalah menghasikkan karya terbaik sesuai bidang masing-masing. Petani dengan pertaniannya, nelayan dengan perikanannya, pedagang dengan perdagangannya, peternak dengan peternakannya, pekerja dengan pekerjaannya, karyawan dengan karirnya, buruh dengan kerja keras di pabrik, pegawai dengan jabatannya, pengusaha dengan usahanya, penulis dengan tulisannya, seniman dengan karya seninya, sastrwawan dengan karya sastranya, pembaca dengan bacaannnya, pejabat dengan amanahnya, pemerintah dengan pemerintahannya, semuanya melakukan yang terbaik di bidang masing-masing dan berusaha menghasilkan karya yang bermanfaat bagi orang lain. Insya Allah, Setitik Harapan akan muncul.
Saya bukan penulis yang tulisannya banyak menghiasi berbagai media, cerpen-cerpen saya tak satupun dimuat koran atau majalah, banyak karya tulis yang saya hasilkan; dua ontologi puisi, satu kumpulan cerpen, dua novel, empat skenario, satu buku dagang, dan satu buku pembacaan kreatif, namun tidak ada satupun waktu itu yang diterbitkan. Berbagai kegagalan dalam menerbitkan karya tulis, membuat saya hampir putus asa, bahkan berniat sama sekali berhenti menulis, sebab menganggap bahwa tidak ada gunanya saya menulis, meskipun hasil-hasil tulisan yang saya perlihatkan pada beberapa orang yang berbeda dengan latar belakang pendidikan yang berbeda menyatakan karya tulis saya bagus.
Dalam perasaan tak menentu, lantas saya secara imajinatif dipertemukan dengan Frans Kafka lewat kumpulan cerpen Metaformosis, penulis Barat postmodern yang seumur hidup tidak satupun karyanya diterbitkan, secara imajinatif bertemu Carmel Bird yang lebih banyak menerbitkan sendiri karya tulisannya, dalam bukunya Menulis dengan Emosi, Panduan EMPATIK mengarang FIKSI, dia menulis beberapa penulis terkenal yang karya-karyanya ditolak berulang kali oleh penerbit atau media, namun tetap konsisten menulis, sehingga berhasil di kemudian hari. Pertemuan imajinatif tadi memberikan kesadaran awal pada saya bahwa kegigihan dalam menulis tanpa mengenal kata menyerah adalah salah satu kunci sukses untuk menjadi penulis, lalu kesadaran awal ditambah dengan intuisi yang hadir begitu saja, intuisi itu menyatakan bahwa sebuah karya tulis bukan dinilai baik atau buruk, bagus atau jelek, berkualitas atau tidak berkualitas, melainkan sejauhmana sebuah karya tulis bisa membawa manfaat pada pembacanya. Semua hal inilah yang lantas memunculkan Setitik Harapan dalam kepenulisan saya pada masa mendatang, seperti tokoh dalam cerpen yang mengalami ketidakberuntungan terus menerus.
Alhamdulillah, sekarang novel Bidadari Posmodern terbit bulan September 2006, Berniaga Dengan Iman, Kiat-Kiat Agamis Menjadi Saudagar terbit Oktober 2006, BELAJAR OTODIDAK, Kuliah Alternatif Dalam Abad 21 terbit bulan Desember 2006.
Makna Sebuah Nasihat, saya melihat secara langsung bagaimana Kiai yang kharismatik, membina masyarakat tanpa pamrih, dekat dengan Allah, bertakwa, hidup diabdikan untuk mengembangkan Pesantren, saat memberikan nasihat pada santrinya yang bertolak belakang dengan keinginan santrinya. Santri yang patuh rata-rata berhasil, sedang yang membangkang banyak yang gagal.
Pengabdi Pada Kehidupan, ini berasal dari cerita sahabat saya yang mana saudaranya bekerja keras sepanjang hidup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dari kerja kerasnya keluarga dan saudaranya bisa berhasil, sedang dirinya tetap menekuni pekerjaan yang sama selama puluhan tahun, saya merasa perlu menceritakan kembali tentangnya dengan gaya dan cerita saya tentunya.
“Merpati, Maafkan Aku!” Saya menemukan fakta yakni orang yang gemar anduan merpati dan tidak mau berhenti. Saya gemas melihatnya, tapi tak tahu harus berbuat apa, lantas imajinasi saya bermain-main merangkai cerita agar saya bisa melakukan sesuatu untuk orang tersebut.
Melawan Adat Istiadat, kebiasaan mengumumkan nama-nama penyumbang dalam sebuah adat istiadat di desa benar-benar ada di suatu daerah tertentu yang tidak ingin saya sebutkan, makanya saya memakai bukan nama sebenarnya yakni Savana sebagai nama desa. Kebiasaan tersebut benar-benar membuat nurani saya tersentuh, perasaan saya kacau, imajinasi saya menggelora, sehingga saya memutuskan untuk menulisnya dalam cerpen.
Ketidakwarasan Hakikatku, saya memiliki paman yang setengah tidak waras dan meninggal dengan menyedihkan, dia dekat dengan saya, sehingga saya merasa harus mengatakan pada dunia tentangnya, tidak ada medium lain yang tepat selain menulis cerita.
Hakikat Hidup, banyak orang yang kaya dengan menikmati kekayaannya sendiri, dan ada yang mau berbagi dengan orang lain lewat sikap kedermawanan, saya ingin memberikan penghargaan pada orang-orang yang dermawan, sehingga mereka bisa mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan berkat kedermawanannya.
Akhir Sebuah Pencarian, saya benar-benar tertarik pada tasawuf sehingga aktif membaca buku-buku tasawuf, lalu saya berbincang dengan sebagian orang yang menjalaninya agar mendapatkan pemahaman secara utuh, lantas dari keduanya saya buat cerpen ini.
Kejahatan berlangsung semakin mengkhawatirkan, para penjahat tidak segan untuk membunuh dan menganiaya korban-korbannya tanpa belas kasihan, sebagian di penjara dan sebagian lagi tidak pernah pernah di penjara. Mendadak timbul ilham, mengapa saya tidak menulis cerpen tentang seorang penjahat yang tidak pernah di penjara.
Penjelasan saya tentang ide-ide yang melahirkan setiap cerpen bukan bermaksud “mengintervensi pembaca”, namun karena kumpulan cerpen ini sengaja tidak ada kata pengantar dari “Orang Ternama” yang sering kali “memaksa” pembaca untuk membelinya, lantas ketika membeli dan membacanya yang hadir adalah kekecewaan-kekecewaan. Saya ingin jujur pada orang yang bersusah payah membeli buku ini dan membacanya.
Dalam cerpen-cerpen yang saya tulis, bisa jadi cerita-cerita yang ada sekedar medium bagi saya untuk menyampaikan; apa yang tersembunyi, misteri kehidupan yang misterius, kebenaran-kebenaran yang mulai menghilang, fakta-fakta yang tak bermakna ternyata bermakna. Cerita adalah medium menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan secara jujur tentang berbagai aspek kehidupan manusia pada pembaca yang budiman.
Kumpulan cerpen ini diberi judul “Membunuh Karena Cinta”, karena ini merupakan cerpen yang saya tulis, ketika setumpuk teori saya letakkan dalam tong sampah. Saya hanya berusaha mengekpresikan hal-hal yang menari-nari dalam imajinasi, mengganggu pikiran, mengusik hati nurani dan membuat perasaan bergelora.
Pembaca dalam teori Resepsi menjadi subjek kreator baru dan menjadi setral baru baru dalam karya sastra, menggantikan penulis atau pengarang. Selesainya sebuah karya, berarti penulis hakikatnya telah mati bersama karya tulisanya, sedang pembaca tetap hidup terus menerus untuk mendapatkan makna baru, ide-ide, menghasilkan kreativitas baru, dan menjadi penulis baru pada masa mendatang.
Sekali lagi, saya berharap siapa pun yang membaca kumpulan cerpen ini, tidak membatasi diri pada teknik penceritaan, penilaian subjektif tentang bagus atau jelek, unsur intsrinsik dalam cerita, melainkan memperluas diri dengan unsur ekstrinsik dalam cerita, dan yang lebih penting bisa mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari berbagai cerita yang ada. Sehingga kumpulan cerpen ini bisa menjadi titik awal untuk membangkitakan motivasi, menggugah insipirasi, melahirkan ide-ide cemerlang, mewujudkan kreativitas, dan membangkitkan kesadaran agar kita bisa keluar dari berbagai krisis multi dimensi yang melanda bumi tercinta Indonesia.
Karya sastra dituntut mampu memberikan makna, menggugah pikiran atau imajinasi dan solusi yang tepat terhadap problema kehiudupan yang semakin komples, bukan hiburan semata, sehingga karya sastra bisa abadi sepanjang zaman.
Wonosari, 02 November 2006



“Membunuh Karena Cinta”
Wanita itu duduk di pojok penjara, matanya menatap tembok, imajinasinya mengelana, perasaannya berbaur tak karuan, dan pikirannya berkeliaran di luar kendali. Mendadak, rembesan air mata memenuhi pelupuk mata, lama kelamaan semakin banyak. Dia menangis sesungukan.
Kedua tangannya yang halus berusaha membasuh air mata yang mengalir tak dapat dibendung. Setelah merasa sia-sia membasuh air mata, kedua tangannya memukul tembok untuk menumpahkan segenap perasaannya. Kepalanya menggeleng-geleng berulang kali, menunjukkan sebentuk ketidaksetujuan terhadap apa yang dilakukannya.
Mengapa waktu tidak bisa diputar kembali, sehingga dia bisa memperbaiki apa yang telah dilakukannya. Dia ingin merubah kesalahannya menjadi kebaikan yang bisa memperbaiki keadaan. Dia ingin melakukan sesuatu terhadap masa lalunya. Tapi semua itu, tak bisa dilakukannya. Dia hanya meratapi nasib.
Dalam puncak perasaan sedih penuh penyesalan, matanya sekilas melihat jam tangan, 1 jam lagi dia akan berhadapan dengan pengadilan. Mendadak ekspresi wajahnya berubah, air mata yang mengalir berhenti, tangannya berusaha menghapus sisa-sisa air mata. Dia menggunakan baju yang dikenakan untuk membasuh mukanya. Lalu pergi ke kamar kecil membasuh muka, berganti pakaian, dan tampil sebagai wanita yang cantik.
Ketika sipir penjara datang, dia menyambut dengan senyum dikulum. Senyum yang menghadirkan muka cemberut dari sipir yang mengganggap wanita itu tidak menyesali apa yang dilakukan.
“Huh! Itu ibu biadap, ya?”
“Wajah cantik berhati iblis!”
“Lihat dia sama sekali tidak menyesal.”
“Dasar wanita sialan!” Semua umpatan itu biasa mengiringi setiap kali sidang dilangsungkan, hal itu disambutnya dengan senyum, walau di dalam hati tersayat-sayat sembilu tajam. Siapa yang tahu dalamnya hati, ketika yang tampak dianggap kenyataan hakiki?
“Apa Anda menyesali perbuatan Anda?”
“Tidak!” tegas sekali nada ucapannya.
“Huuuuuuh!” ujar hadirin, ruang sidang agak gaduh. Hakim mengetuk palu untuk menenangkan para hadirin.
“Bagaimana mungkin Anda tidak menyesal, padahal yang dibunuh anak sendiri?”
“Apakah kalau menyesal, anak saya hidup lagi?” Mendadak ruang sidang menjadi senyap, sebuah pertanyaan yang benar-benar mengusik setiap orang untuk merenungkan maknanya.
“Anda sudah capek-capek mengandung selama sembilan bulan, merawatnya sampai masuk sekolah dasar. Bukankah semua itu butuh pengorbanan, ketulusan untuk membesarkan anak dan kerja keras? Dengan membunuh anakmu, berarti semua yang kamu lakukan sebelumnya menjadi sia-sia?”
“Tidak ada yang sia-sia.”
“Maksud, Anda?”
“Saya telah melakukan kewajiban sebagai ibu.”
“Dengan membunuh anak Anda?”
“Ya!”
“Huuuuh!” ruang sidang kembali gaduh. Hakim menenangkan para hadirin kembali.
“Dalam pemeriksaan di kepolisian, Anda tidak menceritakan secara panjang lebar tentang pembunuhan tersebut. Sekarang coba ceritakan dengan lengkap?”
Wanita diam sejenak, matanya menatap pembela yang mengganggukkan kepala, lalu beralih menatap ketiga hakim di hadapannya. “Apa kalian tidak akan memotong pengakuan saya?”
“Tidak!”
“Apa saya boleh menceritakan secara keseluruhan?”
“Ya!”
“Saya seorang wanita yang dikarunia Allah untuk memperoleh pendidikan yang layak. Dengan pendidikan yang saya peroleh, saya merasa bisa melakukan sesuatu dalam hidup ini yang bermanfaat untuk orang banyak. Tapi, apa mau dinyana. Ternyata saya hanya menjadi ibu rumah tangga biasa. Saya tidak bisa melakukan untuk orang lain, kecuali untuk suami saya.”
“Setelah mempunyai seorang anak, kesibukan saya bertambah dengan merawat anak, ini membuat saya lebih tidak karuan lagi. Sebab, cita-cita saya untuk melakukan sesuatu yang besar seperti dilakukan Kartini tidak bisa dilakukan. Saya hanya hidup seperti binatang; berhubungan seks, beranak, makan ….”
“Huuhh!” Sidang kembali gaduh. Hakim menenangkankan kembali.
“Biarkan saya selesaikan cerita ini, atau saya diam saja!”
“Jangan begitu. Silahkan dilanjutkan cerita Anda!”
“Baiklah!” diam sejenak. “Saya begitu prihatin melihat kehidupan keluarga masyarakat sekitar, mereka hidup layaknya binatang yang tampak makna. Pada saat bersamaan, saya melakukan hal serupa. Hal inilah yang mengacaukan hidup saya, membuat saya stres, kadang merasa linglung, kadang melihat kehidupan sebagai sesuatu yang membosankan.”
“Dalam perasaan kalut ini, saya diperparah dengan keadaan yang semakin memburuk. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi, nilai uang yang diperoleh suami saya menjadi semakin tidak bernilai, penggusuran dimana-mana, orang-orang membunuh atas nama agama, perampokan dengan pembunuhan hal yang biasa, orang-orang miskin ada yang meninggal hanya untuk dapat BLT, anak-anak terlantar semakin banyak, pengangguran tumbuh subur seperti padi di sawah pada musim hujan, orang-orang yang melakukan kebaikan dianggap jahat dan yang melakukan kejahatan dianggap baik, para artis dijadikan tauladan, para juru dakwah hadir sebagai artis bukan pelanjut warisan Nabi Muhammad, agama diperjual belikan di emperan toko, para pegawai menjadi raja, pejabat menjadi maha raja, orang-orang berdagang dengan menghalalkan segala cara, para buruh tani tak kuasa menghidupi keluarga, buruh pabrik, penarik becak, sopir angkot dan orang-orang kecil bekerja keras, sedang pengusaha, penguasa, konglomerat, para bos sibuk menikmati kekayaan. Belum ditambah musibah yang datang silih berganti di berbagai pelosok negeri, mulai tsunami, banjir bandang, tanah longsor, kebakaran, lumpur panas Lapindo, wabah flu burung. Semua ini membuat bangsa Indonesia menjadi pesakitan yang tidak bisa menemukan obat yang tepat. Krisis di negeri ini seakan-akan tidak akan bisa diatasi sampai kapan pun.”
“Sesuatu yang wajar, bila saya yang mencintai anak saya. Saya berharap dirinya akan berdiri tegak membantu rakyat miskin dari keterpurukan seperti yang dilakukan Muhammad Yunus, menjadi pejuang Hak Asasi Manusia seperti Munir, menjadi anak jalanan yang sukses seperti Emha Ainun Nadjib, menjadi pelopor perubahan seperti Nurkhalis Madjid, menjadi orang yang mengabdikan hidup untuk negara seperti Hatta, menjadi Ulama’ seperti Hamka. Saya ingin nama anak saya disebut seperti mereka.”
“Tapi, saya merasa tidak akan mampu melakukan semua itu.” Dia berdiam diri, di dadanya bergemuruh. Sebenarnya air matanya akan tumpah, tapi dia berusaha bertahan. Dia harus dihukum seberat-beratnya untuk kesalahan yang dilakukan. “Saya melihat anak saya tidak pintar di sekolah, dia polos, jujur, selalu berusaha melakukan kebaikan pada siapa saja. Sifat-sifat ini tidak cocok untuk orang-orang yang hidup dalam zaman edan ini. Maka dengan penuh rasa sayang mendalam, saya membunuhnya.”
“Huuuuuh!” ruang sidang kembali gaduh. Hakim menenangkan.
“Saya membunuhnya karena perasaan cinta. Untuk itu, tidak ada penyesalan yang ada dalam diri saya. Sesuatu yang tersisa adalah sebuah kesenangan. Ha ha ha!” Wanitu itu tertawa terbahak-bahak.
“Wah, dia gila!”
“Bukan, tidak waras.”
“Psikopat!”
“Tenang hadirin!” ujar Hakim ketua. Hadirin mulai tenang kembali. “Silahkan dilanjutkan!”
Wanita tetap diam di tempatnya. Berulang kali menarik nafas dalam-dalam, tapi tetap diam tidak menanggapi sahutan hakim.
“Apa Anda sudah menyelesaikan cerita Anda?” Wanita itu menganggukkan kepala. Para hakim saling berbicara antara yang satu dengan yang lain.
“Baik untuk sidang kali ini cukup sekian dulu! Kita akan melakukan sidang lanjutan seminggu lagi.”
Orang-orang yang keluar sidang sibuk memperbincangkan apa yang baru mereka dengarkan. Hampir semuanya menyalahkan wanita itu dan tidak mengerti dengan pernyatan-pernyataannya yang saling bertolak belakang. Bagaimana mungkin seseorang membunuh karena cinta?
Wanita itu kembali ke selnya kembali. Dia menghadap ke tembok. Kembali segenap perasaannya ditumpahkan. Dia menangi sesungukan. Dia berbohong mengatakan tidak menyesal, sebab jika mengatakan menyesal hukumannya akan diperingan. Alangkah enaknya memperingan hukuman di Republik ini. Tapi dia tidak mau melakukannya.
Dalam sidang sebelumnya, dia menjawab bahwa pembunuhan itu direncanakan sedemikian rupa, bahkan dia merencanakannya selama sebulan. Padahal, terlintas begitu saja niat membunuh, lalu dia melakukannya di luar kendali diri. Jika dia mengatakan membunuh dengan tidak sengaja, hukumannya akan diperingan. Padahal, dia ingin dihukum seberat-beratnya, agar tidak ada wanita lain di dunia yang mau membunuh anaknya dengan alasan apa pun, supaya tidak ada wanita yang menjual anaknya karena alasan ekonomi, agar tidak ada wanita yang menganiaya anaknya, dan supaya tidak seorangpun melakukan hal yang sama pada masa mendatang. Cukup hanya dirinya yang mengalami semua penderitaan, melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya, dan menyesali perbuatan yang sebenarnya tidak ingin dilakukan.
“Saya sudah mengatakan bahwa krisis di Republik ini menimbulkan masalah yang sangat kompleks di masyarakat. Siapa saja yang hidup di sini, harus melakukan sesuatu agar krisis bisa diatasi, sehingga anak-anak mereka yang hidup sebagai generasi mendatang, bisa hidup lebih baik, penuh makna, dan bahagia.”
Mendadak perasaan kacau berganti sesuatu yang indah dalam hidupnya. Dia merasa telah melakukan sesuatu dalam hidupnya. Melakukan sesuatu lebih baik dari tidak melakukan apa-apa.
Dia tidak peduli, ketika beberapa minggu kemudian dijatuhi hukuman selama 20 tahun penjara. Itulah hukuman yang setimpal bagi seorang ibu yang membunuh anaknya.

Wonosari, 02 November 2006

menjadi Tokoh tanpa Menjadi Tokoh
Agar terpilih sebagai Kepala Desa, setiap calon Kades menunjuk para pelopor, yang diberi tugas melakukan mobilisasi massa, mempengaruhi pemilih, menyampaikan pesan secara langsung pada para pemilih, memberikan apa-apa yang akan diberikan para calon Kades pada pemilihnya. Semua dilakukan supaya rakyat pemilih memilih calon Kades yang mereka dukung sewaktu pemilihan. Para pelopor merupakan orang-orang pilihan calon Kades, yang dianggap mampu mempengaruhi orang lain, diakui ketokohannya, pintar melihat celah dalam mempengaruhi pemilih di pihak lawan.
Strategi antar pelopor, sering menentukan hasil pilihan. Di sinilah persaingan berlangsung ketat. Ketatnya persaingan mulai terasa tiga hari menjelang pemilihan. Gerilya para pelopor, dan orang-orang yang dikerahkan para pejudi, guna mengetahui hasil sebelum pemilihan, menyemarakkan suasana.
Ketegangan di rumah-rumah calon Kades sangat terasa beberapa hari jelang pemilihan berlangsung. Banyak orang yang berkumpul di rumah-rumah calon Kades untuk berjaga-jaga. Mencurigai siapapun yang dianggap baru kelihatan di desa, terutama hadirnya orang-orang dari luar kelompoknya.
Gerilya yang berhasil biasanya dilakukan pada waktu dini hari, menjelang hari pemilihan, saat orang-orang terlelap tidur adalah waktu yang rawan. Para Pejudi kelas kakap kerap kali memanfaatkan momen ini demi kepentingannya. Sehingga calon yang dibinanya berhasil duduk menjadi kepala desa, sekaligus berarti hasil taruhan dalam jumlah besar terpampang jelas di depan mata.
Nuansa taruhan dalam pemilihan kepala desa dianggap biasa oleh masyarakat. Timbul pameo; tidak absah pemilihan tanpa adanya perjudian di dalamnya. Tradisi pemilihan disertai perjudian telah berlangsung secara turun temurun.
Salah seorang pelopor yang paling disegani di desa, bernama Suryadi. Dia seorang pemuda desa yang senang membantu masyarakat, hidup di tengah-tengah keluarga sederhana, mengajarkan mengaji pada anak-anak di musholla. Kehadirannya dalam mempelopori calon Kades, terbukti ampuh. Kepala desa yang terdahulu berasal dari orang miskin, hasil kongkrit kecerdikannya mempengaruhi masyarakat. Padahal dalam tradisi pemilihan kepala desa, pihak yang kaya selalu menang, berbekal uang banyak yang dibagi-bagikan pada para pemilih.
Pilihan Suryadi menjadi barometer bagi para pejudi. Ini menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan Suryadi, sebab secara langsung dirinya dimanfaatkan para pejudi untuk meraup keuntungan yang besar dari hasil perjudian, maka dalam pemilihan kali ini dia tidak bersedia lagi ditunjuk menjadi pelopor, khawatir dimanfaatkan mereka.
Sikapnya yang tidak memihak di antara tiga calon Kades, menjadikan pemilihan bertambah seru, menegangkan, dan susah ditebak hasilnya. Apalagi di antara ketiga calon memiliki massa pemilih cukup berimbang; Sarbinto tuan tanah di desa, Hambali tokoh muda berpengaruh yang baik hati, dan Sudirman seorang yang kaya dengan perdagangannya. Mereka bersaing untuk menjadi kepala desa.
Masing-masing tokoh, berusaha mendekati Suryadi. Secara diplomatis dia menolak tawaran mereka menjadi pelopor, meski jumlah uang yang ditawarkan sangat menarik perhatian. Dia tak bergeming, menampik segala tawaran.
“Aku akan memilih tokoh yang terbaik di antara ketiga calon,” jawaban itulah yang membuat mereka tak berkutik. Ini untuk menunjukkan sikap netralnya pada mereka bertiga.
“Kang, sampean memilih mana di antara ketiga calon?” tanya istrinya.
“Kau tidak usah ikut campur, lihat saja siapa yang menang!”
“Setidaknya bilang padaku, jika tak ingin mengatakannya pada orang lain.”
“Istriku yang manis, tidak setiap masalah diungkapkan pada istri. Aku minta maaf terpaksa merahasiakan ini,” Suryadi membujuk istrinya. “Karena salah satu calon masih ada pertalian darah denganmu, walau pertalian darah jauh.”
“Kau tidak cinta padaku,” istrinya bersungut-sungut, melangkah pergi.
Bersikap netral tidak mudah, namun harus ditempuh demi kesejahteraan rakyat pada masa mendatang. Suryadi bisa mengorbankan kebahagian keluarga, demi kesejahteraan seluruh anggota masyarakat, suatu prinsip yang tertanam kuat dalam lubuk hati, bahkan bila perlu segala kepentingan diri akan dihilangkan demi kepentingan mereka.
Gagal mendekati istrinya, para pejudi berusaha mempengaruhi Suryadi dengan menyuruh orang-orang miskin ke rumahnya supaya bisa memancing reaksinya. Siapa tahu secara tidak sadar mengungkapkan calon Kades yang didukungnya.
“Bagaimana anak-anak di musholla? Bertambah banyak muridnya?”
“Alhamdulillah! Berkat doamu, dan doa seluruh masyarakat.”
“Ngomong-ngomong menurutmu, siapa yang terbaik di antara ketiga calon?”
“Semua calon baik,” Suryadi mulai mengerti keinginan tamunya. “Tidak mungkin mereka mencalonkan diri kalau bukan orang yang baik, dan sanggup menjalankan tugas.”
“Maksudku, siapa yang sampean dukung?”
“Aku tidak mendukung siapapun.”
“Bohong, biasanya kamu mempelopori salah satu calon. Tidak mungkin bersikap netral. Mustahil!”
“Aku balik bertanya padamu. Kamu ke sini ingin mengetahui pendapatku, atau disuruh para pejudi untuk mempengaruhiku?” pertanyaan telak, yang membuat tamunya salah tingkah.
“Eee, anu…. Aku ingin tahu saja.”
“Kau berbohong. Jujur saja! Kau disuruh orang, bukan?”
“Kami menawarkan prosentase 25% jika calon yang kamu dukung menang,” tawaran menggiurkan, biasanya cukup 10%.
“Jangankan 25%, 50%-pun tidak akan kuterima,” Suryadi tak dapat menahan amarahnya lagi. “Bapak sebaiknya hentikan berjudi, tidak ada gunanya. Menang uang panas, kalah merana. Apa tidak sebaiknya digunakan untuk kepentingan lain?”
“Maaf! Aku permisi!” Orang yang disuruh para pejudi segera meninggalkan rumahnya dengan tangan hampa. Suryadi geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.
Acara penghitungan suara berlangsung mendebarkan, ekspresi masing-masing calon nampak tegang. Dalam mengekpresikan ketegangan berbeda-beda; Sarbinto sesekali menarik nafas, Hambali berulangkali memperbaiki tempat duduk, dan Sudirman merokok tiada henti, belum habis sepotong, menyalakan yang baru.
“Jagung, Jagung. Korma, Korma. Kelapa, Kelapa.” Simbol dari masing-masing calon disebut, Jagung simbol Sarbinto, Korma simbol Hambali, dan Kelapa simbol Sudirman. Masing-masing simbol calon disebut bergantian. Menjelang pertengahan, Sarbinto mengungguli yang lain, dia tersenyum bangga. Peringkat kedua Hambali, dan Sudirman juru kunci.
Menjelang akhir pemilihan, Sarbinto yang didukung para pejudi kelas kakap dari luar desa, unggul sekitar seratus suara. Para pendukung dan pejudi mulai bersorak. Setiap nama Jagung disebut, mereka ikut berteriak. Kemenangan di depan mata, uang hasil perjudian dalam jumlah banyak membuat mereka bergembira ria. Sementara di antara rakyat pemilih timbul kekecewaan.
“Jagung, Korma, Korma, Kelapa, Korma, Korma.” Pemilihan tinggal hitungan menit, suara Korma mulai menyusul. Setiap Korma disebut, timbul semangat dari para pemilih, mereka ikut berteriak nyaring, “Kormaaa!” Dalam papan tulis, suara Korma mengejar Jagung. Ketika angka sama, serentak mereka berteriak. “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Hidup Kormaaa!” Manakala Korma berhasil melewati Jagusng, orang-orang bergembira penuh gegap gempita merayakan kemenangan.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Hambali berhasil memenangkan pemilihan, unggul 15 suara dari Sarbinto. Para pemilih bergembira, para pejudi gigit jari, di ujung jalan Suryadi tersenyum simpul.
Sarbinto marah besar. Dia tidak menandatangani berita acara, dan ngeloyor pergi diiringi tatapan mencibir orang-orang sekitar. Amarah di dada memuncak mengingat besarnya pengeluaran. Dia telah mengorbankan uang 100 juta, untuk mempengaruhi para pemilih, hasilnya nihil, dia dipaksa kalah. Kekalahan yang menimbulkan perlawanan.
Sarbinto melayangkan protes sana sini, menyuruh para preman menebarkan teror di desa, menjadikan suasana desa menegangkan. Orang-orang tak berani keluar rumah dari rumah di atas pukul 19.00 WIB, suasana desa lengang di malam hari, mereka menutup rapat pintu rumah. Hampir seminggu ketegangan berlangsung, belum menemukan jalan keluar yang tepat, pihak Sarbinto tetap tidak menerima, sedang Sudirman bisa menerima.
Sarbinto mengerahkan orang-orang untuk melakukan demonstrasi di Kabupaten, yang dibalas demonstrasi serupa oleh pendukung Hambali. Keadaan menegangkan berlanjut. Harus ada yang mampu mendamaikan.
“Assalamu’alaikum!” Suryadi berkunjung ke rumah Sarbinto.
“Wa’alaikum salam. Silahkan duduk!” nada suara Sarbinto tidak ramah. “Ada keperluan apa?”
“Aku kesini mewakili …”
“Kau penyebabnya hingga aku kalah,” potong Sarbinto marah. “Para penduduk berkhianat padaku, sudah kuberi uang dan bersedia memilihku, mereka tetap memilih Hambali. Kurang ajar!”
“Aku mohon maaf sebelumnya! Aku bersikap netral karena menginginkan pemilihan ini berlangsung secara adil dan demokratis.”
“Apa kau benar-benar netral?”
“Demi Allah! Aku benar-benar netral,” Sarbinto menatap nanar Suryadi, dibalas dengan tatapan penuh keyakinan, dia merasa jengah juga. Tidak ada kebohongan dalam tatapan itu. “Bapak Sarbinto yang saya hormati! Mempengaruhi orang dengan memberikan uang, belum tentu mempengaruhi pilihan yang mereka buat, bisa jadi uang yang diberikan masing-masing calon tetap diterima sebab mereka susah akibat kesulitan eknomi, namun pilihan yang dibuat tetap berpijak pada hati nurani, sehingga orang yang terbaiklah akan meraih kemenangan. Masyarakat sekarang bertambah pintar untuk menentukan siapa yang mereka pilih.”
“Aku bukan orang yang terbaik, menurutmu.”
“Bukan begitu. Bapak baik, hanya masyarakat belum tahu kebaikanmu. Diperlukan langkah riil agar mereka memahami bahwa kamu adalah orang yang terbaik guna memimpin desa ini. Sebagai langkah awal kamu dituntut menunjukkan sikap ksatria dengan menerima hasil pemilihan, menunjukkan bukti nyata sebagai orang terbaik bagi mereka, sehingga pantas dipilih pada masa mendatang”
“Pokoknya, aku tak terima dikhianati. Paling tidak uangku harus kembali.”
“Kalau itu kemauanmu, aku akan berusaha mengumpulkan uang itu kembali. Assalamu’alaikum!”
Sarbinto menatap kepergian Suryadi, sedang dirinya termenung, memikirkan segala yang terjadi.
Dengan sabar Suryadi berkunjung ke rumah-rumah penduduk. Satu persatu dikunjungi dan diberi pengertian duduk persoalan yang sebenarnya. Dia menawarkan dua hal; hidup damai dengan mengembalikan uang yang telah diterima dari Sarbinto, atau hidup penuh ketegangan seperti sekarang.
Berkat kecerdikan, kesabaran dan niat tulusnya, mereka menyerahkan kembali uang pemberian Sarbinto. Hidup damai lebih penting dari sejumlah uang yang bisa dicari, itulah alasan uang dikembalikan.
“Seperti yang kujanjikan. Ini uang yang diterima masyarakat dari Bapak,” Suryadi meletakkan uang yang ada dalam tas di atas meja. “Kembalinya uang ini ke tangan Bapak, berarti Bapak dituntut bersedia menerima hasil pemilihan, dan kelompokmu mau berdamai dengan kelompok Hambali, guna menciptakan ketentraman di desa yang kita cintai ini. Bagaimana?”
Sarbinto memandangi uang itu dengan seksama, banyak hal yang berkelebat dalam imajinasinya; uang diterima akan dimusuhi seluruh penduduk, uang ditolak terlanjur diminta lagi, atau mencari langlah lain yang lebih bijak. “Mungkin lebih baik untuk pembangunan desa. Bukankah orang-orang desa akan mengetahui kebaikanku? Yah! Seperti yang dikatakan Suryadi, aku harus menunjukkan kebaikan pada penduduk,” kata Sarbinto dalam hati
“Aku, tidak bersedia menerima uang itu!” Suryadi kaget bercampur tidak mengerti mendengar perkataan Sarbinto itu, dia khawatir Sarbinto tidak mau berkompromi. “Aku sadar, setelah merenung beberapa saat. Untuk menjadi kepala desa tidak hanya diperlukan uang yang banyak, perlu kecakapan memimpin, kesabaran menghadapi tingkah laku masyarakat, dan menunjukkan karya terbaik bagi mereka. Kulihat jempatan desa mulai rusak, gunakan saja untuk perbaikan jempatan itu. Dengan syarat disetujui seluruh anggota masyarakat.”
“Mereka, pasti setuju. Pasti!” Saking gembiranya dia mendatangi Sarbinto, memeluk erat, dan membisikkan sesuatu. “Jika Bapak berani berkorban untuk rakyat. Pemilihan selanjutnya aku akan menjadi pelopormu,” Sarbinto terseyum. Dia merasa menang kali ini, setelah kekalahan dalam pemilihan yang sesungguhnya. Dia menang melawan diri sendiri, suatu kemenangan yang tak ternilai harganya. Kemenangan seseorang dalam menyikapi sesuatu tergantung sikap mental masing-masing dalam menyikapinya.
Suasana desa tenang kembali. Masyarakat bebas bepergian di malam hari, tanpa rasa takut. Kedamaian benar-benar tercipta, ini berkat jasa seorang Tokoh yang tidak menjadi Tokoh, untuk menunjukkan ketokohannya. Dia menunjukkan ketokohannya dalam karya nyata, inisiatif kuat untuk mengabdikan diri pada rakyat, mengorbankan kepentingan diri dan keluarga demi rakyat. Maka untuk menjadi seorang Tokoh, tidak mesti Menjadi Tokoh.
Menyingkap Misteri Kehidupan
Mengarungi bahtera kehidupan fana, menyimpan sejuta warna, menghadirkan beragam suara, mendatangkan berbagai problematika, melukiskan kanvas-kanvas skeksa, memotret berbagai budaya.
Parmin berjalan menelusuri lorong-lorong, mengibas daun di pinggir jalan. Jalan setapak berakhir di ujung jalan, dia mulai melewati pematang sawah. Padi yang baru ditanam, melambai diterpa angin, melambai pelan pada siapapun yang melewatinya. Dia meloncati kali kecil di pinggir sawah, menyeberangi sungai dengan jempatan dari kayu, setiap kaki melangkah jempatan bergoyang, membangkitkan rasa khawatir. Langkah kaki yang mantap, tak ada sesuatu yang bisa menghalangi. Berjalan terus di antara pohon-pohon jati yang berjejer, pohon-pohon yang mulai bertumbangan, dilahap kerakusan manusia. Sejauh mata memandang pohon jati tinggal satu dua dalam jarak pandang saling berjauhan, mungkin dalam waktu dekat akan habis.
Kaki melangkah melanjutkan perjalanan melewati rumah-rumah penduduk yang juga saling berjauhan. Hidup di desa terpencil, jauh dari hiruk pikuk keramaian. Hampir empat kilometer berjalan. Tak terasa keletihan tubuh, tak terasa kelelahan datang, tak terasa kepenatan, yang ada sebuah tanggung jawab di dada untuk mendidik generasi mendatang di desanya, generasi yang siapa tahu menentukan perubahan bangsa.
Pandangan mata menerawang, menerobos jarak yang mampu dijangkau panca indera. Dari kejauhan, bangunan Madrasah Diniyah dan Tsanawiyah yang dikelola Pesantren Al-Ihsan mulai terlihat. Perjalanan lima kilometer tidak memiliki arti, ketika tujuan hadir di depan mata.
Setiap hari dia berjalan kaki menempuh jarak lima kilometer, agar bisa mengajar anak-anak di desanya.
Parmin berusaha datang pertama kali ke Madrasah, meski biasanya didahului pengelola pesantren. Dalam pandangan matanya terpampang jelas, guru harus menjadi tauladan bagi murid, termasuk datang duluan. Murid-murid di desanya tidak bersemangat belajar. Mereka kadang masuk, kadang tidak. Jumlah murid dalam kelas dalam kondisi normal sekitar 15-18 orang, satu kelas sering hanya berisi 10 orang saja, itupun sebagian besar yang bermukim di Pesantren. Pernah dia menyelidiki hal itu; ada yang membantu orang tua di ladang, ada yang ikut ibu berbelanja ke pasar yang berjarak dua puluh kilometer, ada yang membantu ayahnya memancing ikan di sungai, ada yang memang malas, tanpa ada perhatian serius dari orang tuanya.
Ini tidak menyurutkan langkah Parmin untuk tetap mengajar di Madrasah, dengan honor mengajar yang tidak seberapa jumlahnya, malah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dia bersemangat mengajar bukan melihat sisi materi yang didapatkan, tapi pengabdian hidup pada anak-anak di desanya, agar bisa menjadi anak-anak yang berpendidikan tidak seperti orang tuanya. Dia berkeyakinan, bahwa pendidikan merupakan sarana yang tepat membantu seseorang bisa mengarungi kehidupan, membentuk akhlak mulia, memperbaiki keadaan mereka di masa mendatang, sehingga dalam bertindak tidak hanya menggunakan perasaan, juga dengan pemikiran.
Guru di Madrasah berjumlah sembilan orang, setiap guru mengajar materi bermacam-macam dengan kelas berbeda. Semangat mengajar sejawatnya memang tidak seperti dirinya. Maka terkadang dia mengajar dua sampai tiga kelas berbeda dalam waktu bersamaan. Inilah yang memaksanya lebih rajin mengajar, jika tidak, akan banyak kelas kosong tanpa pengajaran. Sesuatu yang akan membahayakan kelangsungan Madarasah, dan membahayakan pendidikan murid secara keseluruhan. Hal inilah yang membuat pengelola pesantren menempatkannya sebagai guru teladan. Sebenarnya dia sering ditawari menetap di pesantren dengan dijamin kebutuhan hidupnya, dia tidak bersedia, sebab memiliki tanggung jawab berbeda di mushallah rumahnya.
Imajinasi yang terbang bebas di angkasa, mengepakkan sayap membelah awan, mengelilingi bumi secara bebas, membuat Parmin tak menyadari kehadiran murid-murid di Madrasah. Berarti pelajaran akan dimulai bersamaan dengan bel berdentang. Dia melangkah menuju ruang kelas IV Diniyah yang berada di tengah.
“Assalamu’alaikum, anak-anak!”
“Wa’alaikum salam, Ustads!”
Parmin muncul di depan pintu, disambut jabatan tangan murid-muridnya satu persatu, ada 11 orang yang hadir. Jabatan tangan murid dengan guru, menjadi simbol ikatan kuat antara mereka. Ikatan yang membuatnya betah mengajar dalam berbagai kondisi.
“Untuk pelajaran akhlak kali ini, kita akan membelajari bagaimana cara menghormati orang tua. Sudah siap anak-anaaak?”
“Siaaap, Ustadz!”
“Coba kamu, Sutarji dan Sulis maju ke depan!” dua orang murid maju ke depan.
“Yang lain perhatikan ke depan! Seandainya saya orang tua kalian berdua, apa yang dilakukan setelah pulang sekolah?”
“Langsung ke dapur, makan Ustadz!” sahut salah seorang murid
“Huuuh! Makan saja yang di urus, nanti perut kamu meledak,” sahut yang lain.
“Ha ha ha!” mereka tertawa, dia hanya tersenyum.
“Perhatikan kembali! Sulis dan Sutarji coba berdiri dekat pintu! Begitu pulang sekolah beri salam pada orang tua di dalam rumah! Coba beri salam.”
“Assalamu’alaikum!”
“Setelah itu cari orang tua kalian, jabat tangannya. Kalau saya orang tua kalian, coba jabat tangan saya!” Sulis dan Sutarji menjabat tangannya. “Begitulah cara menghormat pada orang tua sepulang sekolah. Mengerti anak-anak?”
“Mengertiii!”
“Kalian berdua duduk kembali!”
“Assalamu’alaikum!” suara seseorang dari lua kelas.
“Wa’alaikum salam. Silahkan masuk!”
“Ustadz! Kelas III Tsanawiyah tidak ada gurunya,” ujar seorang murid setelah masuk ke dalam kelas.
“Tunggu sebentar, aku akan ke sana!”
“Baik, Ustadz!” murid itu kembali ke kelasnya.
“Anak-anak, coba sekarang tulis bagaimana cara menghormati orang tua sepulang sekolah. Nanti saya nilai.”
Parmin melangkah menuju ruang kelas III Tsanawiyah, kebetulan materi yang diajarkan Bahasa Indonesia, dia mengajarkan tentang puisi. Dia mencatat puisi -hasil karya sendiri yang dicatat di buku harian- di papan tulis.
Aku bukan Aku
Aku wajah asli kebebasan
Berkehendak laksana buih di lautan
Berpikir menembus ruang waktu kehidupan
Bermain dalam pusaran
Bertindak di luar rel-rel yang ditentukan

Aku air mengalir
Memberi kehidupan sejagad raya
Memenuhi dahaga manusia
Menghijaukan bumi

Aku angin berhembus
Membelai manusia yang terbius
Menghembuskan nafas-nafas bahagia
Menghapus duka lara

Aku manusia paripurna
Mengekspresikan diri dalam berbagai warna
Mengatur isi batok kepala
Menjelma menjadi penguasa diri
Menghidupkan hati nurani
Melahirkan bayi-bayi karsa
Memperbaiki keriput wajah dunia

“Anak-anak, tulis puisi ini! Setelah itu latihan membaca, nanti akan saya suruh satu persatu untuk membaca ke depan.” Parmin melangkah ke luar, melanjutkan pelajaran akhlak di kelas IV Diniyah. Tugas yang tidak ringan, dijalani sepenuh hati, diserap sepenuh jiwa, dilaksanakan tanpa mengeluh.
Pukul 13.00 Parmin pulang ke rumah, sampai di rumah dua jam kemudian. Lalu melaksanakan shalat Asyar dan pergi ke ladang, menyirami ketimun yang hampir dipanen, membersihkan rumput-rumput dan menyabitnya untuk makanan kambing di kandang. Baru menjelang Magrib pulang ke rumah.
Parmin mandi, bersiap-siap mengajar mengaji. Dia mengajarkan anak-anak di surau yang tidak jauh dari rumahnya sampai Isya’. Selesai shalat Isya’ memberikan pengajian pada masyarakat desa sekitar satu jam. Baru makan malam dan bisa mengistirahatkan dirinya, ditemani seorang istri yang penuh pengertian, bersedia hidup berdua dalam segala kondisi, menerima apa adanya keberadaan suami. Bangun pagi buta, bersiap-siap mengajar di Madrasah kembali.
Begitulah kegiatan rutinnya setiap hari. Tidak terlontar dari kedua mulutnya keluhan, apalagi ratapan tak berguna, yang mendatangkan kesedihan dan mematahkan semangat di dada. Baginya kehidupan adalah kenyataan yang harus dijalani, baik pahit atau manis. Setiap warna kehidupan yang hadir akan menyimpan makna mendalam bagi diri. Pahit atau manis tergantung cara seseorang memandang kehidupan, kadang sesuatu yang pahit menjadi manis bila dipandang dengan benar, dan yang manis jadi pahit jika dipandang keliru.
Pernah suatu hari, tubuhnya panas, hampir mengurungkan niat untuk pergi mengajar. Bayangan murid yang terbengkalai, memaksanya berangkat mengajar, meski dilarang istrinya.
Penyakit ringan bukan penghalang untuk sebuah pengabdian. Keberangkatannya ke Madarasah, merupakan kemenangan batin atas kemanjaan tubuh lahiriah, yang menuntut dilayani dengan istirahat. Justru dengan berangkat mengajar, panas tubuh menjadi tak terasa. Sesampainya di Madrasah, dia merasa sehat kembali.
“Ustadz! Kenapa panjenengan betah menjalani kegiatan yang sangat padat ini?” tanya salah seorang penduduk.
“Menjalani kegiatan yang padat, bukan dilihat betah atau tidak, senang atau tidak. Bagaimana kegiatan itu dijalani lebih penting. Ketika waktu yang melingkupi kehidupan setiap hari, berhasil ditaklukkan dengan berbagai kegiatan, berarti kita memanfaatkan seluruh potensi yang dianugrahkan Allah pada kita. Anugerah berupa pikiran, hati, imajinasi, tubuh yang sehat, harus digunakan untuk menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.”
“Imbalan pada panjenengan tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh.”
“Jika kehidupan dipandang dari hasil, akan kiamat dunia ini. Sebab hasil tidak setiap saat seiring dengan proses, ketika tidak berimbang kita akan merasa kecewa, frustasi, stres, dan pusing. Maka melakukan suatu proses yang optimal, tidak harus mengharap hasil optimal pula. Percayalah! Dengan proses optimal, kita akan menggapai makna kehidupan yang dalam. Makna kehidupan yang akan menggiring pada kebijaksanaan, kebaikan tertinggi, kebahagian sempurna. Sehingga kita bisa menangkap ikan dalam air keruh tanpa riak.”
“Apa panjenengan sudah mencapai taraf itu?”
“Belum. Saya percaya akan mencapainya suatu saat. Waktu yang akan mencatat apa yang telah kita kerjakan di dunia, tempat perhentian sesaat yang sewaktu-waktu bisa ditingkalkan.”
“Ustadz adalah Tokoh yang sebenarnya, yang diimpikan kehadirannya oleh seluruh rakyat Indonesia. Panjenengan figur yang tepat menjadi Tokoh tanpa Menjadi Tokoh, yang mampu mengerahkan segala potensi yang dimiliki demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tanpa melihat imbalan yang diperoleh, tanpa melihat hasil yang didapat, tanpa pamrih. Seharusnya Amien Rais, Gus Dur, Megawati, Soetanto dan Bambang Yudhoyono, belajar pada panjenengan. Kehadiran panjenengan lebih bermakna bagi rakyat dari Tokoh itu sendiri. “
“Jangan bercanda!” Parmin tersenyum tulus. Senyum yang memberi tanda agar tidak hanyut buaian pujian. Pujian adalah racun yang bisa membunuh. Dia berhati-hati terhadap racun, maka tak pernah mempedulikannya.
Parmin ada karena ingin berada. Dia menjelma dalam kenyataan sebagai sosok yang mampu mengendalikan keinginan-keinginan sesaat tubuh, mengendalikan keinginan dari keinginan, membimbing hati pada pengabdian, mendorong pikiran mencerna kehidupan, menghidupkan imajinasi demi menggapai makna terselubung kehidupan yang selalu menyimpan misteri, memanfaatkan pikiran agar bermanfaat pada orang lain.
Misteri hidup yang tak akan terungkap jika pikiran hanya mengendalikan pikiran, hati mengendalikan hati, tubuh mengendalikan tubuh, imajinasi mengendalikan imajinasi. Merangkum semua potensi dalam suatu tindakan kehidupan, yang akan membimbing tersingkapnya misteri kehidupan manusia.


Kematian Idola
Aku bersama teman-teman asyik bersantai ria di warung kaki lima yang bagus bersama teman-teman; Ria, Silvi, Maria, Trisa, Andika, Leo, dan Agus. Biasa pada malam Minggu, kami menikmati waktu santai bersama. Malam Minggu adalah malam yang indah setelah selama enam hari bekerja di kantor. Biasanya dalam setiap percakapan, kami akan membicarakan apa saja sesuai yang ada di benak masing-masing, namun akan fokus pada pembicaraan tertentu manakala sampai pada kepentingan bersama.
“George Coloney baru dapat Oscas sebagai pemeran pembantu pria terbaik dalam penganugrahan Oscar,” Silvi memulai pembicarannya tentang tokoh idolanya. “Aku selalu kagum padanya, poster, foto, gambarnya kusimpan baik-baik.”
“Aku sangat mengidolakan Ronaldinho dengan gocekan mautnya yang yahud, bola jika sudah ada di kakinya seperti dipelet terus menempel, driblingnya luar biasa, dan senyumnya menggetarkan jiwa,” Andika menimpali.
“Brad Pitt artis paling tampan di Hollywood pantas dijadikan idola, tatapan matanya membuat jantungku berdebar. Meski sekarang sedang asyik dengan Angelina Jolie, tapi aku selalu bermimpi menjadi pacarnya,” Trisa ikut nimbrung.
“Wah, aku bisa cemburu nih!” Leo menanggapi ucapan pacarnya. “Jika sekedar pacar imajinatif tak masalah. Aku juga sangat mengidolakan Dian Sastro yang selalu penuh pesona dengan akting, kecerdasan, falsafah hidup, dan pendiriannya. Kau juga tak boleh cemburu, jika diam-diam aku mengkhayalkan bercumbu dengannya. Ha ha ha!” Suasana menjadi meriah dengan tawa renyah.
“Menurutku, Tora Sudiro juga tak kalah hebat, dia sekarang menjelma menjadi impian bagi gadis-gadis sampai ibu-ibu, dengan canda-canda khasnya dalam Ekstravaganza, aktingnya dalam film-film yang dibintangi juga bagus, tapi kesetiaan pada keluarganya membuatku semakin mengidolakannya,” Ria tak mau kalah dengan tokoh idolanya.
“Aku sangat mengidolakan Soetanto, sebagai Kaporli dia sangat hebat, sehingga bisa membunuh gembong teroris Azhari, mengungkap penyelundupan BBM yang telah berlangsung lama, menangkap gembong-gembong narkoba berikut pabrik-pabrik ekstasinya, memberantas perjudian,” kata Agus.
“Soetanto tidak ada apa-apanya dibanding tokoh idolaku SBY yang mengangkatnya menjadi Kapolri, berhasil memberantas korupsi yang selama ini tak tersentuh hukum, dan menjadi nominator hadiah nobel perdamaian dunia. Suatu prestasi yang luar biasa,” Maria tidak mau kalah.
“Dalam aspek berbeda, SBY gagal mengangkat perekonomian kita, sehingga krisis menjadi penyakit yang semakin kronis,” aku berusaha ikut memberikan pendapat. “Kebijakan SBY menyangkut kenaikan BBM benar-benar menikam ulu hati rakyat miskin, sedang kebijakan BLT dianggap sebagai hiburan semata bagi mereka.”
“Ya, benar! Kondisi perusahaan tempat kita bekerja juga tambah sulit, kenaikan gaji tidak sesuai dengan kenaikan berbagai kebutuhan pokok, pengangguran semakin banyak yang akan memburuk keadaan di sekitar kita,” Andika turut menambahkan.
“Malah sebagian temanku terpaksa dipecat,” sahut Ria. “Perusahaan tak sanggup lagi membayar gaji karyawan-karyawannya. Mereka terpaksa menempuh kebijakan memecat sebagian karyawan. Ini karena keadaan ekonomi kita bertambah sulit.”
“Jangan hanya tokoh idolaku yang dikritik,” geram Maria sambil menahan amarah. “Tokoh idola kalian juga punya kelemahan masing-masing, Goerge Coloney sering mengumpulkan amal dan dicurigai sebagian diembatnya sendiri, Brad Pitt awalnya seorang badut di restoran, Dian Sastro terlalu angkuh dengan kata-katanya untuk tidak terlibat dalam sinetron, Tora Sudiro kadang kelihatan salah membaca script di Ekstravaganza, Soetanto tokoh baru yang belum terbukti 100% untuk berbagai situasi yang berbeda, Ronaldinho kadang membalas perlakuan kasar pemain lain saat bermain di lapangan, dan tokoh idolaku juga tak berkutik menghadapi efek dari kenaikan BBM di dunia.” Kami semua sama-sama berusaha mencerna kata-kata dari Maria, kritiknya terhadap tokoh-tokoh idola sangat tepat sasaran, sehingga membuat kami sama-sama terpana.
“Aku setuju denganmu. Sebagus apapun tokoh-tokoh idola kita pasti memiliki kelemahan masing-masing sebagai manusia biasa sama seperti kita. Hanya saja mereka telah terbukti berhasil menjadi tokoh dengan segala kelemahan yang dimiliki, sehingga kita tetap mengidolakannya.”
“Benar, mereka mampu mengolah kelemahan menjadi potensi, kekurangan menjadi motivasi, keadaan yang sulit dijadikan sarana menghasilkan karya yang lebih baik.”
“Bukankah tokoh idola seharusnya orang-orang yang benar-benar sempurna?” pertanyaan Andika membuat kami saling pandang satu sama lain.
“Mencari manusia yang sempurna dalam zaman ini seperti menegakkan benang basah, sesuatu yang mustahil. Dalam masa lalu, kita pernah memiliki tokoh yang sempurna seperti Nabi Muhammad SAW, misalnya. Namun karena pengaruh teknologi, informasi, media, dan kemajuan zaman, kita melupakan tokoh yang sempurna menggantinya dengan tokoh-tokoh masa kini, yang dalam beberapa aspek malah tidak pantas disebut tokoh idola.”
“Siapapun tokoh idola kita harus dihormati,” Leo memberikan pendapatnya. “Paling penting bukan siapa tokoh idola kita, melainkan apa yang telah kita lakukan agar bisa seperti mereka.”
“Karya itu kata kuncinya,” aku mengatakan dengan semangat sekali. “Tokoh-tokoh idola tidak punya makna jika tidak memiliki karya, karya sebagai upaya manusia mengaktualisasikan diri dalam kehidupan. George Coloney, Brad Pitt, Dian Sastro, Tora Sudiro, Soetanto, dan SBY adalah orang-orang yang mampu menghasilkan karya yang bermakna lewat bidang masing-masing. Maka kita sebagai generasi muda harus mampu menghasilkan karya.”
“Seseorang menjadi tokoh idola dalam proses panjang yang melelahkan, menggetirkan, kerja keras, air mata, rasa putus asa, menghadapi tantangan yang sulit, dan melakukan berbagai hal supaya berhasil. Cara kerja mereka mencapai keberhasilan harus kita tiru sebagai generasi muda agar kita berhasil dalam karir masing-masing, dan menghasilkan karya yang bermanfaat bagi banyak orang, bukan sekedar mengagumi kulit luarnya saja. Siapa tahu sebagian dari kita bisa mentranformasikan diri menjadi idola-idola baru pada waktu yang akan datang.”
“Jadi, kita harus mampu mengoptimalkan pikiran, perasaan, hati, imajinasi, kecerdasan emosi dan potensi yang dimiliki untuk bisa berhasil di bidang masing-masing. Keberhasilan yang kita peroleh akan membuat kita secara perlahan-lahan bisa merubah diri kita menjadi idola baru, baik idola bagi keluarga, teman, orang lain, maupun masyarakat pada umumnya.”
“Kita harus bekerja keras mulai sekarang,” usul Trisa.
“Membuat karya yang bermanfaat bagi orang lain,” Leo menimpali.
“Berkreasi untuk menghasilkan hal-hal yang baru,” sahut Andika.
“Memperbaiki dan menyemurnakan cara kerja kita masing-masing,” Agus turut menyumbang pendapat.
“Menjadi generasi muda yang tangguh dalam segala kondisi,” ujar Ria.
“Membangkitkan motivasi agar aktualisasi diri bisa dilaksanakan secara konsisten,” kata Maria.
“Mulai detik ini, kita mendengungkan kematian tokoh idola masing-masing, sebab kita akan mempersiapkan diri menjadi idola-idola baru,” kataku.
“Ya, tokoh-tokoh idola masa kini telah mati suri, mereka tak pantas diidolakan karena bukan sosok manusia paripurna.”
“Riwayatnya sudah habis.”
“Tamat tak bersisa sama sekali.”
“Menghancurkan berkeping-keping dalam pikiran, imajinasi dan hati kita.”
“Membumi hanguskan sampai tak tersisa.”
“Meratakan dengan tanah di pekuburan.”
“Membangkitkan diri tuk jadi idola baru.”
“Apakah kalian benar-benar akan melaksanakan komitmen masing-masing?” Pertanyaan yang kusampaikan membuat mereka saling pandang, ada yang tersenyum simpul, serius, mengernyitkan dahi, bersemangat, termotivasi ada menanggapi dengan santai. Bagaimana dengan anda?
Wonosari, 08 Februari 2006



Kiai Sunan
Parji mengerahkan segala kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dia benar-benar pusing. Bagaimana tidak pusing, dia bekerja siang malam, penghasilan tetap tidak bertambah. Apa yang dihasilkan cukup untuk makan hari itu, keesokan hari mencari lagi, tidak ada uang lebih sebagai simpanan. Malah terkadang barang-barang yang dimiliki terpaksa dijual, agar kebutuhan hidup terpenuhi.
Menghadapi persaingan hidup yang semakin keras, dia melakukan usaha lain yakni pergi ke beberapa dukun supaya becaknya selalu ramai ditumpangi orang. Usaha yang sia-sia, tidak ada pengaruhnya sama sekali. Sehingga dia jera pergi ke dukun, kunjungannya justru mengurangi penghasilan.
Parji berdiri diambang batas antara asa dan tanpa asa. Antara semangat untuk menghidupi istri dan dua orang anak dengan rasa malas, bertarung. Antara keinginan untuk maju dan keinginan mundur dari pekerjaan, guna mencari pekerjaan lain, berperang. Menggoncang kondisi batinnya yang memang telah goncang.
“Masalah kalau dipikirkan bertambah ruwet. Lebih baik menarik becak.” Parji mengeluarkan becak dari halaman rumah gedeknya. Tepat di pertigaan jalan, seorang lelaki setengah baya yang bersorban, memberi kode padanya. Dia mendekat.
“Antarkan saya ke pesantren At-Tauhied!”
“Baik!” Orang itu memancarkan wibawa yang kuat, membuatnya segan.
“Sudah lama menarik becak?”
“Hampir sepuluh tahun, Kiai.”
“Jangan panggil saya dengan sebutan tersebut, terlalu terhormat. Panggil saja Rahman.”
“Tapi …!”
“Untuk apa mempersoalkan sebutan, tidak penting,” potong Rahman. “Hasil menarik becak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup?”
“Untuk sekedar makan, cukup.”
“Kamu ingin agar hasil usahamu berkembang?”
“Ingin sekali.”
“Berhenti!” Tanpa terasa sudah sampai di tujuan. ”Bapak datang kemari kalau ada waktu, nanti saya sampaikan rahasia cara meningkatkan penghasilan. Ini!” orang itu menjulurkan uang sepuluh ribuan.
“Tidak usah. Kaule1 senang panjenengan2 mau menumpang becak ini.”
“Kamu tidak boleh begitu, siapapun yang menumpang harus bayar. Terimalah!” Parji terpaksa menerimanya, dia hendak memberikan kembaliannya, orang itu sudah tidak ada di hadapannya. Dia menimang-nimang uang sepuluh ribuan dengan perasaan bingung bercampur gembira. Bagaimana mungkin ongkos menarik becak yang hanya seribu rupiah, dibayar sepuluh ribu, padahal dia sering bertengkar dengan penumpang yang membayar tidak sesuai jarak tumpangan. Rasa penasaran ini, membuatnya tertarik untuk bersilaturrahmi dengan orang itu.
“Bapak Rahman ada?”
“Husss! Tidak sopan menyebut Kiai Rahman dengan sebutan Bapak. Beliau saudara kandung Kiai Sholeh, yang baru datang dari Kairo Mesir. Sudah sepantasnya panjenengan memanggilnya Kiai Haji Rahman,” tegur salah seorang santri.
“Maaf atas kekhilafan ini. Saya benar-benar tidak tahu.”
“Kamu duduk dulu! Akan saya beritahukan kedatanganmu pada beliau.”
“Terima kasih!” Tiada beberapa lama, muncul Rahman menemuinya. Dia berusaha mencium tangannya, secepat kilat ditarik, hingga tak sempat mencium.
“Bagaimana ingin tahu rahasia itu, ya?”
“Benar, Kiai!”
“Sudah saya bilang jangan panggil dengan sebutan tersebut, terlalu berat menyandangnya. Saya baru datang ke sini, belum melakukan apapun untuk masyarakat dan santri, maka tidak pantas dipanggil Kiai. Kiai itu sebutan bagi orang yang mengabdikan hidupnya bagi masyarakat tanpa pamrih, kalau belum mengabdi belum pantas disebut Kiai.”
“Panjenengan keturunan Kiai Sholeh yang tersohor ke mana-mana, sudah seharusnya dipanggil Kiai.”
“Bapak harus mengerti, bahwa pada masa sekarang dan akan datang, sebutan Kiai bukan lagi dilihat faktor keturunan, namun dilihat sejauh mana kiprah seseorang di tengah-tengah masyarakat. Sudahlah! Bapak mungkin tak mengerti. Pokoknya panggil dengan sebutan Rahman.” Parji tidak menjawab, suasana hening beberapa saat. “Bapak ke sini ingin tahu rahasianya, bukan?”
“Benar, Ba…pak Rah…man.” Rahman melihat raut muka Parji yang gelap, yang dipandang jadi rikuh.
“Hmmmm! Bapak seorang Muslim?”
“Ya.”
“Bapak shalat?” Parji kebingungan untuk menjawab. “Jawab secara jujur!”
“Kaule shalat Idul Fitri dan Idul Adha saja.” “Ternyata Bapak bukan seorang Muslim yang sejati. Seorang Muslim yang sejati akan melaksanakan shalat lima waktu. Sebab shalat merupakan kewajiban setiap individu Muslim. Jika Shalat hanya pada saat Idul Fitri dan Adha, berarti sampean menjalankan sedikit ketentuan dari ajaran Islam.”
“Tetangga kaule tidak shalat, namun kaya raya.”
“Shalat adalah sarana umat Islam untuk mendekatkan diri pada Allah. Setiap gerakan dan bacaan shalat mengandung makna tersendiri, yang bila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kebaikan, ketentraman, dan kesehatan bagi pelaksananya. Kalau tetanggamu kaya raya walau tidak shalat, bisa jadi Allah sedang memanjakannya dengan kekayaan di dunia, dan memberikan adzab di hari Pembalasan.” “Meski begitu, apa kaitan antara shalat dengan usaha kaule menarik becak?” “Pertanyaan bagus, sebelum saya jelaskan jawabannya. Saya ingin Bapak tidak membantah dulu yang saya suruh. Bagaimana?” “Kaule mematuhi apa kata panjenengan!” “Sekarang Bapak ucapkan shahadat. Masih ingat shahadat bukan?” “Masih! Ashaduallah ilaha illallah wa ashadua anna muhammadar rosulullaah,” dengan suara lugas, tanpa kesalahan sedikitpun. Waktu muda dia pernah mondok walau tidak sampai selesai. “Ulangi sekali lagi dengan penuh keyakinan dari lubuk hati paling dalam.” Parji mengulanginya. Ada sesuatu yang terasa lain, seperti embun menetes di atas rumput, terasa sejuk. “Adzan Isya’ berkumandang, mari ikut saya melaksanakan shalat jamaah di masjid.” “Baik!” Parji mengikuti dengan patuh, walau pertanyaan keterkaitan shalat dengan penghasilan belum dijawab. Wibawa yang dipancarkan membuatnya segan. “Berusahalah dalam shalat, hanya mengingat Allah!”
Shalat Isya’ empat rakaat terasa lain baginya. Ada perasaan aneh yang timbul, setelah beberapa lama tidak melaksanakannya, apalagi ketika dalam shalat berusaha mengingat Allah semata. Dia merasa shalat Isya’ yang dilaksanakan malam itu, mampu menenangkan jiwa yang gelisah, nafsu yang memberontak seperti terkendali, hati setenang air mengalir di puncak gunung. Selesai dzikir, mereka berbincang kembali di ruang tamu sederhana.
“Saya tahu, Bapak selama ini bekerja keras siang malam menarik becak, tapi hasil yang diperoleh cukup sekedar untuk makan. Guna mengatasinya diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dalam rangka menyeimbangkan usaha lahiriah dengn usaha batin.” “Kaule tidak mengerti.” “Sebagai seorang Muslim, kita percaya rizki diatur Allah. Kepercayaan ini tidak boleh membuat kita memohon tanpa berusaha mencarinya, rizki tidak akan diperoleh. Sebaliknya bekerja keras tanpa diiringi tawakkal hasilnya kurang memuaskan, seperti Bapak. Maka diperlukan keseimbangan antara usaha yang gigih untuk memperoleh rizki, dengan memasrahkan hasil usaha pada Allah. Memasrahkan pada Allah atau bertawakkal yang saya sebut usaha batin, bisa lewat shalat lima waktu, shalat Dhuha, Shalat Tahajjud, membaca Al-Qur’an, berdzikir menyebut asmaNYA. Berbekal usaha dan do’a, insya Allah Bapak akan memperoleh tambahan rizki.” Rahman diam beberapa saat, berharap Parji bisa mencerna yang diungkapkan. “Tadi Bapak saya suruh Shahadat dan Shalat, agar memahami usaha batin itu seperti apa, dan menambah keyakinan pada agama yang dianut. Memeluk agama Islam tidak boleh nanggung, sebab akan menggiring pada kefasikan. Hal itu tidak baik bagi kelangsungan hidup. Bapak mengerti, bukan?” “Mengerti! Sebelumnya mohon maaf, apa Kaule tidak dikasih jimat atau amalan?” Rahman tersenyum simpul mendengarnya.
“Bapak cukup menjalankan shalat lima waktu, mengaji Al-Qur’an habis Magrib, berusaha melaksanakan shalat tahajjud dan dhuha. Itulah amalan yang bisa dilaksanakan.
“Oooh! Begitu,” sambil manggut-manggut. “Selamat menjalankan usaha lahir yang gigih dan usaha batin secara bersamaan, supaya hasil yang diperoleh lebih baik,” Parji berdiri hendak berpamitan.
“Tunggu sebentar! Istri Bapak bekerja apa?”
“Tidak ada, mengurus anak dan memasak.”
“Usahakan istrimu berjualan goreng-gorengan. Entah berjualan pisang goreng, kripik, atau krupuk, bisa buat tambahan penghasilan. Bukankah rumahmu berdekatan dengan pasar?”
“Benar sekali!” Parji meraih uang sepuluh ribuan hendak diberikan pada Rahman sewaktu bersalaman. “Terima kasih atas nasihatnya!”
“Apa ini?”
Parji kaget mendengar pertanyaan itu, biasanya bilai sowan ke Kiai lain langsung dimasukkan dalam saku tanpa bertanya.
“Kamu masih sangat membutuhkan, kenapa memaksakan diri memberi pada saya?” Rahman menaruh uang itu ke saku Parji, dia tak kuasa menolak.
Keyakinan baru tertanam di hati guna menyeimbangkan usaha lahir dan batin. Keyakinan pada kemanjuran nasihat-nasihat Kiai Rahman, bila dipraktekkan dengan sungguh-sungguh. Dia berjanji pada diri sendiri untuk mempraktekkannya mulai detik ini juga.
Selesai shalat subuh, dia berangkat ke pasar menarik becak. Baru mengayuh sekitar seratus meter, ada penumpang yang ingin ikut. Dia bertambah semangat. Sewaktu menunggu penumpang, dia sempatkan shalat dhuha di masjid. Siang istirahat untuk shalat Dhuhur, lalu berangkat menarik becak lagi, sampai matahari hampir terbenam di ufuk Barat.
Hari pertama mempraktekkan nasihat Kiai, dia memperoleh hasil yang lumayan. Tidak pernah seumur hidup menarik becak, dia mendapat penghasilan lima puluh ribu sehari. Hasil yang luar biasa. Sebagai perwujudan syukur, di malam hari dia bangun untuk menunaikan shalat tahajjud.
Usaha lahir dan batinnya mulai menampakkan hasil. Dia mampu membeli becak baru dalam enam bulan, dalam setahun dia mampu membeli dua becak, yang bisa dipekerjakan pada orang lain dengan sistem setoran. Perlahan-lahan ekonomi keluarga mulai meningkat. Pada saat bersamaan usaha istrinya berjualan krupuk dan kripik laku keras di pasar. Dengan keberhasilan ini dia tidak melupakan Kiai Rahman, yang memberinya jalan menuju pintu sukses.
“Bagaimana kabarmu, Bapak Parji?”
“Alhamdulillah, baik Bapak Kiai!” Parji diam sebentar. “Sebelumnya Mohon maaf, kaule harus memanggil panjenengan dengan sebutan Kiai, karena kiprah panjenengan di tengah-tengah masyrakat sudah banyak dalam setahun ini. Berkat panjenengan, masyarakat yang awalnya tidak taat beribadah, malas mengeluarkan zakat dan jarang berpuasa, menjadi rajin menjalankan ajaran-ajaran Islam itu. Orang-orang yang miskin, panjenengan datangi secara langsung, dikenalkan pada Haji Rozak orang kaya yang dermawan untuk dibantu modal, lalu dibimbing cara mengelola usaha yang menyeimbangkan usaha batin dan lahiriah. Panjenengan rajin berdakwah secara rutin di masjid-masjid, dalam berbagai acara yang diadakan masyarakat, bahkan berdakwah dari satu rumah ke rumah lainnya. Panjenengan mampu mendekati para preman di desa, bajingan, para pejudi dan orang-orang sesat untuk tidak mengganggu masyarakat lainnya, bahkan sebagian di antaranya bisa disadarkan, sehingga menjadi pembela dakwah panjenengan. Panjenengan juga membantu masyarakat menangani berbagai permasalahan yang dihadapi. Kaule sendiri benar-benar merasakan kemanjuran nasihat panjenengan.”
“Kamu tidak hanya bertambah sejahtera dan berbinar mukamu, namun juga bertambah pintar. Ha ha ha!” Kiai Rahman tertawa, Parji hanya tersenyum. “Kamu harus ingat, bahwa semua itu bukan karena nasihat saya, tapi karena kamu ingin merubah dirimu dalam menyikapi kehidupan. Perubahan dari dirimu dan berkat rahmat Allah, yang membawamu pada kesuksesan. Jangan sampai melupakan Allah yang memberimu kesuksesan. Cara untuk tidak melupakan Allah adalah jangan lupakan makhluk-makhlukNYA yang dalam keadaan sangat memprihatinkan seperti; pengemis, anak yatim piatu, fakir, dan orang-orang miskin. Dalam bersedekah pada mereka, menurut keadaanmu. Tidak perlu memaksakan diri. Bila sanggup bersedekah seribu rupiah, jangan dipaksakan untuk bersedekah sepuluh ribu rupiah. Paling penting kau ikhlas memberikannya, tak peduli besar atau kecil.”
“Nasihat panjenengan akan selalu kaule perhatikan. Ngomong-ngomong, apa Bapak Kiai tidak tertarik untuk terjun ke dunia politik? Sekarang banyak Kiai yang berpolitik dan tambah kaya.”
“Pekerjaan seorang Kiai adalah membina masyarakat agar mampu menemukan jalan lurus yang diridhai Allah. Untuk membina masyarakat, banyak cara, bisa lewat dakwah, ceramah atau yang lebih penting adalah suri tauladan yang dilihat langsung masyarakat. Tidak mesti harus lewat politik. Justru Kiai yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai dan terjun dalam dunia politik, dia akan dipermainkan kebobrokan politik. Bukan mewarnai, malah diwarnai. Fenomena inilah yang sekarang sedang berlangsung.”
“Menurut saya seorang Kiai atau tokoh masyarakat yang ingin terjun dalam dunia politik, paling tidak memiliki tiga syarat. Pertama; memahami dunia politik, tidak sekedar secara teoritis, tapi juga dalam tatanan praktis, dan keberadaannya di dunia politik untuk mengusahakan perubahan hal-hal yang merugikan rakyat menjadi yang menguntungkan rakyat, kedua ; menjadi pelopor pemusnahan KKN, dengan tidak melibatkan diri dalam KKN, ketiga; jangan sampai berpolitik sambil mengasuh pesantren, akan ada yang dikorbankan salah satunya, entah politiknya atau naudzubillah justru pesantrennya yang dikorbankan. Saya tidak memenuhi ketiga syarat di atas, sehingga tidak akan memaksakan diri untuk terjun dalam dunia politik.” Mendengar nasihat yang panjang lebar, Parji tampak gelisah ingin berpamitan. Kiai Rahman berusaha memahaminya. “Masih banyak pekerjaan di rumah, ya?”
“Ya. Kaule permisi pulang!” Parji meraih uang yang ada disaku, dan memberikan pada Kiai Rahman saat bersalaman, dengan harap-harap cemas, khawatir ditolak seperti dulu.
“Ini benar-benar uang lebih dari hasil usahamu?”
“Be…nar Bapak Kiai.” Kiai Rahman menoleh, dari kejauhan nampak seorang pengemis berjalan terlunta-lunta.
“Heiii, kemari!” Pengemis mendekat.
“Ini sedekah dari Bapak Parji.” Kiai Rahman menyerahkan uang dua puluh ribuan.
“Terima kasih, Kiai! Terima kasih Bapak Parji. Semoga Allah senantiasa melindungi dan melimpahkan rizki pada kalian.” Pengemis itu menyalami Kiai Rahman dan Parji secara bergantian dengan perasaan bahagia.
“Amien…!” ujar Parji dan Kiai Rahman bersamaan.
“Bapak Parji, doa orang yang benar-benar membutuhkan bantuan, lebih mujarap dari doa seorang Kiai yang dianggap dekat pada Allah.” Parji menganggukkan kepala, lalu berpamitan pulang.
Dalam perjalanan pulang, Parji mengingat Kiai Rahman sebagai perwujudan Sunan yang dibacanya di buku sejarah, sebagai tokoh penyebar Islam di bumi Nusantara, yang mencurahkan segenap hidupnya demi pengabdian pada masyarakat tanpa pamrih. Kiai Rahman pantas disebut Kiai Sunan.
Parji bangga bisa dekat dan berbincang-bincang dengan seorang Kiai yang tulus ikhlas membantu sesama, imannya kokoh, tidak silau oleh materi dan memahami keadaan masyarakat. Dia baru menyadari alangkah besar peran Kiai bagi masyarakat. Seandainya seluruh Kiai di Indonesia menjadi Kiai Sunan seperti Kiai Rahman, dia yakin umat Islam akan mencapai kemajuan yang mencengangkan. Kapan harapan itu akan menjadi nyata?


Keyakinan Diri
Aku melangkahkan kaki, menyibak daun-daun kering, melewati jalan setapak, sesekali menatap langit; langit cerah, matahari bersinar terang, gumpalan awan kecil saling berjauhan. Beberapa lama berjalan, jembatan belum kelihatan; jembatan yang akan mengantarkan ke hutan untuk mencari kayu.
“Sekarang permintaan kayu bakar meningkat kembali, harga minyak tanah yang mahal memaksa masyarakat menggunakan kompor dari tanah liat, berarti penghasilan akan bertambah. Aku harus semangat,” dalam hati.
Aku tersenyum melihat jembatan kelihatan di depan mata. Langkah-langkah kaki semakin mantap. Melewati jembatan, memasuki hutan yang mulai gundul. Aku memungut ranting-ranting pohon. Pekerjaan yang pernah membawaku pada kesialan, ditangkap petugas Perhutani dikira menjarah kayu-kayu jati, padahal tidak pernah melakukan. Anehnya penjarah besar-besar dibiarkan mengganyang kayu-kayu itu, sebab mereka mendapatkan bagian yang setimpal. Bila terjadi tanah longsor, pecari kayu yang akan menjadi kambing hitam.
Mendekam di penjara tiga bulan, tidak menyurutkan niat untuk tetap mencari kayu, hanya itu yang bisa dikerjakan. Tidak ada pekerjaan lain bagi orang yang buta huruf. Aku menekuni usaha dengan gigih, meski terkadang hasil yang diperoleh belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidup.
Kayu yang terkumpul cukup banyak, aku istirahat sebentar di bawah pohon, menikmati desir angin yang membelai wajah, menyejukkan hati, menghapus kelelahan yang menyelimuti. Setiap pekerjaan memiliki seni tersendiri.
Dalam kesendirian seorang setengah tua, memakai peci putih, bersurban dengan mamakai kain sarung dan baju takwa, memancarkan wibawa seperti layaknya seorang Kiai yang berpengaruh, datang mendekatiku. Aku segera mencium tangannya.
“Capek, ya?”
“Ya, Bapak Kiai!”
“Sudah lama bekerja mencari kayu?”
“Hampir sepuluh tahun.”
“Untuk mencapai hutan kulihat kau harus berjalan memutar. Aku beberapa kali melewati daerah ini, jadi sering melihatmu berjalan memanggul kayu.”
“Ya benar, Bapak Kiai! Jempatan terdekat yang menghubungkan hutan, jauh dari rumah kaule.”
“Kenapa tidak berusaha membangun jembatan sederhana di dekat rumahmu?”
“Dari mana uangnya? Untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, susahnya minta ampun.”
“Bukankah bisa meminta bantuan pemerintah?”
“Pemerintah? Satu kata asing bagi penduduk desa terpencil. Pemerintah hanya milik orang kota, milik orang desa yang maju, milik orang pintar, milik orang yang mampu memanfatkan, milik kepentingan. Orang desa yang buta huruf seperti kaule tidak butuh pemerintah, sebab mereka butuh saat pemilu saja.”
“Tidak boleh begitu!” Kiai diam sebentar, mengingat-ingat sesuatu. “Oh ya, ada cara mudah. Kemarilah!” Aku mendekat, Kiai itu membisikkan sesuatu, aku menganggukan kepala. “Asal yakin, kau bisa melakukannya.”
“Terima kasih! Insya Allah, kaule akan melaksanakan amalan Bapak Kiai.”
“Aku pergi dulu, hendak memberikan ceramah di desa tidak jauh dari sini.” Pertemuan yang tidak pernah bisa dilupakan. Setiap kali termenung, istirahat, berkhayal, nasihat Kiai selalu hadir dalam imajinasi.
Nasihat Kiai yang didengarnya beberapa bulan lalu, telah berulangkali diamalkan. Setiap ada kesempatan amalan itu dibaca dan dilaksanakan. Sayang belum berhasil.
“Harus mencoba terus menerus,” masih terngiang bisikan Bapak Kiai. Aku bangun dari istirahat, mengambil kayu, melangkah pulang ke rumah.
“Bismilahirohmanirrohiem.....” aku mengulangi ratusan sampai ribuan kali, setiap melakukan uji coba. Kaki kanan mencoba menginjak air yang dangkal. “beurrr!” kaki tenggelam. Mencoba lagi, gagal. Mencoba lagi, gagal. Mencoba lagi, gagal.
“Mungkin Kiai itu berbohong? Aku mencoba puluhan, ratusan, mungkin ribuan kali, tetap tidak berhasil. Lafadz basmalah telah dibaca setiap detik, jam, hari dan waktu, tapi tidak berhasil juga,” rasa putus asa menyelimuti. Berbulan-bulan menjalankan nasihat Kiai; membaca basmalah setiap saat, sehingga menjadi milik di hati, lalu melangkah di atas air, insya Allah berhasil berjalan di atasnya, asal dilakukan penuh keyakinan.
“Ya, aku ingat. Setiap kali melangkah, aku ragu akan keberhasilannya. Aku mesti mencoba dengan penuh keyakinan di dada, menghilangkan segala keraguan.”
Aku membaca basmalah ribuan kali untuk hari ini, keyakinan di dada dikumpulkan, aku melangkahkan kaki kanan. Ajaib! Kaki itu tidak tenggelam. Aku langkahkan kaki kiri, sama tidak tenggelam. Kuteruskan langkahku. Pada langkah kelima kedua kakiku tenggelam, aku bergegas berenang ke pinggir.
Nafasku turun naik, aku tersenyum sendiri mengingat yang kulakukan. Paling penting berhasil berjalan di atas air, walau masih lima langkah. Agar berhasil latihan terus menerus mesti dilakukan. Perkataan Kiai itu benar adanya. Aku pulang ke rumah dengan suatu tekad meningkatkan latihan diri.
Keesokan hari, aku mencobanya kembali, berhasil dalam sepuluh langkah. Terus mencobanya, berhasil lima belas langkah. Baru beberapa hari kemudian, aku berhasil melewati sungai yang lebar itu. Kini pekerjaan mencari kayu lebih menyenangkan, sambil menikmati kesaktian yang diperoleh.
“Pak! Tumben pulang cepat,” istriku kaget melihatku pulang lebih cepat dari biasanya.
“Pulang lambat dirasani2, pulang lebih cepat dirasani juga.”
“Apa gagal mendapatkan kayu?” istriku nampak cemas.
“Lihat di belakang rumah!” istriku menuju belakang rumah, melihat tumpukan kayu. “Dalam waktu singkat berhasil mengumpulkan kayu yang banyak, biasanya sampai malam baru kembali untuk mendapatkan sebanyak itu.”
“Aku lapar. Apa sudah masak nasinya?” aku mengalihkan pembicaraan, sebab tidak boleh membuka rahasia; pulang cepat berkat keberhasilan berjalan di atas air.
“Akan kupersiapkan!” istriku menyiapkan makan siangku di atas ranjang dari kayu. Aku menyantap dengan lahap nasi jagung dengan lauk tahu goreng. Dua piring ludes dalam sekejap. Istriku yang menemani makan bersama, turut merasa senang.
Menjalani hidup bersama sorang wanita yang mau mengerti keadaan suami adalah impian setiap suami. Kuncinya sikap saling mengerti, dan tanggung jawab memberi nafkah dipenuhi. Sehingga keharmonisan tercipta. Kenikmatan hidup tidak hanya milik orang kaya, setiap orang bisa menikmatinya, di situlah letak keadilan Allah pada setiap hambaNYA.
Hari pertama menikmati keberhasilan menjalankan anjuran Kiai, membuat pekerjaanku menjadi lebih ringan. Bila pesanan banyak bisa pulang pergi ke hutan kapanpun menginginkan, sebab penghalang sungai telah dijinakkan. Ya! Hari itu kedua kaki melangkah ringan di atas air seperti melangkah di atas tanah. Aku kembali ke seberang, berhasil berjalan di atas air dengan amalan basmalah. Kembali lagi untuk mengambil kayu di hutan.
“Tunggu sebentar, muridku!” ujar seorang Kiai pada muridnya.
“Ada apa, Kiai?”
“Aku melihat seuatu yang aneh.”
“Aku tidak melihatnya, Kiai.”
“Aku melihat seorang lelaki berjalan di atas air.”
“Sesuatu yang tidak mungkin. Mustahil ada orang yang bisa berjalan di atas air.”
“Kau tidak percaya padaku?
“Percaya, Bapak Kiai!”
“Kita harus sembunyi untuk membuktikan, nanti kuyakin dia lewat lagi. Luar biasa sekali ilmunya. Aku yang telah bertahun-tahun mempelajari berbagai kitab, ceramah di sana sini, dan orang-orang banyak datang meminta pertolongan padaku, belum sanggup melakukan hal yang sama.” Mereka menunggu penuh rasa penasaran. Satu jam menunggu belum muncul juga.
“Maaf Bapak Kiai! Nanti kita terlambat hadir dalam acara itu, tidak mungkin kita menunggu di sini terus menerus.”
“Hampir lupa. Begini saja, kau berangkat ke sana, bilang aku ada keperluan mendadak yang tidak terhindarkan. Kau yang menggantikanku sementara. Kau sanggup?”
“Ta....” muridnya hendak membantah.
“Tidak perlu membantah lagi. Berangkat sana!”
Mau tidak mau murid tersebut mematuhi perintah Kiainya.
Kiai itu bersembunyi di semak-semak, penasaran pada apa yang dilihat. Ilmu berjalan di atas air pada zaman dulu dianggap sesuatu yang biasa, banyak ulama yang sanggup melakukan, namun dalam zaman edan ini, masih ada yang mampu melakukan serupa, sesuatu yang luar biasa dan di luar jangkauan akal sehat.
Dari kejauhan aku berjalan di atas air sambil memanggul kayu. Aku berjalan dengan santai tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Tiba-tiba seseorang keluar dari semak-semak, aku agak kaget awalnya.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alikum salam! Bapak Kiai rupanya,” aku meletakkan kayu, menyalami sambil mencium tangannya, begitu sadar bahwa orang tersebut adalah seorang Kiai. Dia memandangiku penuh ketidakpercayaan.
“Aku sepertinya pernah bertemu denganmu. Siapa ya?”
“Kaule Sholeh, seorang pencari kayu. Kalau nggak salah kita bertemu sekitar setahun yang lalu.”
“Benarkah?”
“Benar Bapak Kiai!”
“Kau hebat sekarang, bisa berjalan di atas air. Dari mana memperoleh ilmu yang luar biasa itu?”
“Dari panjenengan.”
“Jangan bercanda! Aku sendiri tidak mampu berjalan di atas air, bagaimana mungkin memberikanmu ilmu itu. Aku justru mengimpikan hal yang sama.”
“Sebelumnya mohon maaf! Mungkin panjenengan lupa, waktu itu membisikkan sesuatu pada kaule. Hasil bisikan Bapak Kiai itu yang kaule laksanakan berulangkali tiada henti, tanpa kenal kata menyerah. Alhamdulilah berhasil. Berkat amalan basmalah yang menyatu dalam diri, kaule berhasil berjalan di atas air guna meringankan pekerjaan mencari kayu.”
“Apa? Kau bisa berjalan di atas air berkat nasihatku. Aku lupa pernah menasihatimu seperti itu.” Kiai itu terduduk di atas rumput, aku memegang bahunya. Dia termangu tak tahu harus berbuat apa. “Begitukah kejadiannya?”
“Ya!”
“Ah! Dunia telah berubah rupanya.”
Wonosari, 07 Januari 2006



Dalam Buaian Akal
Aku bekerja sebagai Redaktur di harian Hari Ini. Karirku naik dengan cepat, karena diriku seorang yang cerdas, oportunis, kreatif dan berbakat. Secara ekonomi kehidupan keluargaku cukup terjamin, tidak perlu kelimpungan, hidup dalam gaya hidup yang super cepat, konsumtif, dan gemerlap di kota metropolis.
Berbekal penguasaan maenstream pemikiran Barat, aku memiliki pemikiran-pemikiran cemerlang, mampu mengetahui masalah dari hakikat terdalam, bisa melakukan prediksi masa depan, termasuk penganut universalis sekuler. Aku kagum pada Immanuel Kant, yang dengan pemikiran jeniusnya tentang akal murni, mencetuskan ide etika universal sekuler yang tetap berpijak pada agama. Kant menafikan praktek-praktek ibadah spritual, seperti beribadah di gereja, yang dianggapnya hanya ilusi keagamaan. Aku menganut hal yang sama, bedanya aku seorang Muslim, yang berpandangan agama murni akal adalah agama sejati, tanpa perlu melaksanakan ibadah setiap hari.
“Mas! Kenapa tidak pernah shalat, walau hanya shalat Jum’at?”
“Memahami agama harus pada inti agama, bukan terjebak dalam simbol-simbol agama yang bersifat permukaan.”
“Kata seorang Ulama’, tidak sempurna agama seseorang, bila tidak melaksanakan ibadah.”
“Kita ingat Nabi Ibrahim, dia menemukan hakekat Tuhan setelah mengembara ke sana ke mari. Penemuan nabi Ibrahim pada Islam, tanpa diembel-embili kewajiban beribadah. Itu karena nabi Ibrahim menemukan agama sejati; yakni agama yang mampu ditangkap manusia secara universal.”
“Kita dituntut untuk mampu mengambil niali-nilai terbaik dari setiap agama, baik dari Islam, Kristen, Hindu, Budha, maupun Khohuchu. Sehingga bisa bersikap toleran, dan memahami pluralitas masyarakat. Dengan komitmen ini, kita akan akan bisa hidup dan berbaur di tengah-tengah masyarakat postmodern.”
“Oke, jika begitu pendapatmu. Bukankah setiap agama menganjurkan puasa, tapi Mas tidak pernah puasa?” pertanyaan istriku cukup telak menghantam pemikiranku.
“Puasa hakekatnya mengekang hawa nafsu, kalau kita sudah bisa mengendalikan dan menyalurkannya dengan benar. Untuk apa berpuasa? Makanya aku kawin denganmu,” aku berusaha memeluk istriku, dia hanya diam. “Tidak ada gunanya mempersoalkan hal-hal yang tidak prinsipil, sayang!”
“Apa? Tidak prinsipil bagimu!” Aku kaget mendengar suara istriku yang meninggi. “Ini prinsip bagiku!”
“Kita tidak usah memulai pertengkaran dari masalah yang bukan masalah.”
“Aku pusing, mau tidur saja!” istriku melepaskan pelukanku, lalu pergi meninggalkanku termangu sendirian. Aku termenung memikirkan perbedaan antara kami; aku seorang penganut Islam liberal, sedang istriku penganut Islam fundamentalis. Kami menganggap perbedaan itu hakekatnya sama, sebab sama-sama menggunakan baju Islam. Kami memutuskan menikah setelah masa pacaran selama tiga tahun. Sewaktu pacaran, hal ini tidak pernah menjadi masalah. Entah mengapa, kini menjadi masalah.
Bagiku memahami Islam harus secara rasional, universal, dan liberal tanpa terikat pada tradisi-tradisi yang membelenggu. Islam agama yang universal, yang membiarkan pemeluknya mengoptimalkan akal agar mencapai taraf yang paripurna. Aku telah berupaya mengakalkan segala sesuatu, maka yang bertentangan dengan akal berarti sesuatu yang dibuat-buat, tidak perlu diikuti. Surga, Neraka, alam ghaib, taqdir, dan ibadah spritual bukan inti Islam, inti Islam adalah akal. Maka segala sesuatu yang bertentangan dengannya dianggap tidak ada.
Aku dengan teman-teman yang sealiran mencoba mengarahkan dalam berbagai tulisan di koran Hari Ini, bagaimana Islam Baru dalam era Postmodern. Islam harus dipandang secara baru. Fiqih sekedar menjelaskan hal-hal yang mengikat otonomi manusia, seakan-akan memeras manusia menjadi makhluk yang terikat padanya, dan tidak boleh melepaskan ikatan. Sehingga wacana fiqih yang hadir pada abad abad pertengahan, sudah tidak pada tempatnya digunakan dalam konteks kekinian.
Pertengkaran demi pertengkaran berlangsung menyangkut perbedaan dalam satu pemahaman. Istriku yang biasanya sering mengalah, sehingga hubungan kami tetap langgeng, meski lima tahun perkawinan tanpa anak, kini tidak mau mengalah lagi. Semua telah berubah, aku gengsi mengalah pada wanita. Keadaan ini diperparah adanya telegram yang menyuruhku pulang ke Sumenep Madura, ibu jatuh sakit.
Dalam perjalanan kami lebih banyak berbicara dalam diam. Pertengkaran demi pertengkaran, membuat perbendaharaan kata kami telah habis.
Kondisi ibu sekarat, orang-orang sibuk mengaji, menangis, dan mengerumuninya. Aku hanya menatap ibu penuh ketidakberdayaan. Kutatap mata ibu yang tampak kosong, seluruh persendian tubuh menegang, dan tubuh tak bergerak lagi, tidak ada lagi desah nafas. Ibuku meninggal.
Aku duduk di atas kursi dengan pandangan tak mengerti. Kematian sesuatu yang nyata. Manusia hidup memang akan mati, tapi kematian itu sendiri seuatu paling ditakuti manusia. Mungkinkah kehidupan tanpa kematian?
Aku mengerahkan segenap akal untuk mampu menangkap misteri kematian; manusia mati, roh berpisah dari jasad, jasad terbujur kaku tak memiliki arti lagi, dan roh konon dicabut malaikat maut. Kemanakah roh? Ikut terkuburkan bersama jasad. Ini berarti kehidupan manusia sampai ke alam kubur, tidak ada kehidupan selanjutnya. Atau roh di angkat ke alam lain yang tidak dimengertinya; dalam teologi agama roh di dalam kubur berhadapan dengan malaikat yang menanyakan beberapa hal, untuk apa mempercayai ajaran teologi agama, sedang diriku ingin menajdi manusia bebas yang hanya percaya pada akal.
Sebelum jenasah dikuburkan, ada sambutan dari tuan rumah, aku yang dianggap anak paling pintar dan dianggap sukses merantau di Jakarta, didaulat untuk menyampaikan beberapa butir kata. Aku bingung ingin mengatakan apa, karena bagiku semua tradisi penguburan hanya membelenggu manusia.
“Manusia hidup, lalu mati. Begitu kematian datang tidak ada kehidupan bagi manusia. Roh dan jasad hancur di dalam kubur bersama. Tidak ada kehidupan setelah kematian.”
“Apa yang dia katakan?”
“Dia bukan seorang Muslim.”
“Dia murtad!”
“Ya, dia kafir.” Suara-suara penduduk yang tidak puas memanaskan suasana.
“Dia membawa malapetaka bagi ibunya.” Orang-orang berteriak marah, sebagian mendatangiku; mengirim beberapa pukulan, tendangan, dan melempari dengan batu. Suasana menjadi kacau. Aku menjadi bulan-bulanan penduduk, untung Bapak datang melerai.
Mukaku berlumuran darah, tubuhku sakit semua, tangan kiriku tak bisa digerakkan, kepala bagian samping mengucurkan darah. Aku benar-benar sial, ingin menerangkan kebenaran menurut pertimbanganku sendiri, malah diamuk. Aku tidak menghadiri penguburan ibu, terbaring di ranjang menahan rasa sakit.
Aku terbaring sendiri di kamar, tak ada yang menemani, meski penguburan telah selesai. Istriku menjauh, saudara-saudaraku menjauh, apalagi masyarakat, mereka menjauh. Aku diasingkan dari keluarga dan masyarakat, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Padahal aku baru melemparkan wacana tidak ada kehidupan sesudah kematian, bagaimana kalau kulemparkan wacana lain yang telah menjadi jalan hidupku, seperti; ibadah spritual hanya ilusi, tidak ada taqdir yang ada otonomi manusia, semua agama menyembah Tuhan yang sama, mungkin aku akan dibakar hidup-hidup.
Aku pulang ke Jakarta sendirian tidak ada yang mengantar dan menemani, istriku yang pulang duluan ternyata tidak ada di rumahku. Mungkin dia pulang ke rumah orang tuanya.
Sebulan kemudian perceraian kami berlangsung, aku tak mampu mencegah perbedaan antara kami demikian besar. Aku kembali dalam kesendirian. Kesendirian yang membuatku tetap pada keyakinan bahwa akal segala-galanya bagiku. Maka kalau istri, keluarga, dan masyarakat menganggu keyakinan akalku, aku tidak mempedulikan mereka.
Teman-teman sealiran denganku, memberikan motivasi bahwa diriku tidak sendiri, mereka mendukung segala tindakan yang kulakukan. Aku malah dianggap tokoh pembaharu Islam yang teguh pada pendirian. Aku dibanggakan mereka. Tulisan-tulisanku semakin bertebaran di berbagai media dan dihargai sangat mahal.
Aku membentuk kelompok khusus, menampung sesama penganut akal murni, yang jumlahnya bertambah banyak di kota besar. Aku menjadi nara sumber berbagai seminar, diterima beberapa pejabat negara, mendapat penghargaan dari duta besar Inggris dan Amerika, kadang tampil di televisi untuk menyampaikan pandanganku tentang Islam. Aku terlena dengan agama murni akal, yang mampu membawaku ke jenjang tertinggi, memberikanku kekayaan materi yang berlimpah.
Malam menjelang, aku sedang tidak ada kegiatan, kesepian datang. Aku rindu belaian istri, rindu keluarga, rindu pada masyarkat desa yang tak mau menerima kehadiranku kembali. Kutatap malam gelap gulita; kulihat dunia satu sisi gelap bagiku, satu sisi terang menderang. Aku berdiri di sisi yang terang, dan tidak mempedulikan sisi gelapnya. Aku terhanyut dalam sungai akal.
Aku merenungkan diriku, dalam diri manusia terdapat dua unsur penting, akal dan hati nurani. Aku selama ini hidup dalam dunia akal yang panjang dan berliku, pintu hati nurani dibiarkan dalam ruang yang gelap gulita. Aku tidak pernah mencoba berbicara dengan hati nuraniku, sebab hakekatnya tidak ada bagiku, keberadaannya dalam ketiadaan, sesuatu yang ingin kujauhi. Dalam kesendirian ini, aku merindukan hati nuraniku.
Timbul penyesalan hanyut dalam buaian akal, tapi penyesalan ini hanya untuk diriku sendiri. Bagi orang lain, aku akan menyembunyikan penyesalanku, karena akan mengganggu karir yang kurintis dengan materi yang berlimpah.

KAU
Kau benar-benar membuatku bingung. Bagaimana tidak bingung, kau awalnya seorang muslim yang taat; puasa sebulan penuh, shalat lima waktu rutin, mengeluarkan zakat fitrah dan harta tepat waktu. Kini kau berubah total
Semenjak kau mengenal seorang lelaki yang tak jelas latar belakangnya, perubahan mulai nampak. Kau sering meninggalkan kewajiban-kewajiban ibadah shalat, kios di pasarpun, kau biarkan terbengkalai. Kau pergi jalan-jalan ke bermacam-macam tempat; gunung Raung, gunung Semeru, gunung Argo Puro, Alas Purwo dan tempat keramat lainnya. Katanya untuk memperdalam ilmu kebatinan.
Terlalu sering bepergian, tanpa mempedulikan usaha perdagangan, membuatmu jatuh bangkrut. Suatu hukum alam yang wajar. Kau tidak bersedih sama sekali. “Orang bangkrut merupakan proses alamiah, tidak usah dikhawatirkan. Malah aku sudah mengetahui akan bangkrut seperti ini,”
“Seandainya sudah mengetahui sebelumnya, kenapa tidak diantisipasi?” aku penasaran dengan perkataannya yang sudah mengetahu kejadian sebelum terjadi.
“Segala sesuatu ada yang mengatur. Ketetapan Kaula Gusti merupakan kepastian, bahwa aku harus mengalami kejatuhan usaha perdagangan, supaya sukses dalam meraih ilmu kebatinan.”
“Terserahmulah!”
Kau tetap hidup dengan santai. Hutang sana sini yang menumpuk, tak membuatmu khawatir. Kau terus melangkah dengan keyakinan baru, keyakinan yang membuatmu semakin terpuruk. Keyakinan yang menggiringmu menjauhi Allah. Keyakinan yang menghantarkanmu tak peduli pada ajaran-ajaran Islam. Suatu kontradiksi yang tak pernah kumengerti.
“Mengapa kau tidak pernah shalat?”
“Untuk apa shalat? Kau memang tidak pernah berpikir maju. Manusia setiap saat bisa mengingat Tuhan, kapan saja dan dimana saja. Kalau sudah mengingatnya setiap saat, apa gunanya shalat? Bukankah hakekat shalat mengingat Allah.”
“Shalat merupakan kewajiban yang harus dijalani.”
“Kewajiban adalah pemaksaan yang tidak harus dijalani. Kau tahu, jika sudah mencapai taraf yang sempurna dalam kebatinan, tidak perlu lagi ibadah sehari-hari yang hanya mengganggu aktivitas.”
“Astagfirullah! Tobat, sahabatku. Kau nanti murtad!” kau terseyum simpul. Senyum yang tak kupahami maknanya.
Pernah suatu waktu kau mengajakku bertemu gurumu, yang memiliki ilmu kebatinan lebih sempurna. Dia tidak sombong sepertimu, dia lebih rendah hati. Dia berusaha memahami bahwa aku seorang santri, maka dia tidak berusaha merubah keyakinanku. Aku menjadi bertanya-tanya. Mungkinkah sasaran mereka orang-orang yang tidak berpendidikan sepertimu. Aku tahu kau hanya lulusan SD, mudah bagimu untuk dipengaruhi orang lain. Anehnya aku yang telah lulus Pesantren selama delapan tahun, tak mampu mempengaruhimu.
Memang, kau kini memiliki kelebihan di bidang supranatural. Kau mampu menahan hujan supaya tidak turun ke suatu tempat, kau mampu menyembuhkan orang yang kerasukan, menjalankan ritual menghidupkan dupa tiap malam Jum’at. Mungkinkah sebuah kenyataan metafisik bisa merubah keyakinan seseorang? Akankah tongkat yang bisa terbang merubah keyakinan satu kali satu sama dengan dua? Mungkinkah kulit yang tak tertembus peluru membuat seseorang gugur keawajiban beribadahnya? Akankah dengan mengingat Kaula Gusti sudah cukup? Jawabannya pasti Tidak. Nabi Muhammad sebagai pembawa ajaran Islam, malah lebih rajin ibadahnya dari siapapun juga, padahal segala dosa-dosa beliau diampuni Allah, dan beliau mendapat jaminan surga. Apalagi dengan manusia sekarang yang penuh dengan dosa, disengaja atau tidak, dan tidak ada jaminan apapun untuk masuk surga.
Kau sahabatku yang lain, memiliki tindakan hampir sama dengan latar belakang berbeda. Kau sahabatku di Pesantren, yang kuanggap lebih taat dalam melaksanakan ibadah dariku yang jarang shalat jama’ah, sering melakukan shalat wajib sendirian. Sedang kau; shalat jama’ah rutin, shalat tahajjud, shalat dhuha, shalat sunnah lain tak pernah dilalaikan, malah sering berpuasa Senin dan Kamis. Tapi ketika bertemu denganmu kulihat kau sama sekali tidak shalat.
“Kenapa kau tidak shalat?”
“Sekarang zaman postmodern. Shalat merupakan kearifan tradisi.”
“Aku tidak mengerti!” Aku yang dulu dianggap lebih lihai darimu dalam berdebat, kau buat melongo. Aku memang bernasib buruk tak mampu melanjutkan pendidikan, sedang kau alumni universitas Kairo Mesir, nanti akan melanjutkan program studi doktoral di Amerika Serikat.
“Ibadah sehari-hari yang kau jalani merupakan warisan budaya Arab Abad pertengahan, yang tidak mesti dijalankan sekarang. Ada sejarah panjang yang terpotong antara abad pertengahan dengan era postmodern. Kau tahu dalam zaman postmodern, semua wacana besar dunia mengalami dekonstruksi dalam segala bidang, termasuk agama Islam. Kita perlu memperbaharui wacana baru Islam.”
“Pembaharuan dalam agama Islam hanya dijalankan Nabi yang memiliki mukjizat, shabat-shahabat Nabi yang khusus, thabi’ien yang lebih spesifik, tokoh-tokoh yang memiliki keistimewaan seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Ash’ary.”
“Pemikiranmu masih terbelakang. Kita diciptakan Tuhan menjadi Manusia yang memilki akal untuk mempertimbangkan dan memikirkan segala masalah. Akal manusia mampu menjangkau segala permasalahan, tidak hanya Nabi dan orang-orang yang kau sebutkan tadi. Kita mampu mencapai taraf pemikiran yang sempurna dengan melatih terus menerus, dengan membuka diri pada berbagai wacana yang berkembang, khususnya di Barat, yang harus diakui telah mencapai taraf yang mencengangkan.”
Aku linglung. Mungkinkah akal yang kumiliki mengalami kemacetan karena kurang terasah lewat lembaga pendidikan?
“Semua agama di dunia mengajarkan untuk melakukan ibadah spritual, antara satu agama dengan yang lain berbeda, padahal mereka menyembah Tuhan yang sama. Kenapa tidak kita rangkum semua keyakinan beragama, dalam satu keyakinan yang sama. Bahwa kita menyembah satu Tuhan, dengan menyingkirkan segala perbedaan wacana ibadah spritual. Di sinilah kita bisa hidup damai, toleransi, dan saling menghormati sebagai sesama manusia.”
“Sudahlah, teman! Aku tak mampu mencerna pemikiranmu.” Aku merenung dalam waktu lama. Seperti Al-Ghozali yang mengalami masa kontemplasi, tapi aku tidak sejenius dia, yang dalam kebingungan mampu melahirkan pemikiran jenius. Aku masih tak mengerti melihat dua fakta berbeda; seorang teman melalaikan ibadah spritual karena kurang berpendidikan dan tertarik pada kebatinan yang menawarkan ilmu supranatural, sedang teman satunya melihat ibadah spritual sebagai kearifan tradisi karena terlalu pintar dengan paradigma Barat. Aku yang tidak terlalu bodoh, tapi tidak terlalu pintar menjadi bingung, tak tahu harus melangkah kemana.
Dalam kebingungan, aku mencoba berkomunikasi dengan batinku sendiri. Mencoba berbicara dengan hatiku yang lama tak kuajak berbicara. Mencoba menggali potensi imajinasi yang kubiarkan menjadi khayalan. Mengajak pikiranku mengelana pada beberapa literatur yang pernah dibaca dan pengalaman hidup sehari-hari. Aku mencoba mengerahkan segala potensi yang dimiliki untuk menemukan jawaban dari kebingunganku.
Ibadah spritual merupakan kearifan tradisi, benarkah? Manusia hidup memang harus mengoptimnalkan akal dalam taraf yang paripurna, tapi manusia dalam sejarahnya tak pernah mampu benar-benar lepas dari tradisi. Buktinya agama-agama besar dunia tetap mampu bertahan dalam segala zaman, bahkan secara kuantitas lebih besar dari kaum universalis sekuler, padahal semua agama mewajibkan tradisi-tradisi tertentu. Itu berarti manusia dengan tradisi seperti dua sisi mata uang tak dapat dipisahkan. Keperpijakan manusia pada tradisi, bukan tanpa pertimbangan akal yang paripurna. Justru karena akal dalam tatanan tertentu tak mampu menjangkau segala sesuatu, maka manusia menoleh pada hati nurani, inilah yang mendekatkan manusia dengan Allah, agama dan tradisi.
Betul shalat memang tradisi, tapi suatu tradisi yang mampu membimbing umat Islam pada ketenangan batin, mencerahkan jiwa yang gersang, mengendalikan nafsu yang meledak-ledak, membersihkan hati dari kotoran-kotoran dosa, sarana memperbaiki tingkah laku. Shalat merupakan sarana yang paling efektif guna berkomunikasi dengan Allah secara langsung, menyampaikan keinginan berada dalam jalan lurus ketika membaca Al-fatehah, hanya Allah yang patut diagungkan dalam takbir, Ruku’ perwujudan saling menghormati sesama manusia, menyampaikan keluh kesah dalam sujud, dan menunduk di hadapkan Allah menunjukkan bahwa akal manusia yang mengatakan shalat kearifan tradisi, ternyata tak mampu menjelaskan segala hal, kecuali akal-akalan saja. Donald B Calne seorang penulis Barat telah mengakui keterbatasan akal dalam bukunya Batas Nalar. Beberapa pemikir Barat seperti Heideger, Faucolt, Nietsche, dan beberapa tokoh Barat lainnnya telah menelanjangi beberapa kelemahan dari rasionalitas Barat yang justru menjerumuskan kehidupan umat manusia pada kehancuran budaya dan alam, dengan pemanfaatan yang berlebihan lewat teknologi dan ilmu perngetahuan.
Menganggap shalat sebagai kearifan tradisi hanya pelarian, kartena ingin lari dari kewajiban?
Immanuel Kant yang merupakan tokoh peletak dasar rasio murni, menganjurkan ketidak manfaatan ibadah di gereja karena di masanya gereja-gereja yang ada justru menjauhkan manusia dari Tuhan, menghukum yang bertentangan dengannnya, sistem yang diterapkan gereja sangat bobrok. Bagaimana mungkin umat Islam mau mengikuti ajaran Kant, padahal dalam Islam tidak ada sistem gereja dan pastoral. Masjid tidak sama dengan gereja dalam menjalankan fungsinya, sehingga suatu ironi apabila umat Islam mengikuti sesuatu yang salah dengan konteks yang berbeda.
Pada saat bersamaan, kuingat Karl Max pernah menawarkan wacana komunisme dengan ajaran utamanya ateisme yang menganggap Tuhan adalah candu, kini hancur berkeping-keping, banyak negara penganutnya meninggalkannya. Kapitalisme yang sedang menguasai dunia, hanya menciptakan ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat dunia, negera kuat menghisap negara miskin dan berkembang. Bahkan wacana demokrasi yang merupakan produk masyarkat modern yang paling unggul, ternyata tak pernah membawa kesejahteraan di negara-negara berkembang, justru dijadikan senjata intervensi Barat.
Kulihat dengan mata kepala sendiri, kebijakan-kebijakan Barat di berbagai bidang justru merusak kehidupan, serbuan budaya Barat dalam negaraku Indonesia yang mayoritas muslim, justru menciptakan krisis multi dimensi yang tak kunjung selesai. Kenapa harus ikut Barat? Benarkah budaya Barat yang dianggap adiluhung menawarkan kedamaian bagi seluruh umat manusia, atau hanya omong kosong demi menjaga kepentingannya? Melihat fakta-fakta ini, membuatku bertambah yakin dengan Islam beserta kewajiban ibadah spritualnya.
Islam adalah jalan hidup yang akan menggiringku bersikap toleran, hormat pada sesama tanpa memandang ras, suku dan agama, memahami universalitas tanpa meninggalkan keyakinan beragama, bisa hidup damai tidak hanya dengan orang Timur, tapi dengan orang Barat, bahkan dengan Yahudi sekalipun asal tidak menindas. Hanya yang jadi masalah umat Islam perlu melakukan perenungan, pemikiran yang mendalam, mengoptimalkan hati pada taraf yang sempurna, senantiasa mengasah imajinasi, kecerdasan emosi, pikiran, mendalami Al-Qur’an dan Sunnah, agar Islam sebagai agama spritual dan sosial mampu menghadapi tantangan postmodernitas. Jangan hanya puas dengan wacana Asy’ariah, wacana Islam Salaf, dan wacana-wacana lainnya yang kurang kontekstual.
Kau sahabatku, tidak perlu gundah dengan hasil perenungan dan pemikiranku ini. Biarkan aku dengan agama Islam, yang kuyakini secara kaffah. Aku juga tidak akan menggugatmu, tapi berharap agar wacana yang kau sampaikan dalam lingkungan terbatas sesama orang-orang yang mampu mengoptimalkan akal, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Bukankah suatu kesalahan memberi makan beras pada sapi? Bukankah keliru mengajari anak TK masalah filsafat? Bukankah tidak bijaksana memandang masalah dari sudut kepentingan diri, tanpa memandang orang lain?
Kau, Aku, dan umat Islam, ditantang untuk mampu menghadapi perubahan yang berjalan sangat cepat setiap detik. Bagaimana menghadapi perubahan ini, tanpa merubah keyakinan dasar yang bersemayam tidak hanya dalam akal, tapi telah mengakar dalam hati. Al-Qur’an mengajarkan menembus langit supaya sampai di bulan, mengapa kita hanya bertengkar di bumi? Memikirkan masalah yang bukan masalah? Terperosok dalam budaya yang bukan jati diri kita? Mengapa kita biarkan dijajah dalam segala aspek kehidupan? Itu karena konsep waktu berputar tak pernah dipahami, karena kita masih terlelap dalam wacana mimpi yang tak pernah jadi nyata.
Kau telah mempertebal keyakinanku pada Islam. Terima kasih! Hormati keyakinanku yang tak pernah berubah, meski segala wacana besar dunia mengalami perubahan.



Universitas Kehidupan Sehari-hari
Rustam menatap ijazah Pesantren yang ada di tangan kanannya, ijazah yang tak memiliki makna lagi. Kegagalan demi kegagalan diderita; mulai dari kegagalan lulus UMPTN, kegagalan ujian di IAIN, sampai kegagalan kuliah di universitas swasta.
“Dalam UMPTN kali ini, ada sekitar seratus orang yang salah mengisi formulir, sehingga komputer tak mampu mengakses data-data itu, secara otomatis yang bersangkutan dinyatakan gagal!” Pengumuman yang dikira bagi orang lain, ternyata untuk dirinya, praktis ikut ujian dua hari berturut-turut, hanya kesia-siaan belaka.
Rustam mencoba tahun berikutnya. Kali ini hasil berbeda, dia diterima di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Saat mendaftar ulang, dia kaget dengan uang yang harus dibayarkannya yakni 20 juta rupiah. Ikut UMPTN saja harus bertengkar dengan orang tua, apalagi membayar uang yang jumlahnya selangit. Rencananya dia akan kuliah sambil kerja, tapi dengan kenyataan pedih ini, dia benar-benar tersungkur.
Universitas bukan lembaga amal, lembaga pendidikan yang berorientasi bisnis. Kini pasar bebas datang, zaman edan, era global, siapa yang mampu bersaing, akan tetap survife. Segala sesuatu dinilai dari sudut materi, sedang yang bersifat immateri tak bermakna lagi. Sebelum ikut UMPTN seharusnya dia memahami ini, sehingga tidak harus memaksakan diri.
Rustam pulang dengan sisa ongkos di saku. Sesampai di Bondowoso uang habis, dia harus jalan kaki ke Wonosari. Dia berjalan di atas jalan beraspal, melewati jalan berliku, dengan pikiran menerawang jauh. Habis sudah segala impian, musnah cita-cita, dan hancur masa depan cerah. Bagaimana dia mampu menatap hari depan, sementara pintu untuk mengembangkan diri dan belajar di universitas tertutup rapat baginya. Pintu mana yang bisa dimasuki untuk bisa tetap belajar, dia ingin mengembangkan diri, ingin belajar tinggi, ingin mengoptimalkan pikiran, dan ingin menjadi orang pintar, yang berguna bagi diri dan masyarakat. Tapi semua keinginan, hanya bayangan semu, bayangan tak akan pernah jadi nyata.
Tanpa terasa jarak dari kota Bondowoso ke desanya, yang biasa ditempuh naik bus, ditempuh dengan jalan kaki. Dia sampai tanpa merasa lelah, justru pikiran pusing tujuh keliling. Tertutupnya pintu universitas, dunia bagai kiamat baginya. Tak ada peluang untuk memperdalam berbagai ilmu pengetahuan.
Tiga hari Rustam meratapi nasib. Semakin diratapi, dia semakin bingung, resah, dan gelisah. Di tengah-tengah keputus-asaan, dia menerima tawaran salah seorang familinya untuk bekerja menjadi penjaga Wartel. Lumayan, daripada kegiatan kosong. Dia berupaya melupakan, semua keinginan untuk belajar. Dia menyibukkan diri bekerja di wartel.
Dalam kesibukan bekerja, dia mulai melupakan keinginan untuk belajar. Apalagi pemilik wartel menganggapnya pegawai teladan, mampu memberikan pelayanan terbaik, konisisten pada waktu, tidak pernah absen. Otomatis penghasilan wartel bertambah, semenjak dia bekerja. Sedang uang tabungannya cukup lumayan, berhubung kedua orang tuanya masih sanggup memberi makan dari gaji menjadi guru SMP.
Hari itu tanpa sengaja sebuah buku filsafat, tertinggal di wartel. Pemiliknya tak pernah mengambil buku itu. Rustam menyimpan baik-baik. Dalam waktu senggang, dia membuka buku itu. Membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, dan halaman demi halaman. Ada sesuatu yang tergerak dari hati, kehendak untuk mengembangkan diri timbul. Ketertarikan untuk belajar muncul kembali. Dalam dua hari buku yang agak tebal itu, selesai dibacanya. Dia merasa mampu memahaminya, tanpa kesulitan dengan kata-kata ilmiah, tanpa kesulitan dengan pemikiran filsafat yang rumit, dan memahami pemikiran-pemikiran yang muncul dalam buku itu.
Mungkin karena di pesantren, dia menyukai filsafat, dan kalau ke perpustakaan banyak membaca buku filsafat; mulai pemikiran Iqbal, Faslur Rahman, sampai Nurkholis Madjid pernah dijelajahinya. Dia sempat bingung ketika itu, melihat pemikiran-pemikiran sekuler merasukinya, akibatnya dia sering melalaikan ibadah sehari-hari, dan sering tidak mengikuti shalat jama’ah, yang merupakan kewajiban di pesantren.
Berkenalan dengan pemikiran-pemikiran inilah, yang menambah semangat untuk kuliah dulu, semangat yang didukung banyak pihak, termasuk pengasuh pesantren. Kenyataan harus dihadapi, dia gagal total kuliah. Kegagalan yang menyesakkan dada, di tengah-tengah motivasi belajar yang membara.
Keinginanan belajar timbul ke permukaan, bersamaan dengan tidak adanya kesulitan memahami buku filsafat. Inilah yang memacunya mengambil uang di Bank, hasil kerja menjaga wartel. Dia berangkat ke Jember untuk membeli buku.
Dalam benaknya sudah dirancang guna membeli buku yang sesuai minatnya; buku-buku postmodernisme, filsafat Islam, filsafat Barat, sastra, novel, kumpulan cerpen dan cara menulis sastra.
Setiap hari Rustam membaca buku-buku yang dibelinya. Dalam waktu singkat buku-buku yang banyak dan tebal-tebal itu selesai dibacanya. Cakrawala berpikir meluas, imajinasi yang berantakan bisa diarahkan, semangat belajar bertambah kuat. Dia belajar bermacam-macam buku secara otodidak. Belajar otodidak baru muncul menjelang usia 25 tahun, meski dia telah hafal luar dalam hadits “Tuntutlah ilmu dari pangkuan ibu sampai liang lahat,” yang dihafalkan sejak berusia 15 tahun, baru dipahami dan dilaksanakan benar-benar dalam jangka waktu sepuluh tahun kemudian. Suatu proses pemahaman yang memakan waktu lama.
“Kau aneh sekali, penjaga wartel baca buku filsafat,” tegur Suprapto pemilik wartel.
“Orang belajar, bisa buku apa saja. Bebas.”
“Paling tidak buku ekonomi, atau membaca koran. Apa perlu kusediakan koran harian di wartel ini?”
“Membaca buku-buku filsafat ini membuat semangat hidupku bertambah.”
“Aku kasihan padamu, apa gunanya membaca buku-buku filsafat. Tidak membuatmu kaya, bahkan mungkin hasilmu bekerja di wartel ini, telah kau habiskan untuk membeli buku.” Rustam tercenung. “Kenapa diam?”
“Benar, uang simpananku di Bank telah habis untuk membeli buku-buku filsafat.”
“Wah, aku bisa dimarahi orang tuamu.”
“Jangan khawatir, aku mendapatkan kebebasan penuh mengelola uang hasil jerih payah sendiri.”
“Syukurlah kalau begitu. Tapi harus diingat, membaca buku tidak hanya untuk membaca saja, diupayakan ada proses imbal balik di dalamnya. Kau akan rugi dan menyesal suatu saat nanti.”
“Aku mengerti sekarang,” seru Rustam tiba-tiba. “Aku harus mampu menulis agar berkesesuaian dengan membaca. Terima kasih, atas nasihatmu!” Rustam menyalami Suprapto erat-erat, mengingatkan sesuatu yang juga sempat dilupakan.
“Maksudku bukan begitu. Maksudku …”
“Tidak usah cemas, kegiatan membaca dan menulis tidak akan mengganggu kerjaku di wartel ini. Aku akan tetap bekerja di sini. Tenang saja!” Suprapto diam, dia sebenarnya menginginkan agar uang yang disimpan di bank, dipergunakan untuk keperluan masa depan. Sedang Rustam memahaminya sebagai sarana memperkuat bacaannya.
“Dasar filsuf, menangkap sesuatu dari sudut lain,” seru Suprapto dalam hati. Dia tak mampu melarang, paling penting Rustam tetap bekerja di tempatnya.
Rustam mulai membuat catatan-catatan. Kesimpulan-kesimpulan buku, coba dipikirkan secara seksama, berusaha mengkritisi setiap kesimpulan yang ada. Mencoba melakukan telaah ulang berbagai pemikiran yang muncul, sehingga buku besar yang dijadikan catatan tampak penuh.
Proses membaca buku, disertai dengan proses membaca kehidupan sehari-hari. Rustam mempelajari bagaimana pedagang di pasar berdagang, bagaimana tukang becak menempuh kehidupan, bagaimana petani mencukupi diri, bagaiman penarik becak tetap hidup dalam persaingan yang semakin menumpuk, bagaimana peristiwa-peristiwa berlangsung setiap hari, lalu lalang mengitari dirinya. Dia berusaha mencatat dalam imajinasi, dan mempertimbangkan di otaknya.
Beberapa adat istiadat dalam masyarakat seperti tahlilan, swalawatan, peringatan; kehamilan, kelahiran, perkawinan, kematian, dan budaya yang khas di suatu desa, diperhatikan dengan seksama agar bisa bersikap dengan benar. Di samping itu bisa dijadikan sumber tulisan nantinya.
Dari membaca buku, dan memikirkan pengalaman hidup sehari hari dia mencoba membuat tulisan. Bentuk tulisan yang diingat Resensi Buku, yang diajarkan guru bahasa Indonesianya di pesantren. Maka mulailah dia menulis.
Hasil tulisanya dikirim ke Jawa Pos. Memang awalnya ditolak. Sampai Resensi yang kelima, baru diterima. Dia gembira melihat honor menulis cukup besar, melebihi gajinya di wartel sebulan. Dia mengirimkan Resensinya ke Republika, Media Indonesia, dan Surya, ternyata diterima, walau dengan perjuangan yang tidak mudah. Hasil resensinya yang telah dimuat, dikirimkan ke penerbit yang bersangkutan –yang menerbitkan buku yang diresensi-, ternyata dibalas dengan memperoleh buku bacaan gratis. Dia bertambah semangat.

Rustam tidak hanya menulis resensi buku, tapi mulai menulis cerpen, kolom, dan novel. Tulisan-tulisannya menghiasi berbagai media, sebagian novelnya berhasil diterbitkan. Dia terkenal sebagai seorang penjaga wartel yang jadi penulis. Dia menemukan kembali dirinya setelah hampir musnah bersama kegagalan untuk kuliah. Dia menemukan dirinya, tanpa melalui pintu universitas. Dia ber-Wujud, justru dalam kesadaran diri bahwa proses pembelajaran tidak hanya di Universitas formal, kehidupan sehari-hari adalah universitas terbesar di dunia yang memberi kesempatan yang sama pada manusia. Tidak perlu kaya untuk memahami kehidupan sehari-hari. Tak perlu modal banyak untuk mengerti kehidupan nyata. Tak perlu biaya untuk belajar bagiamana kehidupan dijalani manusia. Yang diperlukan keberanian menjalani kehidupan, tanpa membiarkan sang waktu menelannya dalam kesia-siaan.
Rustam merasa universitas formal telah ambruk dalam dirinya, berganti universitas kehidupan sehari-hari. Ketika hampir lima belas ribu sarjana melamar menjadi pegawai negeri di sebuah Kabupaten –entah berapa jumlahnya satu Propinsi dan seluruh indonesia-, sedang yang diterima hanya dua ratus orang, maka univertas telah ambruk. Ketika pengangguran-pengangguran yang menyandang gelar sarjana di Republik ini menumpuk, maka hancur sudah universitas. Ketika lapangan pekerjaan tidak tersedia bagi para sarjana, maka hakekatnya telah hancur universitas. Ketika para sarjana hanya mencari pekerjaan, tanpa usaha menciptakan lapangan pekerjaan, hancur universitas. Ketika para sarjana tak mampu menangkap reaslitas dalam masyarakat, hancur universitas. Ketika pelajaran-pelajaran di universitas hanya mengajarkan hal ihwal yang tak bermakna bagi kehidupan, hancur universitas.
Yang hidup abadi adalah proses pembelajaran diri yang terus menerus tiada henti, sampai nyawa terpisah dari badan adalah pembelajaran dari kehidupan. Bukankah universitas terbesar di dunia bernama; Kehidupan Sehari-hari, tidak pernah tutup? Siapa saja boleh masuk, keluar, dan belajar di dalamnya.



Kematian Cita-Cita
Aku membulatkan tekad di hati, untuk meneruskan cita-cita sederhana; ingin memiliki komputer. Barang yang dianggap perwujudan teknologi terkini bagi masyarakat desa, merupakan teknologi usang bagi sebagian orang, dan sesuatu yang umum bagi masyarakat perkotaan.
“Bu! Insya Allah, aku membeli komputer beberapa hari lagi.”
“Untuk apa? Apa komputer bisa dimakan?”
“Tentu tidak! Siapa tahu kompter ini bisa menghasilkan uang.”
“Tidak masuk akal, bagaimana mungkin komputer bisa menghasilkan uang?”
“Dengan komputer ini, aku bisa belajar menulis. Jika tulisannya bagus, dan dimuat di koran atau majalah, bisa menghasilkan uang.”
“Berapa penghasilan dari menulis?” Ayahku yang sedari tadi mendengarkan, mulai ikut nimbrung.
“Tidak tahu!”
“Kau punya pengalaman di bidang ini?”
“Baru ingin mencobanya.”
“Membeli komputer harganya sekitar 5 jutaan komplit, dan kau masih coba-coba menulis supaya dimuat di media. Itu berarti tulisanmu belum tentu dimuat, karena kau belum terlatih. Risikonya kau tidak menghasilkan uang dari komputer.”
“Memang …”
“Jangan beli komputer! Bukankah uang 5 juta merupakan modal berharga untuk memperbesar usahamu berjualan pakaian jadi.”
“Menulis merupakan pekerjaan menuju keabadian, kata Pramudya Ananta Noer. Aku ingin mengabadikan diriku, maka aku ingin menjadi penulis.”
“Orang yang ingin hidup abadi, setelah perekonomiannya matang. Kalau masih dalam taraf pemula sepertimu akan sia-sia. Baru berdagang tiga tahun saja, mau beli komputer. Apa tidak sebaiknya uang dibelikan sepeda motor, bisa buat angkutan saat kulaan barang. Itu lebih masuk akal dari membeli komputer.”
Aku tidak berkutik. Mestikah cita-cita mulia diurungkan dengan pertimbangan-pertimbangan, dalam satu aspek memang betul, tapi dilihat dari aspek lain keliru, akan mematikan cita-cita hidup abadi seperti Khairil Anwar atar Pramudya. Aku berpikir keras meyakinkan kedua orang tua, agar bisa membeli komputer.
Aku berjalan-jalan ke kota kecil Bondowoso, kulihat lembaga-lembaga pendidikan komputer, baik berbentuk kursus atau lembaga formal. Aku berusaha menggali informasi dari mereka, bagaimana cara mengefektifkan komputer supaya bisa mendapatkan uang. Dari kunjungan ini timbul bermacam-macam ide.
Aku mengambil uang tabungan Simpedes Bank BRI, pergi ke Jember untuk membeli komputer. Dari satu toko, pindah ke toko lain agar mendapatkan komputer yang bagus dan murah. Akhirnya sampai di pusat komputer. Di sinilah kutemukan komputer pentium IV, dengan harga sesuai, sehingga aku bisa membeli beserta printernya, menggunakan uang 5 juta rupiah.
Kedua orang tuaku kaget melihatku membawa komputer, aku berusaha mengalihkan dengan memasang kabel-kabel komputer, dan menyalakannya. Begitu bisa dioperasikan, aku gembira sekali. Meski kesulitan lain menghadang.
“Kami sudah melarangmu. Kenapa bandel?” bentak ayahku.
“Jangan marah dulu!” Aku duduk di atas Sofa dengan santai. “Ini bukan berasal dari uangku, tapi pinjaman dari lembaga kursus di Bondowoso, yang ingin membuka cabang di desa ini. Aku ditunjuk sebagai pimpinan cabangnya. Jadi Ayah dan Ibu tak perlu marah.” Mereka terdiam mendengar akal bulusku, padahal aku membeli komputer dengan uang sendiri, hasil kerja keras selama tiga tahun berdagang di pasar tradisional Sukosari.
Berita bahwa aku membeli komputer, menjadi berita yang menggemparkan di desaku. Orang-orang berdatangan ingin melihat barang aneh, yang sering mereka lihat di layar televisi. Dalam sehari, rumahku dikunjungi orang-orang di sekitar desaku, sehingga menimbulkan kebanggaan pada kedua orang tua. Berarti tugas beratku, untuk mempengaruhi mereka berhasil.
Kedatangan penduduk desa ke rumahku, kujadikan ajang promosi, bahwa sekarang anak-anak di desa yang ingin belajar komputer diharap mendaftar. Tidak di sangka pesertanya cukup banyak, sehingga aku kewalahan mengatur jadual kursus. Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu antusias. Mungkin keahlian menggunakan komputer akan menjadi kebanggaan baru di desaku.
Aku bersemangat melaksanakan berbagai kegiatan; pagi berjualan di pasar, siang sampai malam mengajar anak kursus komputer. Pemadatan waktu, membuat jiwaku bergelora. Aku tipe orang yang tak senang dengan kediaman, ingin memberontak pada kejumudan, ingin menghantam ketidakadilan, dan benci pada kemalasan, meski suatu waktu diharapkan juga.
Pada saat bersamaan, keinginan untuk menulis terabaikan. Aku lebih sibuk berdagang dan menjadi instruktur kursus, melalaikan tujuan awal menulis. Mungkin melihat komputer bisa menghasilkan uang lebih nyata, dari menulis, yang susah mendapatkan uang pada permulaan, membuatku terbuai.
Manakala kesadaran menulis muncul, kuluangkan waktu pada dini hari, untuk menulis. Waktu malam yang sunyi, dibarengi suara jangkrik, membuat diri merasa segar dalam mengekspresikan imajinasi.
Pertama kali duduk di depan komputer, aku tak tahu ingin menulis apa. Ingatanku mencoba dibangkitkan ke masa-masa di Pesantren, aku sering menulis puisi dan cerita pendek di majalah dinding sekolah. Apa aku harus menggeluti kedua bidang ini? Aku mencoba merenung, sedang tangan di atas keyboard tak bergerak, tak ada yang bisa ditulis.
“Untuk menjadi seorang penulis, harus membaca banyak buku,” pesan guru bahasa Indonesiaku di Pesantren yang kuingat kembali. Padahal di rumahku tidak ada buku bacaan berkaitan dengan cerita dan puisi. Aku cepat-cepat mematikan komputer, dan mengambil celengan. Kubuka celengan plastik, berhamburan uang logam dan uang kertas. Kuhitung sekitar, hampir Rp. 250.000,-. Uang dari hasil kursur komputer. Cukup banyak untuk membeli buku.
Aku berangkat ke Jember untuk membeli buku-buku yang diperlukan. Aku berpindah-pindah mulai Gramedia, Pelita, dan toko-toko buku kecil untuk membelanjakan uang demi membeli buku yang diinginkan. Aku mendapatkan buku bermacam-macam; mulai kumpulan puisi, kumpulan cerpen, novel, sampai buku filsafat agar wawasan semakin luas.
Kegiatan bertambah padat, berdagang, menjadi isntruktur kursus, membaca buku, sampai menulis.
Aku berusaha menulis puisi, mencari kata-kata yang indah, dan mencari ide-ide yang bagus, agar bisa diterima media cetak. Aku ingat puisi yang kutulis.

kertas putih bertuliskan mati
malam ini aku berjalan dalam kelam tak bertepi
setiap jejak langkah yang kulalui tak menemukan ujung yang pasti
deru-deru perjalanan kehidupan mengalir dalam laut mati
nafas-nafas kehidupan sesak dalam batin yang sunyi
dalam dunia luas imajinasi yang tak bertepi

aku merasakan hidup dalam deru
kehidupan manusia terbatas waktu
aku terhimpit dalam lorong-lorong gelap tanpa cahaya
bumi tak lebih dari sebesar bola dunia

aku hidup dalam bayang-bayang kematian
kematian
kematian
kematian
ujung hidup segenap insan

aku pernah dekat dengan suara-suara
tersiksa dua Malaikat tak kenal kompromi
tubuh tak kuasa menahan sakit tak terhingga
pikiran sirna dalam buaian derita segala derita
perasaan lebur dalam seliput nestapa
hati menjerit pilu menikmati sengsara

aku pernah dekat dengan suara-suara
memanggil lembut dalam daun telinga yang menganga
menghadirkan dunia lain yang tak sama
darah mengalir cepat ke ujung batas
jantung terpompa cepat ke pojok hempas
nafas mengalir sendu dalam selimut senja
diri tak mampu menguasai apa yang dialami
mendadak secarik kertas putih bertuliskan perjanjian
menawarkan kematian dan kehidupan
mati sirna segala rasa berganti neraka
hidup hadir segala macam derita dunia

aku linglung dalam menentukan yang mesti kujalani
aku bingung tak tahu menempuh jalan yang mana
aku tersesat dalam belantara tanpa jalan yang pasti
aku terombang ambing ombak tengah lautan fatamorgana
dalam kondisi carut marut tak menentu
aku tetap hidup dalam dunia penuh derita
kan menjalani apa yang ada
sampai secarik kertas menawarkan pernjanjian baru

Aku menulis puisi-puisi yang bermacam-macam sesuai ide yang mengalir begitu saja. Aku mengirimkannya ke berbagai media cetak. Kukirim ke Jawa Pos. Satu bulan menunggu, tak ada jawaban. Kukirim ke Kompas. Kutunggu sebulan tak ada jawaban. Ku kirim ke Horison. Kutunggu sebulan tak ada jawaban. Kukirim ke Republika. Kutunggu sebulan tak ada jawaban. Kukirim Pos Kota. Kutunggu sebulan tak ada jawaban. Kukirim ke harian Merdeka. Kutunggu sebulan tak ada jawaban. Kukirim ke Surya. Kutunggu sebulan tak ada jawan. Kukirim ke. Kukirim ke Media Indonesia. Kutunggu sebulan tak ada jawaban Kukirim ke Annida. Kutunggu sebulan tak ada jawaban. Kukirim ke Internet. Kutunggu sebulan tak ada jawaban.
Aku lelah menunggu, ketika semuanya tak menjawab. Mereka seperti patung raksasa yang diam seribu bahasa, tak menunjukkan isyarat sedikitpun. Padahal yang kuharapkan hanya sebuah jawaban. Jawaban; apakah puisi jelek, buruk, menakutkan, atau sangat buruk. Kuyakin tak mungkin ada yang bilang bagus, sebab kriteria bagus di mata mereka adalah kriteria pasar. Pasar menginginkan penulis-penulis ternama yang dianggap terjamin kualitasnya. Tidak ada tempat untuk penulis pemula.
Aku melakukan hal yang sama pada cerpen-cerpen yang kutulis, kukirim ke barbagai media, semuanya sia-sia, jangankan dimuat dibalaspun tidak. Dua tahun masa penungguan, berakhir sia-sia. Bagi penulis pemula; sebuah tanggapan walau dinilai jelek sekalipun, merupakan sumber motivasi mereka untuk tetap menulis, walau tidak pernah dimuat. Disinilah nuraniku bertanya-tanya, akankah untuk bercita-cita menjadi penulis adalah kemustahilan? Tidak bolehkah bermimpi menjadi penulis?
Rasa frutasi karena dua tahun menulis tidak ada yang memperhatikan, membuatku tak peduli pada usaha perdagangan, yang perlahan-lahan mulai mengalami kebangkrutan. Aku tidak konsentrasi memberikan materi kursus, menjadikan muridku berkurang. Puncaknya, monitor mati, printer ngadat, dan CPO komputerku yang kumiliki bermasalah, diperbaiki sana sini, tapi tidak bisa diperbaiki kecuali membeli yang baru, sebab komputerku merupakan produk rakitan,. Semua peralatan yang kubeli dengan susah payah, kukorbankan segalanya untuk itu, rusak tak dapat diperbaiki.
Aku tersungkur tak berdaya. Aku menyesal bercita-cita menjadi penulis. Aku menyesal ingin hidup abadi. Aku menyesal membeli komputer. Aku menyesal membeli buku. Aku benar-benar menyesal. Penyesalan terlambat; usaha perdagangan bangkrut, kumputer rusak, dan diri terlempar pada keputus-asaan. Pekerjaan sehari-hari hanya merenung, meratapi nasib, menangis mengingat semua yang terjadi, dan setiap kali ditemukan koran atau majalah di hadapanku, kuremas kuat-kuat dan kurobek berkeping-keping. Kuanggap semua media cetak, adalah makhluk paling kejam di dunia, pantas untuk dimusnahkan. Orang-orang di desaku, menyebutku; orang gila baru.





Setitik Harapan
Haris berjalan di pinggir jalan beraspal, matanya sesekali menoleh ke belakang. Perjalanan dari rumah ke sekolahnya sekitar satu kilo meter, ditempuh dengan jalan kaki. Biar hemat, sebab dia berasal dari keluarga tidak mampu, untuk sekolah saja, sesuatu yang dipaksakan.
“Tuuut!” Suara klakson mobil dari belakang membuatnya menghindar ke tepi jalan. Pada waktu bersamaan, sepeda motor berkecepatan tinggi yang tak terkendali melaju ke arahnya, dia tertegun tak dapat mengelak. Tabrakan dasyat terjadi, dia terpental sejauh tiga meter. Kedua kaki berlumuran darah, sekujur tubuh terasa sakit, yang menabraknya terpental ke arah lain dan hanya mengalami luka ringan.
“Aduuuh!” Haris merintih menahan sakit, tiada beberapa lama jatuh pingsan. Orang-orang yang berkerumun berusaha menolong dan membawanya ke Puskesmas terdekat, termasuk yang menabraknya, ikut mengantar.
Semua biaya pengobatan dibayar utuh, tapi kedua kaki tetap tidak bisa dikembalikan. Hasil perdamaian antara mereka disepakati pembayaran biaya pengobatan Puskesmas dan Rumah Sakit untuk amputasi, ditanggung penuh. Sedang bagaimana dia menjalani kehidupan selanjutnya bukan urusannya lagi. Padahal kedua kakinya tidak akan berguna lagi seumur hidup, sehingga tidak bisa melakukan kegiatan secara normal. Ini menimbulkan kejengkelan pada kedua orang tuanya, setiap hari dia hanya makan dan tidur, tidak dapat mengerjakan apapun. Dia tidak bisa membantu kedua orang tuanya sepulang sekolah seperti dulu, malah sekarang dia terpaksa berhenti sekolah.
“Aku tak mengerti, kenapa anak kita selalu tidak beruntung,” ujar ibunya sambil menaruh nasi di piring suaminya. Keduanya tidak menyadari bahwa diam-diam Haris mendekatkan telinganya ke pintu untuk mendengar percakapan itu. Jarak antara dapur dengan kamarnya yang berdekatan, memungkinkan dia mendengar dengan jelas.
“Semenjak lahir dia selalu membawa ketidakberuntungan. Posisinya terbalik, sehingga menyulitkanmu melahirkannya, Bu!” Bapaknya mengunyah tempe goreng, bergantian dengan nasi.
“Ya, aku merasakan sakit yang luar biasa waktu itu.”
“Dia tidak seperti kakaknya yang pintar, dapat rengking pertama terus di sekolah, sehingga bisa mendapatkan beasiswa.”
“Dia tidak memiliki keistimewaan sama sekali, belum lagi ketidakberuntungan yang dialami selama ini, menjadikan beban kita bertambah berat.” Haris tak kuasa menahan uraian air mata yang menetes dari kedua pelupuk matanya, mendengarkan semua percakapan itu.
“Semenjak ada dia, usaha keluarga kita bertambah susah. Penghasilan padi di sawah, sering tidak memuaskan. Sebelum dia lahir, kita hampir mampu membeli mobil. “
“Sudahlah, Pak! Dia anak kita juga.”
Bapaknya telah selesai menyantap makanan, ibunya ganti menuju meja makan. “Haris! Makanan telah siap.” Dia bergegas menghapus air mata. Menarik nafas dalam-dalam, mencoba bersikap tidak mendengarkan apa-apa. Sebab dia menyadari yang mereka katakan memang benar, dia menjadi beban keluarga. Dia tidak bisa melakukan apa-apa.
Haris memakan nasi tanpa berkata apa-apa. Gairah makan hilang sudah, dia makan sedikit. Bergegas kembali ke kamar, duduk termenung menghadap jendela. Kedua mata menatap langit.
“Ya Allah! Mengapa aku dilahirkan dalam ketidakberuntungan terus menerus? Apa salahku? Apa kalau aku tidak beruntung, lantas aku tidak seperti anak kebanyakan? Apakah keberuntungan yang menunjukkan jati diri seseorang? Apakah aku Ada karena beruntung? Jikat tidak beruntung berarti hakikatnya aku mati. Ah! Aku tidak tahu, apakah Kau peduli padaku, seorang anak yang selalu tidak beruntung.”
Haris menatap kedua kaki, dua hal yang membimbing manusia berjalan, dua pijakan menjalani kehidupan, dua sarana menikmati hidup, keduanya buntung. Apa yang bisa dikerjakannya?
Kedua mata melihat burung terbang bebas di angkasa, terbang tinggi, menukik ke bawah, hinggap di atas pohon. Kebebasan burung membuatnya iri. Kenapa dulu tidak dilahirkan sebagai burung yang bisa terbang? Tapi dia keliru tatkala sebuah suara bergema, “Dor dor dor!” Burung terjatuh ditembak seorang pemburu. “Ah! Aku lebih beruntung dari burung itu.”
Kedua mata melihat semut yang berjalan beriringan di lantai rumah. Mereka hidup berkelompok, saling bekerjasama membangun rumah, menyantap makanan bersama-sama. Kehidupan semut lebih manusiawi dari manusia. Manusia mau memikirkan diri sendiri, sebab kehidupan berkelompok dianggap menghilangkan jati diri pribadi. Padahal dalam kehidupan berkelompok, yang saling tenggang rasa, saling memberi, saling menghormati, dan saling memahami, diri bisa menunjukkan keberadaannya.
Haris menyandarkan bahunya ke kursi roda, sedang ingatannya terbang tinggi menembus angkasa, menyibak putaran waktu yang pernah dijalani, menelanjangi ketidakberuntungan yang mengitari dirinya sepanjang hidup.
Ketika kecelakaan berlangsung, orang-orang berdatangan menjenguk. Mereka membawa gula, roti, beras, susu, makanan ringan, sehingga persedian di dapur berlebih. Gula dan beras yang melebihi kebutuhan dijual ke pasar, uangnya untuk membiayai hidup keluarga.
Kini tidak ada yang peduli padanya. Dia dibiarkan bersama kesepian, bersama beban yang menghimpit dada, bersama kesedihan karena dilahirkan dalam ketidakberuntungan.
Menginjak usia tiga tahun, Haris pernah berjalan sendiri menuju sumur di belakang rumah. Dia tercebur ke dalam sumur, untung seorang tetangga melihat dan menolongnya segera, sehingga bisa diselamatkan. Sejak itu dia selalu diawasi secara ketat. Jika tinggal di rumah seluruh pintu dan jendela di kunci rapat.
Dalam usia enam tahun, Haris duduk di teras rumah memperhatikan orang-orang lewat. Tiba-tiba sebuah batu menghantam kepalanya. Dia jatuh pingsan. Kepalanya diperban. Semenjak itu dia merasa sering pikun, otaknya tidak secerdas kakaknya, sehingga prestasi di sekolah menurun.
Hampir setiap tahun, berbagai penyakit datang menyertai. Mulai penyakit tyfus, bisul, kudis, alergi, sampai penyakit kuning diderita. Biaya pengobatan yang dikeluarkan kedua orang tuanya sangat besar, bila dihitung mungkin keluarganya sanggup membangun rumah yang bagus.
Mengingat semua kejadian yang pernah dialami, Haris merasa selalu berada dalam ketidakberuntungan. Bertahun-tahun menjalani kehidupan, ketidakberuntungan senantiasa menyertai, dimanapun berada. Dia merasa tidak melakukan kesalahan pada siapapun, bahkan dia berusaha baik pada setiap orang. Biasanya orang yang melakukan kesalahan pada orang lain, akan mendapat karma setimpal, itulah mitos masyarakat pedesaan. Mitos yang membuat orang-orang berhati-hati agar tidak berbuat salah, walau mitos ini kini mulai dilupakan.
“Apa yang bisa kukerjakan?” Tanpa sengaja, dia melihat seekor semut, kakinya sebelah putus, dia tetap berjalan tertatih-tatih sambil membawa makanan.
“Ah, semut itu masih bisa menikmati hidup walau tidak sempurna. Kenapa dia tidak bisa menikmati hidup? Paling penting bagaimana mengisi kehidupan.”
Haris mencari-cari cara agar bisa mengisi kehidupan dengan kegiatan yang bermakna, bisa melakukan sesuatu yang berguna, paling tidak supaya tidak menjadi beban keluarga. Dia menatap kedua tangan secara seksama. Dia masih memiliki dua tangan yang utuh. Dia berusaha mengingat apa yang pernah dikerjakan sewaktu kecil dengan tangannya. Dengan cepat imajinasi menggiring pada masa kanak-kanak manakala dia membuat bermacam-macam mainan untuk teman-temannya. Dia dipercaya membuat mainan karena hasilnya bagus.
Haris menggerakkan kursi roda ke belakang rumah, berhati-hati agar tidak diketahui ibunya, di samping khawatir ketidakberuntungan datang kembali. Dengan susah payah, dia mengambil tanah liat, mengambil air di kamar mandi yang berada di belakang rumah. Dia mulai berusaha membuat kerajinan dari tanah liat. Pertama yang dibuat adalah kendi, biar dia bisa mengambil air tanpa menyusahkan orang lain. Hal ini memungkinkan, dikarenakan struktur tanah di sekitar rumahnya cocok sebagai bahan kerajinan dari tanah liat.
Haris mengerjakan dengan telaten, memang susah awalnya, kendi yang dibuat tidak jadi-jadi. Lama kelamaan, dia mulai berhasil membuat kendi. Begitu selesai, dia puas menatapnya. Dia menghasilkan sebuah karya. Dia bisa berkarya dengan kedua tangan, kreativitas tidak mesti menggunakan kedua kaki. Kreativitas tetap bisa dijalankan meski kondisi fisik tidak sempurna.
“Kau, kucari-cari ada di sini rupanya,” ibunya datang menghampiri. “Dari mana kendi ini?”
“Aku yang membuat.”
“Benarkah? Bagus sekali!” Pujian pertama yang didengar seumur hidup. “Kau harus terus membuat, Ibu sangat mendukungmu.”
“Terima kasih, Bu!” Dia gembira karena karyanya dinilai bagus. “Pak! Haris ternyata bisa membuat kendi. Ini hasilnya!” Ibunya memperlihatkan pada suaminya.
“Bagus sekali. Teruskan, Nak!”
Ibunya memperlihatkan hasil karya putranya pada orang-orang sekitar rumahnya, orang yang ditemuinya. Dengan cepat kabar tersebut telah diketahui orang-orang di desanya.
“Aku memperlihatkan pada tetangga, mereka bilang bagus. Kalau bisa membuat bermacam-macam barang seperti cobik3, kendi, tempat air, kompor dari tanah liat. Mereka akan membelinya. Sebab harga minyak tanah yang melambung tinggi, membuat mereka ingin menanak menggunakan kompor dari tanah liat, bisa menghemat pengeluaran.”
“Benarkah?” tanya Bapak Haris, ibunya menganggukkan kepala. “Kita harus mendukungnya, Bu!”
Haris meneruskan karyanya membuat kerajinan dari tanah liat. Dia bersemangat untuk membuat berbagai macam kebutuhan rumah tangga lainnya yang dibutuhkan masyarakat.
Hari-hari dilalui dengan berkarya, berkarya, dan berkarya. Tiada hari tanpa membuat kerajinan dari tanah liat. Dia menghasilkan barang bermacam-macam. Awalnya hanya dibeli tetangga sekitar. Tapi para pedagang di pasar tradisional mulai tertarik, sehingga kerajinan-kerajinan yang dibuat, langsung dijemput para pedagang, dia tidak perlu repot-repot memasarkan.
Penghasilan membuat kerajinan dari tanah liat, tidak hanya dinikmati Haris, tapi dinikmati seluruh anggota keluarga. Dia merasa mampu menunjukkan keberadaannya dalam kondisi bagaimanapun. Bahkan dia mulai mensyukuri kertidakberuntungan-ketidakberuntungan yang selama ini dialami, sebab ketidakberuntungan itu yang membawanya mampu berkarya. Dia bersyukur buntung kedua kaki, dengan kelemahannya dia menyadari keberadaan kedua tangan. Dia bersyukur dianggap pembawa beban keluarga, itulah motivasi diri untuk berkarya. Dia berkarya karena ketidakberuntungan.
“Ya Allah! Aku mensyukuri ketidakberuntunganku!”



“Makna Sebuah Nasihat”
Kusairi berdebar-debar hatinya ingin mengungkapkan keinginannya pada Kiai, guru yang setia mengajar berbagai ilmu di pesantren selama sepuluh tahun. Dia ingin berpamitan pulang, sekaligus mohon doa restu untuk melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi.
“Bapak Kiai yang saya hormati. Saya mohon pamit untuk kuliah ke Yogyakarta!” Kiai itu memandang Kusairi secara seksama, Kusairi menunduk segan. Tanpa berkata-kata sepatah katapun, Kiai masuk ke dalam rumah, keluar membawa tumpukan buku.
“Kau bawa buku-buku ini sebagai bekal di tengah-tengah masyarakat. Terapkan ilmu yang telah diperoleh!”
“Saya bukan ingin terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat, namun ingin kuliah, Bapak Kiai!”
“Jika masih ingin mendengarkan nasihatku, pulang ke rumah, dan mengabdilah pada masyarakat! Aku masih ada keperluan lain. Kudoakan kau sukses berkiprah di tengah-tengah masyarakat!” Kiai masuk ke dalam, tidak keluar lagi. Mau tidak mau Kusairi harus pulang. Sejuta tanda tanya bergentayangan dalam imajinasi. Mengapa disuruh pulang? Kenapa disuruh mengabdi di tengah-tengah masyarakat? Apa gunanya buku-buku yang diberikannya? Apa yang akan dilakukannya? Bagaimana bekiprah di tengah-tengah masyarakat dengan keterbatasan ilmu yang dimiliki? Apakah masyarakat akan menerimanya?
“Sudah pamitan pada Kiaimu?” tanya Bapakku sesampainya di rumah.
“Beliau tidak mengizinkanku kuliah, Pak! Aku disuruh langsung terjun ke tengah-tengah masyarakat.”
“Lebih bagus begitu. Keinginanku juga sama.”
“Bapak setuju?” Kusairi merasa bingung mendengarnya.
“Tentu saja. Siapa lagi yang akan mengurus madrasah di desa ini yang mulai ditinggalkan murid-muridnya, sebab guru-gurunya satu persatu pergi meninggalkan desa. Awalnya untuk kuliah, tapi mereka tidak pernah kembali lagi. Sebab kehidupan di kota dianggap lebih menyenangkan dari di desa. Aku khawatir kau seperti mereka. Maka keputusan Kiai agar kau mengabdikan diri di tengah-tengah masyarakat, merupakan keputusan yang tepat.”
“Saya merasa, dalam usia muda harus banyak belajar. Sebagai murid yang paling menonjol di pondok, eman kalau tidak melanjutkan kuliah.”
“Jangan membantah nasihat Kiaimu! Nanti kualat.”
“Saya tidak bermaksud melanggar amanatnya. Saya ingin agar potensiku berkembang lewat bangku kuliah, dengan itu saya bisa menggapai cita-cita menjadi seseorang yang berarti bagi masyarakat luas.”
“Kamu renungkan sendiri, apa yang akan dilakukan. Jika keputusanmu tetap kuliah, aku akan membiayai. Lebih baik mengikuti nasihat beliau, mungkin ada makna tersembunyi di balik itu.”
Kusairi menyendiri dalam kamar, merenungkan apa yang dialami. Nasihat Kiainya benar-benar tidak disangka, dia pikir Kiai yang dianggap telah memahaminya luar dalam, pasti mendukungnya untuk kuliah. Semua teman-teman di pondok memujinya sebagai murid yang pintar dalam masalah pelajaran, pintar menulis, pintar berorganisasi. Kemampuan lebih terasah dengan melanjutkan ke perguruan tinggi.
Pusing berdiam diri di kamar, Kusairi berjalan-jalan ke sekitar desa. Udara sore berhembus pelan, awan membayangi sinar matahari, menyejukkan suasana. Dia terus melangkahkan kaki.
Tanpa sengaja, dia melihat anak-anak bermain-main di madrasah yang tidak terurus. Biasanya mereka sekarang sedang belajar, kenapa bermain-main? Ada sesuatu dalam hatinya yang menggerakkan untuk mendatangi mereka.
“Mengapa tidak belajar?”
“Tidak ada gurunya,” sahut salah seorang murid.
“Sekarang berkumpul semua. Aku akan mengajar di sini,” tanpa sadar keluar kata-kata itu.
“Horeee! Ada guru baru!” anak-anak bergembira menyambut ajakanku, mereka yang awalnya berpencaran, masuk ke dalam madrasah satu persatu. Madrasah itu terdiri dari dua kelas. Di depan kelas ada sebuah musholla sederhana seluas 6X8 meter.
Kusairi mulai mengajarkan mengaji. Anak-anak belajar mengaji secara antusias, sehingga pelajaran hari itu bisa mereka serap. Apalagi metode yang diterapkan cukup efektif membuat mereka cepat bisa mengaji.
“Ustadz guru baru, ya?” tanya seorang anak, Kusairi kaget mendengar pertanyaan yang tiba-tiba. Waktu itu pelajaran telah selesai diberikan.
“Kami berharap Ustadz terus mengajar .”
Kusairi tak tahu harus menjawab apa
“Ya, benar. Cara mengajarnya enak,” sahut yang lain.
“Ustadz harus tetap menjadi guru kami. Benar teman-teman?”
“Benaaar!” Mereka yang hadir berjumlah sepuluh orang, berdiri semua ingin mendengarkan jawabannya.
Kusairi diam tak berkutik; bayang-bayang ingin kuliah lewat, bergantian dengan bayang anak-anak desa yang ingin dibimbingnya. Kedua bayang-bayang bertarung, membuatnya bingung. Anak-anak menunggu jawaban. Dirinya mematung penuh kebingungan. Dalam kebingungan bayangan Kiai muncul sangat kuat, “Kau harus mengabdi di tengah-tengah masyarakat,” nasihat itu muncul kembali menggema di daun telinga.
“Aku akan mengajar di sini,” kembali di luar kesadaran diri keluar kata-kata yang disesalinya.
“Terima kasih, Ustadz!” Mereka menyalaminya satu persatu. Mereka pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan gembira mendapatkan pengajar baru.
Kusairi telah membuat keputusan dalam alam nirsadar, suatu keputusan menyangkut masa depan yang bertentangan dengan keinginannya.
Langkah-langkah yang dijalani, saat pulang ke rumah, dipenuhi berbagai pertimbangan, menyangkut keputusan yang dibuat. Dirinya benar-benar ingin kuliah, tapi dirinya yang lain dalam alam nirsadar telah membuat keputusan untuk mengabdikan hidup di desa. Suatu keputusan yang harus dipertanggung jawabkan, bila tidak anak-anak tidak berdosa menjadi korban.
Keesokan harinya Kusairi mulai mengajar. Dia datang lebih dahulu dari murid-muridnya, sehingga membuat mereka segan. Murid-muridnya berusaha datang lebih dahulu pada hari berbeda.
Hari-hari berlalu dengan cepat, murid-murid yang belajar bertambah banyak. Sampai dua kelas tidak dapat menampung murid.
Dalam pelajaran mengaji, anak yang dianggap bisa, diberi tugas mengajar pada yang lain. Sedang dalam pelajaran tambahan, mereka dikumpulkan di musholla menerima tambahan pelajaran; bahasa Arab, bahasa Inggris, akhlak, fiqih, dan tajwid. Satu hari satu pelajaran. Pada awal merintis madrasah itu hanya masuk sore hari.
Untuk mengatasi bertambahnya murid dan keterbatasan pengajar, suatu hari dia mengumpulkan warga masyarakat sekitar, untuk membicarakan segala permasalahan yang timbul.
“Hadirin yang saya hormati. Berkat doa restu kalian semua, alhamdulilah madrasah ini dapat berkembang pesat. Bahkan kini muridnya dalam satu kelas penuh sesak. Maka diperlukan pemikiran bersama untuk mengatasi ini,” Kusairi memulai pembicaraan dalam pertemuan.
“Maksudmu akan menarik sumbangan dari kami,” tuduh salah seorang penduduk.
“Bukan begitu! Mungkin di antara Bapak ada yang merasa memiliki penghasilan lebih, diharapkan memberikan bantuan pada perluasan madrasah ini. Kalau terlalu berat, yang ringan dan bisa dilakukan segera ialah; saya berniat meminta guru bantu dari pondok tempat saya mengajar. Dia tidak perlu dibayar, dia hanya memerlukan tempat istirahat, jaminan kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan, minum, sabun, dan pakaian sekedarnya. Saya mulai kewalahan menangani murid-murid sendirian.”
“Saya sanggup menanggungnya, lebih dari seorang tak masalah,” haji Sukri berdiri menunjukkan kesanggupan. “Ustadz! Selama ini murid-murid yang belajar di madrasah tidak pernah ditarik iuran, ini sesuatu yang tidak baik. Seharusnya orang tua mereka mengerti, bahwa demi kepintaran anak-anaknya, mereka harus mengeluarkan uang menurut kemampuan masing-masing. Kita saja menyuruh anak kecil membelikan rokok, memberinya uang lelah. Apalagi ini untuk pendidikan anak-anak kita.” Penjelasannya merupakan sumbangan pemikiran yang sangat berarti bagi kelangsungan madrasah.
“Anak-anak kita sekolahkan di sekolah umum saja, kita mau membayar iuran. Saya pikir kita harus setuju,” penduduk yang lain mendukung pendapat haji Sukri.
“Siapa tahu dari iuran itu, bisa untuk membangun ruangan belajar baru,” sahut yang lain.
“Kami setuju asal pembayaran selesai musim panen, karena rata-rata di sini penduduknya bertani.”
“Saya setuju!” Kusairi gembira sekali dengan ide yang berkembang. “Besar kesilnya iuran seikhlasnya, tergantung kemampuan masing-masing.” Hasil rapat lebih dari yang diharapkan, apalagi secara diam-diam, Suparjo seorang pedagang yang sukses, menyerahkan bantuan untuk membangun lokasi baru. Jumlahnya cukup lumayan untuk memulai pembangunan yang sederhana.
Sepulang dari rapat, Kusairi pulang ke rumah. Dia mengambil kaos di lemari lemari, kedua mata menatap tujuh buah buku tebal yang diberikan Kiainya dulu. Dia membuka-buka sebuah buku, dibaca dengan seksama. Aneh! Dia memahami buku-buku itu, padahal belum diajarkan sebelumnya. Buku kitab berbahasa Arab yang tak berharokat atau kitab kuning itu bisa dia cerna. Dia memang telah menguasai bahasa Arab, dan diajari beberapa kitab, tapi kitab yang ada di hadapannya, bukan kitab yang dipelajarinya dulu.
Kusairi bisa belajar kembali, tanpa harus kuliah. Dia tidak hanya mengalami kemudahan dalam mempelajari kitab kuning, juga kemudahan mempelajari buku-buku keislaman, dia bisa memahami tanpa kesulitan. Sehingga waktu-waktu kosong dimanfaatkan untuk membaca buku. Belajar berbagai macam ilmu guna menambah wawasan, menambah pengetahuan, dan menambah bijak dalam memutuskan suatu masalah. Dia bisa belajar, sambil mengabdikan diri di tengah-tengah masyarakat.
Perkembangan madrasah berlangsung cepat, dalam dua tahun dua bangunan tambahan selesai dibangun. Setiap tahun mendapatkan guru bantu dari pondok lamanya. Masyarakat secara swadaya membuatkan bangunan khusus bagi dirinya, dan guru-guru yang lain. Sehingga dia bisa menetap di madrasah mencurahkan seluruh pikiran untuk mereka.
Kini kelas di buka mulai pagi untuk menampung anak-anak yang ingin bersekolah seperti sekolah formal. Mengenai urusan admisnitrasi diurus ke departemen agama setempat.
Dari madrasah TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), berkembang menjajadi madrasah Diniyah, Tsanawiyah dan Aliyah sesuai kebutuhan masyarakat, dalam beberapa tahun kemudian.
Murid-murid berdatangan dari mana-mana, tidak hanya desa sekitar, juga berasal dari kota, dan daerah lain. Dengan ketekunan, ketaletanan, kerja keras, kesungguh-sungguhan, madrasah berkembang menjadi pondok pesantren yang mengajarkan santrinya untuk menetap di pondok, ada yang nyolok -datang ke madrasah saat belajar saja, selesai belajar pulang kembali ke rumah-.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun, berdiri kokoh sebuah pesantren baru, bernama Al-Ikhtiyar. Pesantren yang dirintis Kusairi dari nol, berkembang pesat, melebihi yang dibayangkan sebelumnya. Menjelang tidur malam, dia teringat nasihat Kiainya kembali. Dia berusaha menerawang segala peristiwa yang dialami selama ini dan menghubungkan dengan nasihat kianya dulu, kini dia merasa memahami, meresapi, mandapatkan makna di balik nasihat itu. Makna yang dalam, baru dirasakan setelah perjalanan waktu yang lumayan lama, dalam suatu tindakan nyata.

Pengabdi Pada Kehidupan
Pagi yang cerah, sinar matahari menerobos di antara dedaunan, awan tak tampak bergelantung di angkasa, angin berhembus sepoi-sepoi membelai yang ada di hadapannya. Ahmad melangkah keluar rumah menuju dua ekor kuda di kandang.
“Heeek heeek heeek!” ringkikan kuda menyambut kedatangannya, seperti pagi-pagi sebelumnya. Ahmad membelai kepala kuda penuh kasih sayang, bergantian satu persatu. Banyak hal yang diungkapkan dalam belaian itu. Dari sanalah kontak batinnya dengan kuda berlangsung. Kuda yang dibelai mengendus sambil menjulurkan lidah sebagai ucapan terima kasih atas usapan majikannya.
Ahmad menatap mata kedua ekor kuda lekat-lekat, terlihat pancaran yang kuat, seakan-akan mengajaknya memulai pekerjaan. Dia tersenyum. Senyum yang melukiskan sejuta makna. Senyum memberi tanda ungkapan yang tak terungkap. Senyum memancarkan rentetan peristiwa yang mereka lalui bertiga guna mengarungi kehidupan yang tak kenal kompromi.
“Kulihat di antara saudara-saudaramu yang lain, kau paling rajin membantu Bapak. Huk huk huk!” Bapak Ahmad batuk-batuk. ”Kuharap kau bisa meneruskan usahaku ini!”
“Tapi…?” Ahmad hendak membantah, dipotong batuk Bapaknya yang bertambah parah. Tiada beberapa lama, sang maut benar-benar menjemput roh Bapaknya menuju Allah.
Ahmad mengerti bahwa dirinya tidak bisa membantah wasiat terakhir Bapaknya. Dalam usia 17 tahun dia dipaksa memegang tanggung jawab keluarga. Siapa lagi yang bisa meneruskan usaha Bapaknya; kakak tertua sekolah SMU hampir selesai, dua orang adiknya masih SMP, seorang lagi baru kelas lima SD, dan yang bungsu sekolah di TK. Dari mana biaya sekolah kalau bukan menarik dokar. Jika usaha dihentikan akan berantakan pendidikan mereka, harus ada yang berani menerima tanggung jawab.
Hasil yang diperoleh Ahmad pada hari pertama lumayan besar. Ada kebanggaan tersendiri menyetorkan uang hasil kerja keras sendiri pada ibunya. Ahmad menjalani rutinitas baru yang dijalaninya, menjadi penarik dokar.
“Mad, kau suka pekerjaan ini?”
“Suka sekali, Bu!”
“Apa jawabanmu cuman ingin menyenangkan Ibu?”
“Tidak! Aku benar-benar menikmatinya. Memang awalnya merasa terpaksa, lama-kelamaan aku menyukainya. Apalagi dua ekor kuda mulai mengerti aba-abaku, penghasilan yang kuperoleh juga cukup lumayan. Aku senang sekali,” Ahmad tersenyum.
“Kau anak berbakti, Mad!” Dengan butiran air mata haru, ibunya memeluk erat, mengungkapkan berbagai perasaan yang berkecamuk di dada. Kata-kata ibunya memperkuat semangatnya untuk makin giat bekerja. Pagi-pagi buta dia berangkat ke pasar, mengangkut sayur-sayuran, mengantar pelanggan yang lain, mencari penumpang sampai matahari terbenam di ufuk Barat.
Pelanggannya perlahan-lahan bertambah banyak, karena dia tepat waktu memberikan pelayanan yang baik, murah senyum, menarik ongkos tanpa berusaha menekan penumpangnya.
Pekerjaan menarik dokar ditekuni Ahmad dengan gigih. Kakak tertua hampir menyelesaikan kuliah di IKIP Malang, adik-adiknya bisa melanjutkan sekolah tanpa kendala biaya. Dia merasa hasil jerih payah terwujud jelas dalam bentuk kesuksesan pendidikan saudara-saudaranya. Memang tidak semua biaya kuliah kakaknya dari penghasilan menarik dokar, dia mampu kuliah sambil bekerja. Dokarnya turut berjasa menghantarkan ke bangku kuliah.
Kerja keras yang dilakukan, menjadikannya lebih tua dari usia yang sebenarnya. Dalam pertemuan keluarga pada waktu idul fitri, dia kelihatan lebih tua dari kakaknya. Pekerjaan itu benar-benar menguras seluruh energinya.
Mereka bertiga terus dipacu waktu. Bekerja setiap hari, merasakan suka duka bersama. Kadang dia makan dekat kedua kudanya, dua ekor kuda semakin lahap menyantap rumput, diapun bertambah lahap.
Ikatan yang tak terpisahkan di antara mereka semakin kuat. Pernah suatu saat, dia jatuh sakit, dua ekor kudanya ikut terbaring di kandang, menunjukkan seakan-akan turut merasakan rasa sakit. Rumput di kandang tidak disentuh. Terpaksa Ahmad keluar mendekatinya, untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak apa-apa. walau tubuh terasa sakit.
Anehnya dua ekor kuda itu mau bangun berdiri, Ahmad membelainya sebagai ungkapan perasaan kasih sayang. Barulah rumput disantap dengan lahap. Pada saat bersamaan rasa sakit di sekujur tubuh seperti tidak terasa lagi. Dia sembuh dari sakit. Suatu hubungan bukan sekedar antara dua ekor kuda dengan tuannya, namun antara dua naluri berbeda yang saling merasakan, saling mengisi, saling memperhatikan.
Keakraban yang menimbulkan penilaian minor di tengah-tengah masyarakat, bahwa dirinya tidak kawin-kawin karena jatuh cinta pada kudanya. Dia tidak peduli pada ungkapan itu, yang penting mereka bertiga merasa tak terpisahkan. Disatukan nasib yang sama yakni bekerja keras demi kelangsungan keluarga.
Putaran waktu berlansung cepat, secepat bayangan berkelebat di pelupuk mata. Tanpa terasa kakak tertua telah bekerja menjadi guru SMP, adiknya ada yang menjadi kontraktor, ada yang menjadi tokoh masyarakat, ada yang menjadi suster, dan yang bungsu masih kuliah. Buah hasil kerja yang harmonis antara dirinya dengan dua ekor kuda, suatu proses waktu yang lama dan melelahkan, dijalani penuh ketegaran.
“Sssst!” jilatan lidah kudanya, membangunkan Ahmad dari lamunan panjang. Dia mempersiapkan semuanya untuk menarik dokar kembali. Banyaknya angkutan baru membuat penghasilannya menurun, tapi dia tetap menekuni pekerjaannya.
Saudara-saudaranya menyuruh Ahmad berhenti menarik dokar, kebutuhan hidupnya akan dibantu mereka, sebagai balas jasa. Dia tidak pernah mengindahkan tawaran itu. Menarik dokar bukan hanya sarana mencari penghasilan, melainkan jalan dan tujuan hidupnya.
Peristiwa di masa lalu baginya, menyimpan sejuta makna yang selalu mampu melahirkan senyum menghadapi bermacam-macam masalah, termasuk tidak laku-lakunya dia untuk kawin, meski sudah dilangkahi tiga orang adiknya. Wanita mana yang mau kawin dengan laki-laki yang hanya tahu mengurus kuda?
Setiap manusia memang memiliki nafsu biologis, semenjak Ahmad merasa bersatu dengan dua ekor kudanya, nafsu itu tidak meletup-letup lagi. Kesibukan yang dijalani, membuatnya tak peduli pada nafsu birahinya. Melihat dua ekor kuda sehat walafiat, dirinya senang tiada terkira, untuk apa mencari kesenangan dengan pelampiasan nafsu, yang terkadang melahirkan kebahagiaan semu.
Dengan tenang, Ahmad mulai menarik dokarnya berjalan di jalanan beraspal. Seorang penumpang menyetop dokarnya, dia berhenti. Menumpang naik ke atas dokar, dia menjalankan dokat untuk mengantar sampai ke tujuan. Baru berjalan beberapa langkah, sebuah Pick Up berusaha melewati Truk gandengan, tanpa memperhatikan keberadaan dokarnya. Melihat kemunculannya yang tiba-tiba, dia kaget, penumpang menjerit, dan benturan dasyat tak bisa dihindarkan.
“Duaaaar!” benturan keras terjadi.
Tubuh Ahmad melayang di udara hinggap di atas dua kuda yang terkapar, disambut mobil berkecepatan tinggi dari belakang, mereka terlempar. Darah menetes di mana-mana. Potongan daging berserakan, baik yang berasal dari tubuhnya atau tubuh dua ekor kuda. Penumpang lebih beruntung, saat benturan pertama langsung terlempar ke sawah, tangannya saja yang patah.
Ajaib! Ahmad tidak merasakan apa-apa. Dia merasa terbang bersama dua ekor kuda yang luar biasa bagus, menuju angkasa, terbang tinggi. Ketika menoleh ke bawah dilihatnya jasad kasarnya berlumuran darah, kaki terlempar ke sawah, dan tubuhnya berceceran dimana-mana. Demikian pula nasib dua ekor kuda.
“Kita mau ke mana?”
“Kalian yang berbicara?”
“Tentu saja!” Dia kaget melihat dua ekor kudanya bisa berbicara.
“Subhanallah!” Hanya kata-kata itu yang terlontar. Dari kejauhan sebuah kereta bermahligai emas datang menghampiri membawa sepuluh orang bidadari berwajah cantik nan rupayan yang tak pernah disaksikan sebelumnya.
Ahmad melihat ke bawah sekali lagi; iring-iringan pengantar jenasah ke kuburan sangat panjang, kurang lebih satu kilo meter orang-orang yang mengantar, itulah jarak dari ujung jalan sampai ke kuburan. Dia tidak pernah melihat penguburan demikian panjang. Iring-iringan yang mengantar jenazah salah seorang tokoh masyarakat di kampungnya, tidak sampai sepanjang itu.
Hujan gerimis yang mengiringi prosesi penguburan menjadikan suasana bertambah sahdu. Dalam iring-iringan nampak kelompok guru, Kiai, pekerja, suster, mahasiswa, orang-orang yang pernah menggunakan jasa dokarnya, dan masyarakat sekitar.
Mereka berduka cita demi seseorang yang kerjanya hanya menarik dokar, seseorang yang menyerahkan seluruh hidupnya bagi keluarga, seorang penarik dokar yang setia pada pekerjaannya sampai mati. Dalam kehidupan di dunia yang merupakan persinggahan roh sementara waktu, dia tidak menikmati segala bentuk kesenangan yang ditawarkan. Dia memilih mengorbankan seluruh hidupnya untuk sebuah pengabdian.
Seseorang yang mengorbankan seluruh hidupnya demi kepentingan keluarga akan masuk sorga dan menggapai kebahagiaan secara sempurna, itulah ajaran yang diperolehnya dari guru ngajinya. Dia merasa telah mencapai semua itu.
Kebahagian yang bertambah sempurna manakala bidadari datang menghampiri, mengiringi dalam kereta yang sama, dia merasa memiliki dunia dan seluruh isinya. Tidak pernah dia merasa kebahagian yang sangat luar biasa, untaian segala macam bahasa tak mempu melukiskan apa yang dirasakan. Inikah kebahagiaan tertinggi yang ingin dicapai manusia?

“Merpatiii! Maafkan Aku!”
Matahari bersinar terang, menerobos celah-celah, menerangi bumi. Tahun silih berganti, terik matahari bertambah panas. Bumi yang didiami berbagai makhluk semakin tidak nyaman didiami para penghuninya.
Tidak setiap orang dirugikan terik panas matahari, ada saja yang mampu mengambil keuntungan. Mengambil keuntungan dari berbagai situasi menjadi watak dasar manusia.
Panas bumi yang menyengat, meningkatkan semangat Anto untuk berangkat ke lokasi anduan4 merpati. Malah terik matahari merupakan prasyarat utama dilaksanakannya masa latihan, latihan dalam terik matahari membuat kecepatan terbang burung lebih teruji. Ini masih didukung pematang sawah yang terbuka, pohon-pohon nyiur teratur rapi di pinggir sawah, udara yang berhembus pelan, menyempurnakan masa latihan.
Tarup yang berprofesi sebagai pelepas merpati dengan imbalan tertentu, berlari kecil di antara pematang sawah, butiran keringat di dahi, deru nafas yang turun naik, mempercepat larinya ke tempat yang ditentukan untuk melepaskan merpati. Awalnya dalam jarak dekat, bertambah jauh, sampai pada jarak standar dari anduan merpati.
Burung terbang ke langit, menerobos angin berhembus, mengepakkan sayap-sayap menuju betina yang dikibas-kibaskan untuk menarik perhatian. Betina yang dicengkram perutnya atau di antara dua sayapnya melambai memanggil, satu dua bulu lepas dari tubuhnya. Burung terbang tinggi di atas pohon nyiur, matanya melihat lambaian betina, berkelebat mendekati. Dalam jarak tiga meter, burung masuk, hinggap di atas betina. Hal itu dilakukan berulang-ulang sampai dianggap cukup.
Merpati yang diberi nama Joko Tole berhasil merajai arena anduan keesokan hari. Setiap anduan melawan merpati lain, Anto mempertaruhkan sejumlah uang yang berasal dari saku sendiri, atau dikumpulkan dari sesama temannya, dengan syarat hasil dibagi rata. Tantangan dari berbagai macam merpati dilayani, dengan hasil sama, kemenangan selalu di tangan. Makna kemenangan berbentuk kebanggaan, gengsi, dan sejumlah uang di saku hasil dari taruhan. Inilah motivasi utama anduan merpati.
Melihat hasil yang memuaskan, bersama-sama sejumlah temannya dia melanglang buana ke berbagai lokasi anduan merpati. Mulai Maesan, Situbondo, Jember, Besuki, Banyuwangi, Probolinggo, Pamekasan, Sumenep, Malang, sampai Surabaya. Memang tidak dalam setiap lawatannya kemenangan diraih, terkadang kalah juga. Kemenangan dan kekalahan di mata para pejudi adalah suatu kewajaran yang tidak perlu diambil pusing. Menang dan kalah adalah bagian tak terpisahkan dari perjudian.
Ketika memenangkan lomba anduan merpati tingkat Nasional di Malang, popularitasnya tak terbendung, harga jualpun bertambah mahal. Malah ada yang memberikan kunci mobil untuk ditukar dengan merpatinya. Tentu dia tidak mau, sebab uang hasil dari taruhan dalam waktu yang relatif singkat akan menyamai harga sebuah mobil.
Perhatian yang luar biasa pada anduan memperpati, membuat Anto terlena, dia lupa memperhatikan fisiknya. Dia jatuh sakit.
Keadaannya menyedihkan; muka pucat, sekujur tubuh gemetar, tubuh terasa lemas. Bayang-bayang merpatinya kerap menyelimuti angan-angan, menghadirkan mimpi dalam tidurnya. Seandainya tidak jatuh sakit, mungkin dia akan kaya dengan cepat dari merpati kesayangannya. Kekayaan di depan mata bagai lenyap di telan bumi dimakan penyakit yang diderita, angan-angan yang memperburuk kondisinya.
“Huuuh! Huuuh! Huuuh!” keluh Anto. Dia dibawa ke Puskemas terdekat, malah direkomendasikan untuk dibawa ke spesialis penyakit dalam. Mau tidak mau harus diperiksa dokter spesialis penyakit dalam. Setelah lewat pemeriksaan yang teliti pada tubuh, darah dan kencingnya, dia divonis terserang penyakit komplikasi. Dia dituntut istirahat sampai sembuh. Dalam kondisi sakit, dia masih sempat berpesan untuk menitipkan merpati pada salah seorang kerabatnya yang ahli merawat merpati, merpati yang tidak dirawat akan rusak.
Tidak cukup pengobatan dokter, pengobatan lewat dukun dan paranormal juga dijalani. Biasanya diberi segelas air, sebagian disemburkan ke tubuhnya, sebagian diminum, untuk menghilangkan penyakit dari luar.
Banyak dukun dan paranormal yang dihubungi, analisa mereka berbeda-beda; ada yang bilang diguna-gunain musuh anduan merpati, ada yang bilang diguna-gunain tetangga yang benci, ada yang bilang diguna-gunain sahabat sendiri. Ini membuat kondisi jiwa bertambah goncang, bagaimana mungkin semua orang terdekat bisa memusuhinya. Beban yang memperparah proses penyembuhan.
Lewat perawatan selama sebulan, penyakitnya sembuh total. Berbekal tubuh yang sehat, kegiatan anduan merpati bisa dilaksanakan kembali. Tanpa disangka merpati yang diasuh kerabatnya malah bertambah cepat. Imbal baliknya, jika laku terjual, kerabatnya mendapatkan sebagian hasil penjualan.
Anto menyibukkan diri dalam anduan kembali. Tak ingat saat terbujur kaku di rumah sakit, tak ingat saat tubuh gemetar menahan demam, tak ingat tubuh lemas tak berdaya, tak ingat derita yang dialami sebelumnya. Semua ingatan masa lalu hilang, berganti rasa senang bisa melaksanakan anduan yang bisa menghasilkan sejumlah uang..
Perjalanan waktu berlangsung cepat. Anto lupa diri dengan kesibukan anduan, tidak mempedulikan kesehatan tubuhnya, tidak mempedulikan pantangan-pantangan dari dokter, tidak mempedulikan apapun kecuali anduan merpati. Penyakitnya kambuh. Dia terbaring tak berdaya di rumah sakit.
Pandangan mata Anto menerawang entah ke mana. Kini keadaannya lebih parah dari sebelumnya, sebab ditambah penyakit sesak nafas. Beberapa kali dia merasa tak mampu bernafas, sehingga kondisinya benar-benar kritis. Pada saat koma dia sempat berwasiat pada keluarganya.
“Ka…lau a…ku ma…ti, jual saja merpatiku!” Rasa putus asa terhadap penyakit yang diderita mulai menghinggapinya. Hujan tangis dari sanak keluarga memenuhi ruangan rumah sakit, suasana mencekam. Dokter dipanggil. Dokter datang dengan tergopoh-gopoh, langsung memeriksanya. Salah seorang perawat menyuruh yang ada di dalam ruangan untuk keluar.
Setelah memperoleh perawatan intensif, masa koma bisa diatasi. Berakhirnya masa koma, membuat keadaannya perlahan-lahan membaik beberapa hari kemudian.
“Kau ingin sembuh total dari penyakit ini?” tanya salah seorang saudaranya yang menjadi tokoh masyarakat.
“Siapa yang tidak ingin sembuh?”
“Hentikan anduan merpati!”
“Ti…dak bi....sa, anduan merpati sudah menjadi jalan hidupku.”
“Kalau begitu, kau harus menerima penyakit ini menerpamu terus menerus.”
“Apa kaitannya antara penyakitku dengan anduan merpati?”
“Dalam anduan merpati, kau menyiksa sepasang merpati sedemikian rupa. Siksaan yang akan berbuah balasan di akhirat nanti, bisa jadi mendapatkan karma di dunia. Seperti yang dialamimu sekarang, menderita sakit terus menerus. Coba kau renungkan dengan hati jernih! Begitu kau aktif anduan merpati sakit kambuh, tiada beberapa lama menikmati kesembuhan kau asyik anduan lagi, penyakitmu kembali kambuh. Bukankah itu merupakan kaitan yang jelas antara penyakit dengan anduan merpati.” Anto tercenung beberapa saat memikirkan perkataan saudaranya yang bijak. Mungkinkah penyakit ini berasal dari anduan merpati? Ini harus dibuktikan.
“Allah! Allah! Allah!” Dalam suasana sunyi di rumah sakit, dia ingat pada Allah, yang tak pernah diingat sebelumnya. Mungkin karena mengingatNYA, yang disertai sikap tawakkal; hati menjadi lega, pikiran menjadi tenang, perasaan menjadi tentram, suatu hal yang positif untuk membantu kesembuhan penyakit.
Kesehatan Anto pulih seperti sedia kala. Untuk membuktikan kaitan penyakit dengan anduan merpati, dia berusaha menghentikannya. Sepasang merpatinya dijual.
Pagi yang cerah dia berjalan-jalan ke sawah yang luas, menghirup udara segar, menikmati indahnya pemandangan. Melihat hamparan sawah, kerinduan pada anduan merpati muncul.
Sore hari, dia merasa jenuh di rumah, nonton televisi, tidur, suatu pekerjaan yang membosankan, maka dia memutuskan menonton anduan. Awalnya dia menonton di pinggir arena, lama kelamaan ikut taruhan sedikit-sedikit, ternyata dia sering menang dibanding kalah. Ini memenimbulkan ketertarikan dalam dirinya, ketertarikan yang membimbingnya untuk membeli merpati seharga satu juta rupiah. Dia merawat dengan telaten dan penuh kesabaran.
Hari-hari yang dilalui seperti terang menderang, manakala melakukan anduan merpati. Entah mengapa, kesenangannya ini tidak dapat digantikan dengan kesenangan apapun yang ada di muka bumi, kesenangan yang mampu menghasilkan sejumlah uang.
Ketidakberdayaan membendung kesenangan, menjadikannnya lupa semua penderitaan sebelumnya. Manusia cendrung memilih kesenangan sesaat dibanding sesuatu yang berarti bagi masa depan. Kesenangan yang merupakan pemuasan nafsu, mengalahkan akal sehat, mengalahkan pertimbangan-pertimbangan etika, mengalahkan suara hati nurani. Kini tak ada lagi yang bisa menghentikannya anduan merpati.
Malam gelap gulita, tak ada gemerlap bintang, tak ada kilauan sinar rembulan, tak ada sebintik cahaya. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah kegelapan. Kegelapan nyata yang tak pernah ditemui. Dia merasa berada di tempat asing, yang belum pernah dialaminya. Dunia kegelapan, kesunyian dan kehampaan.
Ketika menoleh ke kiri, Anto tidak sendiri, bersama seorang teman yang sangat dikenalnya pada waktu yang lalu. Sebuah tangan raksasa meraih tubu keduanya. Mereja diangkat ke angkasa bersama-sama, rasa takut dan ngeri bercampur aduk. Kedua tubuh tak berdaya dilempar jauh-jauh. Jatuh ke tanah tak berujung. Rasa sakit akibat terjatuh belum hilang, tubuh mereka berdiri, lantas berlari sekencang-kencangnya menuju raksasa yang mengibas-ngibaskan dua orang wanita di tangannya yang besar. Mereka semakin dekat, dilihatnya istri mereka yang merintih kesakitan dalam tangan raksasa. Tapi Mereka tak mampu menolong, sebab mereka sibuk berlari untuk menggapainya.
Anto hendak istirahat. Aneh! tubuhnya terus bergerak di luar kendali. Akal dan jiwanya mengikuti gerakan tubuh, akal tak kuasa mengubah yang sedang terjadi. Dalam hati dia bertanya, dimanakah akal jeniusnya yang mampu mengakali segala sesuatu? Mana kuasa jiwa terhadap badan? Siapakah yang sedang berkuasa sekarang?
Tubuh yang terus bergerak tiada henti, mulai merasa kesakitan, kelelahan, kepenatan tak terhingga. Jarak yang ditempuh untuk mencapai istri mereka seperti fatamorgana air di padang pasir.
Rasa lelah, penat, letih, sakit mencapai ambang batas, mereka berdua baru sampai di depan istri masing-masing. Mereka saling berangkulan sesaat, kedua tangan raksasa menarik kedua wanita itu, meletakkannya di dalam kurungan dari besi. Tubuh mereka dilemparkan kembali, lemparan yang jauh sekali.
Mereka berlari adu cepat kembali, kadang bersenggolan, sikut-sikutan, saling pukul, saling cakar. Kejadian yang sama terus berlangsung, walau kegelapan berganti berganti terik matahari yang berjarak sangat dekat. Peluh bercucuran seperti gerimis hujan membasahi tanah yang tak pernah basah. Begitu air peluh jatuh, langsung ditelannya. Mereka laksana dipanggang di atas tumpukan kayu yang membara, tersiksa sekali. Mereka merasa tidak sanggup menjalaninya.
Anto benar-benar tak berdaya, tersiksa, menderita, lelah, letih, capek, dan lemas. Tapi tubuhnya tak pernah mau berhenti. Terus berlari, berlari, dan berlari menuju raksasa, begitu sampai dilempar sejauh-jauhnya.
Anto ingin memperontak, tak ada yang bisa memberontak. Dia ingin berhenti, tak ada yang bisa menghentikan, dia ingin minum air, tak ada yang bisa diminum, dia ingin makan, tak ada yang bisa dimakan. Entah kenapa penderitaan yang dasyat ini menderanya.
Mendadak sebuah ingatan berkelebat dalam imajinasi. “Merpatiiii! Maafkan aku!” Ajaib dia terbangun dari tidur panjang penuh derita. Kedua mata dibuka perlahan-lahan, dia melihat orang-orang berkerumun, mereka menangis sesungukan, karena rasa haru yang tak tertahankan lagi. Istri, saudara dan tiga anaknya memeluk erat, seakan-akan tidak ingin dilepaskan.
“Bapak telah tiga hari tidak sadarkan diri!” ujar putra sulungnya, keadaan berangsur tenang kembali. “Lihat kasur yang basah, selimut basah yang hampir setiap beberapa jam diganti. Tubuh Bapak bergerak-gerak membingungkan kami, debar jantung bergerak cepat, sekujur tubuh gemetar. Kami cemas Bapak diguna-gunain orang. Segala macam orang pintar dipanggil, tidak ada yang sanggup menyembuhkan. Segala macam dokter dihubungi, tidak ada yang bisa menyembuhkan. Syukurlah! Bapak sadar begitu terdengar; Merpatiii! Maafkan aku!”
“Oooh! Begitu,” sahut Anto pendek. Dia berdiri, orang-orang kaget melihat hal itu. Banyak yang menyuruhnya duduk agar bisa istirahat. Dia tidak mengubris mereka, dia melanjutkan langkahnya dengan tertatih-tatih menuju kandang merpati di belakang rumah, orang-orang yang hadir mengikuti. Dengan penuh keyakinan dia membuka pintu kadang, digenggam erat sepasang merpati yang berharga mahal, dicium penuh perasaan, dilepaskan ke angkasa. Sepasang merpati terbang bebas membelah angkasa, meninggalkannya yang berdiri terpaku, di bawah tatapan orang-orang yang saling bertatapan penuh kebingungan.
Wonosari, 10 desember 2004



“Melawan Adat Istiadat”
“Pada acara walimahan kali ini, Sueb menyerahkan uang Rp. 5.000,-, seharusnya dia membalas dengan Rp. 20.000,-.”
“Hanya itu yang kupunya, tak ada yang lain,” ujarku dalam hati. Dalam adat istiadat masyarakat desa Savana tempatku tinggal, segala sesuatu yang disumbangkan untuk acara perkawinan, khitanan, kehamilan, kelahiran, kematian, dan acara lainnya, dicatat dengan baik. Sebab yang punya hajat atau acara akan membalas sumbangan itu dengan jenis barang atau jumlah uang yang sama manakala orang yang menyumbang mengadakan acara juga, bila tidak sama akan diumumkan lewat pengeras suara.
“Sueb biasanya menyumbangkan sepuluh ikat kelapa dalam resepsi perkawinan ini. Mengapa sekarang menyerahkan 10 batang?”
“Sawahku yang sepetak telah dijual, padahal itulah sarana menghidupi keluarga selama ini. Tolong pahami jika sekarang aku cuman menyerahkan sepuluh batang saja,” aku berani berkata-kata dalam hati, mulutku tak mampu mengeluarkan kata-kata.
Aku berupaya menutup telinga dengan kapas agar tidak mendengarkan hal-hal yang tidak diinginkan. Itu berfungsi untuk sementara waktu, satu pengumuman selesai, pengumuman lain akan bermunculan, tuntutan tidak berhenti sampai di sana.
“Bagaimna kamu Sueb? Membalas sumbangan tidak sama,” tegur Fadli.
“Aku telah berupaya membalas yang sama, namun aku tidak sanggup. Mau apa lagi,” aku berusaha membela diri.
“Apa saja yang kamu lakukan untuk itu?”
“Seluruh perabotan rumah tangga yang bisa dijual telah habis. Saya menganggur sampai sekarang. Dalam krisis yang tak kenal ujung seperti ini, apa yang bisa kulakukan? Ayo jawab!”
“Bukankah kau bisa meminjam?” Fadli balik bertanya.
“Siapa yang sudi meminjamkan uang padaku? Di desa ini tidak ada yang mempercayaiku lagi. Jangankan orang lain, famili-familiku saja tidak sudi meminjamkan uang padaku, karena tidak pernah sanggup mengembalikan.”
“Apapun masalahnya kamu harus membalas yang serupa,” tanpa permisi Fadli melangkah pergi, meninggalkanku yang termangu sendirian. Keesokan hari muncul orang yang akan melaksanakan resepsi pernikahan di lain tempat. Bulan ini memang musim kawin, tidak heran hampir setiap hari ada orang yang kawin. Berarti beban pengeluaran bertambah besar.
Dalam kehidupan rumah tangga di desa, memenuhi kebutuhan sehari-hari bisa dihemat sedemikian rupa, tidak dengan kebutuhan-kebutuhan membalas sumbangan masyarakat dalam berbagai acara, dituntut menyediakan dana yang sesuai dengan yang diterima. Mulai acara perkawinan, kandungan, kelahiran, khitanan, sampai kematian, adalah pengeluaran yang sering lebih mencekik dari sekedar memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.
“Anakku akan sunnatan tiga hari lagi. Ini undangannya!” Hari datang menyerahkan sepucuk surat padaku. Aku menerima surat undangan dengan pandangan hampa. Waktu itu keluarga tersebut menyumbang seekor kambing dalam sunnatan anaknya, berarti dia harus mempersiapkan seekor kambing pula.
“Aku mungkin tidak sanggup membalas persis sama seperti yang kuterima. Aku tidak memiliki apa-apa lagi.”
“Jangan bergurau!” Hari menganggap perkataanku sebagai guyonan.
“Aku serius. Atau aku membalas dengan cara yang lain?”
“Maksudmu?”
“Aku bisa bekerja di tempatmu selama sebulan tanpa menerima gaji, hitung-hitung sebagai konpensasi.”
“Cara yang aneh. Tidak bisa itu! Pokoknya kambing dibalas kambing. Itulah adat istiadat dalam desa kita.”
“Dalam keadaan darurat menurut hukum agama, bangkai boleh dimakan. Masa kita tidak bisa mengubah adat ini?”
“Ngawur kamu! Tidak sanggup membalas yang setimpal, malah mau mengubah adat istiadat. Itu merupakan penghinaan terhadap adat istiadat nenek moyang. Dasar orang tak tahu diri!” maki Hari. Aku berusaha bersabar menerima hal itu.
Hari-hari berikutnya kulalui dengan tuntutan bermacam-macam dari orang-orang yang pernah memberikan bantuan untuk kelauargaku. Adat istiadat menetapkan tak tertulis yang wajib dipatuhi; seseorang yang telah menyumbangkan sesuatu dibalas dengan yang serupa. Bila tidak terpenuhi, akan dipermalukan di depan umum lewat pengumuman, atau diminta paksa, apapun keadannya.
Ketika menerima sumbangan, aku tidak mengkhawatirkan hal ini bakal terjadi. Aku masih memiliki sepetak sawah. Di luar dugaan, hutang yang menumpuk, berbagai kebutuhan keluarga, dan memenuhi kebutuhan mendadak yang diluar dugaan, sedang pekerjaan lain tidak kunjung didapat, membuatku terpaksa menjual barang-barang yang dimiliki. Mulai tape radio, televisi, piring, sendok, lemari, kursi dan terakhir sepetak sawah ikut terjual.
Keadaanku yang menggetirkan selayaknya mendatangkan pengertian masyarakat, sayangnya mereka tidak mau mengerti. Mereka tetap memaksa membalas yang serupa. Kenapa dalam undang-undang adat istiadat yang tidak tertulis tidak disebutkan, jika keadaan tidak punya, boleh menunda atau memaklumi tanpa paksaan? Mengapa tidak ada yang berupaya berubah adat ini? Apa merubah adat sama sulitnya dengan merubah norma agama? Bagi sebagian orang adat istiadat, tidak peduli baik atau jelek, dianggap sama dengan norma agama, padahal banyak adat yang bertentengan dengan nilai-nilai agama. Malah atas nama agama, ada yang mengesahkan adat sebagai kewajiban beragama.
Orang yang dianggap menjadi tokoh masyarakat, tidak mempedulikan hal ini. Mereka sibuk menjadi anggota Dewan yang memperjuangkan kepentingannya. Mereka sibuk melayani masyarakat yang sowan kepadanya dengan sejumlah uang. Mereka sibuk mendapatkan proyek-proyek yang menggemukkan diri. Mana ada waktu mengurus adat istiadat. Apalagi adat yang ada dianggap memberikan efek menguntungkan pada dirinya, maka akan dijustivikasi dengan bermacam-macam cara.
“Kamu ini mempermalukan keluarga kita,” tegur istriku penuh amarah.
“Ya, benar!” anakku mendukung.
“Menjadi laki-laki tidak bertanggung jawab, tidak hanya pada istri, juga melalaikan tanggung jawab pada masyarakat,” mertuaku membuatku semakin terpojok.
“Bu, sebaiknya aku pulang ke rumah membawa anakku. Boleh kan, Bu!” usul istriku.
“Tentu boleh!”
Aku yang semenjak tadi diam seribu bahasa, menatap mereka dengan tatapan hampa. Aku tidak bisa mencegah kepulangan mereka ke rumah mertuaku. Ini merupakan penghinaan yang besar sebagai lelaki yang dianggap tidak sanggup menghidupi keluarga.
Aku duduk di pojok ruangan, mata sayu memandangi sawang-sawang di atap rumah yang mulai penuh. Rumah gedek seluas 4x6 meter itu terasa menyempit, sesempit pandangan orang terhadap diriku.
Dalam menghadapi masalah yang bertubi-tubi, semua orang menjauh dariku. Tidak ada seorangpun yang mengulurkan tangan. Bahkan istri dan anakku yang seharusnya menemani, ikut pergi meninggalkanku, padahal untuk merekalah selama ini aku bekerja pontang-panting, memeras keringat, memutar otak, hutang di sana-sini, dan membahagiakan mereka dengan kemampuan yang ada. Aku benar-benar dalam ketidakberdayaan. Aku terjebak dalam kesunyian, kesedihan, kepedihan, penderitaan, nestapa seorang diri.
“Aku bisa menjual rumah ini,” ujarku dalam hati. “Bagaimana dengan anakku? Tidak ada yang tersisa baginya nanti. Tidak! Aku tidak boleh menjualnya.” Dia memeras otak guna mendapatkan jalan keluar yang terbaik. Setiap pintu jalan keluar tertutup rapat, tidak ada celah yang bisa dibuka.
“Sueb tidak membalas sumbangan tujuh bulanan.”
“Sueb tidak membalas sumbangan walimahan.”
“Sueb tidak membalas sumbangan khitanan.”
“Sueb tidak membalas sumbangan kematian.”
“Sueb tidak membalas sumbangan Kelahiran.”
“Sueb tidak membalas sumbangan perkawinan.”
“Sueb tidak membalas sumbangan......” Pengumuman yang tiada henti berkumandang, menghantam pendengaran, mengalir menusuk hati, memporak-porandakan perasaan, dan menghujam jantung. Hakekatnya dia telah mati bersama pengumuman-pengumuman yang memuakkan. Tubuh yang bergerak, batin dan jiwanya kosong melompong.
Imajinasi berkelebat cepat menggambar kanvas-kanvas kehidupan yang dialami selama ini. Gerak imajinasi berlangsung cepat, menyerang sistem syaraf, menghantam kesadaran, membelenggu ingatan. Perlahan-lahan gambar mengerucut menjadi adat istiadat membalas yang setimpal. Adat istiadat yang telah menghancurkan hidupku.
Bayang-bayang adat istiadat menjelma menjadi raksasa yang siap memangsa siapapun. Aku melihat raksasa itu hendak menelanku yang tak berdaya, aku hendak menghindar, tapi tak bisa. Aku ditelan masuk dalam perut raksasa yang besar.
“Tidaaaak!” dengan mata nanar, aku melihat sekitar. Seluruh ruangan nampak lain. Aku merasa tidak mengenali di mana tempatku berpijak saat ini. Aku merasa terasing, dalam rumah yang telah didiami bertahun-tahun. Dan meledaklah seluruhnya dalam diri.
“Ha ha ha! Orang-orang diperbudak adat istiadat.” Aku berlari keluar dari rumah, sarung terlepas. Aku menabrak pintu. “Duaar!” mataku blingsatan ke sana ke mari.
“Haiiii! Kalian budak kebiasaan keluar semua. Lihat aku!” Aku menari-nari di luar rumah.
Orang-orang di desa berkerumun melihatku tidak memakai sarung dengan kemaluan menggelantung membuat semua orang menjadi risih. Perempuan dan gadis-gadis memalingkan muka, ada yang menutup dengan kedua tangan, ada yang menikmati sekilas.
“Kalian jahat! Kalian jahat! Kalian jahat!” aku melempari orang-orang yang berkerumun, mereka lari tunggang langgang. “Ha ha ha! Kalian penakut. Kalian penakut pada adat istiadat yang buruk. Kalian takut pada tradisi setan.”
Sejurus kemudian aku menangis terisak-isak di bawah pohon, butiran-butiran air mata yang terus mengalir tak dapat dihentikan. Aku menangis sampai air mata tidak ada yang keluar.
Tiada beberapa lama aku berdiri, mengelilingi desa dengan kepala tegak, memaki siapapun yang diinginkan. Dalam pandaganku orang-orang di desa bagai patung-patung yang tak berdaya berhadapan dengan adat. Mereka mirip keledai-keledai bodoh yang mematuhi tanpa syarat pada tuannya. Mereka seperti perahu di tengah gelombang besar, mengikuti kemanapun arah gelombang, termasuk ditenggelamkan ke dasar laut.
Salah seorang tetanggaku melakukan resepsi perkawinan, aku mengamuk di tempat itu. Orang-orang kewalahan menangani. Aku mengamuk sampai merasa lelah, dan disingkirkan ke luar desa. Kembali lagi pada kesempatan berbeda. Begitulah setiap ada acara di desa, aku pasti mengamuk di tempat tersebut.
Orang-orang desa merasa diteror, sehingga musyawarah diadakan secara mendadak untuk membahas apa yang akan dilakukan pada orang gila pembuat keonaran. Pembuat keonaran dimanapun wajib dimusnahkan. Dalam musyawarah yang memanas, dicapai kesepakatan. Kesepakatan yang menuntut dijalankan secepat mungkin.
Sosok tubuh ditemukan mengapung di sungai, orang-orang mengangkatnya, dari raut mukanya tampaknya mayat itu seseorang yang dikenali penduduk. Dalam sakunya yang basah kuyub, ditemukan secarik kertas, sebagian sobek-sobek, namun bisa dibaca dengan jelas.
Kebiasaaan melahirkan adat, adat memaksa seseorang tunduk, diri ditelan dalam adat yang dibuat, individu mati yang hidup tinggal masyarakat.
Diri yang berusaha melawan dengan daya upaya, diri yang muncul kepermukaan sebagai tandingan masyarakat, diri yang ingin menjadi diri sendiri, diri yang berjuang sekuat tenaga, berakhir dengan kegetiran hidup tuk berhadapan dengan Tuhan.
Harapan tinggal harapan; kematian membawa kesadaran, ketiadaan membimbing pada kebenaran, kehancuran membentuk kedamaian, tanpa adat istiadat yang menyesatkan, seribu kematian tidak mampu mengubah adat istiadat yang mendarah daging.


“Ketidakwarasan Hakekatku!”
Aku selalu merasa senang berbincang dengan seorang pemuda desa yang polos, bersikap apa adanya, bentuk tubuh sedang, mata lebar, dan raut mukannya selalu menunjukkan tawa yang misterius. Anehnya orang-orang di desaku, enggan mendekatinya, berkumpul bersama keluarganyapun jarang sekali. Dia menyendiri dengan dunianya sendiri.
“Kau jangan bergaul dengan pemuda itu!” larang kakakku.
“Mengapa?” aku tak mengerti dengan larangannya
“Kau bisa celaka nantinya!”
“Kulihat tidak ada yang aneh pada dirinya. Dia suka menyendiri, pendiam, kurang bergaul dengan masyarakat.”
“Pokoknya tidak boleh, ya tidak boleh!”
Nasihatnya tidak pernah kuindahkan, ada sesuatu yang menarik perhatianku, tanpa kuketahui apakah yang menarik itu.
Suatu hari aku mendekatinya, dia sedang menyabit rumput. Dia rajin menyabit rumput pagi dan sore sebagai pakan empat pasang sapi milik keluarganya.
“Wah, banyak sekali hasil sabitannya?” tanyaku.
“Aku berusaha mengisi kehidupan,” tersimpan nada ketus dari ucapannya.
“Aku ingin berteman denganmu.”
“Ha ha ha!” tawa yang renyah tanpa beban. “Berkumpul dengan ketidakwarasan berarti waras, berkumpul dengan kewarasan berarti tidak waras.”
“Aku benar-benar ingin berteman denganmu.”
“Teman kata penuh kepentingan, senang didekati, susah dijauhi. Bila ada kepentingan akrab. Tidak ada kepentingan menjauh,” aku mulai tertarik pada kata-katanya.
“Kata-kata yang bagus sekali.”
“Ha ha ha! Aku tidak waras? Siapa yang waras, dan siapa yang tidak waras, hanya dibungkus kata tidak. Orang-orang bergerak bagai mesin berjalan, berputar menurut keinginan mesin, bertindak diatur mesin, dan berbuat sesuai mekanisme mesin. Aku bebas bertindak, bebas berbuat, bebas tidak berkeinginan, bebas beban kehidupan, bebas segalanya. Aku bukan mesin, aku seorang manusia.” Aku kebingungan mendengar ungkapan-ungkapannya, bagaimana mungkin kehidupan manusia yang semakin maju dianggap sebagai mesin semata, ajaibnya justru dia menganggap orang-orang di sekitarnya bukan manusia, sedang hanya dirinyalah yang jadi manusia.
“Lihatlah! Para petani menjadi budak tengkulak, tengkulak menjadi budak pengusaha, pengusaha menjadi budak modal, modal menjadi budak keserakahan, rakyat menjadi sapi perahan penguasa, penguasa menjadi budak kepentingan. Keserakahan dan kepentingan merupakan naluri dasar manusia, senantiasa bangkit dalam setiap zaman, dengan berbagai bentuk, berbagai gaya, berbagai nada, berbagai warna. Setiap zaman berbeda-beda. Hakikat satu, manusia diperbudak keserakahan dan kepentingan, lambang penguasa kehidupan.”
“Orang hidup memikirkan perut, tidur, mengisi kekosongan. Perut sumber segala malapetaka kehidupan. Tidur surga dunia, sementara waktu menikmati keheningan. Mengisi kekosongan sandiwara kehidupan, yang berlangsung setiap detik, menit, jam, hari, bulan, dan tahun, berubah-rubah tanpa henti. Saat kematian datang menjemput, kehidupan sementara telah berkahir, berganti keabadian.”
“Kau mirip seorang Kiai,” komentarku.
“Kebijaksanaan lahir dari mulut siapa saja. Seorang nelayan bisa lebih bijak dari juragan, seorang petani lebih memahami kehidupan dari tuan tanah, seorang pedagang lebih mengerti ekonomi dari para pengusaha, seorang buruh lebih mendalami masalah perusahaan dari bos, rakyat biasa lebih bijaksana dari pejabat, masyarakat lebih arif dari presiden. Sayang kesempatan diperuntukkan bagi orang-orang yang mampu memanfaatkan setiap peluang dengan segala cara, bagi mereka yang tak mampu terpinggirkan dalam ketiak sejarah.” Aku mulai bosan mendengarkan kata-katanya yang membingungkanku.
“Sory teman! Aku masih ada keperluan.” Aku pergi setelah menatap padanya sekilas.
“Ha ha ha!” Dia tertawa terbahak, kutinggalkan dia sendirian.
Dalam perjalanan pulang, pikiranku menerawang memikirkan kata-katanya; manusia seperti mesin, keserakahan, kepentingan, kehidupan, manusia. Dia mampu berbicara mengenai kehidupan manusia secara jujur dalam pandangannya yang jernih. Sesuatu yang mungkin dilupakan orang-orang waras, sebab disibukkan dengan urusan perut, suatu urusan yang paling penting, menentukan, dan segalanya bagi manusia masa kini.
Manusia masa kini, hidup dalam disiplin waktu yang ketat setiap hari, baru pada hari libur bisa melakukan sesuai yang diinginkan, sedang enam hari lainnya terjebak dalam rutinitas kerja yang harus dijalani, seakan diri manusia ditelan kokohnya hutan belantara gedung-gedung pencakar langit. Bahkan kehidupan para pedagang di berbagai tempat lebih parah lagi, mereka dipaksa bekerja tujuh hari dalam seminggu tanpa hari libur demi mengejar keuntungan dalam usaha. Bukankah kehidupan menusia mengikuti perputaran mesin kerja yang dibuatnya demi kebaikan dirinya. Apa yang dibuat manusia seringkali menelan pembuatnya.
Aku berusaha mengerti yang dikatakan. Aku merenungkan ungkapan-ungkapannya, berusaha memahaminya, yang justru menimbulkan sikap penasaran padaku, untuk mengetahui lebih banyak tentangnya.
Surip nama pemuda tersebut, dikenal baik hati di desa, suka menolong sesama, dan gemar membaca buku pada waktu luang. Suatu hari dia berniat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi, namun kedua orang tuanya tidak mampu membiayai, dia gagal kuliah. Dia sempat gundah, kecewa, sedih, putus asa, walau beberapa minggu kemudian bisa menerima kenyataan itu.
Sedang Muniroh gadis impiannya, bisa melanjutkan kuliah ke Surabaya. Setahun setelah kuliah, Muniroh pulang ke desa dalam keadaan hamil enam bulan. Dia menjadi pergunjingan tiada henti di desa, orang-orang mengejeknya, menghina, dan mencacinya. Kedua orang tuanya marah besar. Dia diusir dari rumah.
Dalam kebingungan pergi dari rumah tanpa memiliki tujuan hidup, Muniroh teringat pada Surip. Dia pergi menemuinya.
“Muniroh, aku bisa menerimamu,” ujar Surip tulus sebelum Muniroh mengungkapkan maksud kedatangannya. Muniroh ternganga tak percaya.
“Hhh! Tidak mungkin!” air mata menetes membasahi pipi Muniroh. Dia tidak mampu mempercayai yang baru didengarnya dari mulut Surip.
“Aku mencintaimu,” Surip menatap mata Muniroh yang masih menebarkan debar di jantungnya.
“Aku telah menjadi noda, menjadi pendosa yang tidak dimaafkan kedua orang tua, masyarakat, dan Tuhan sekalipun. Aku hamil di luar nikah tanpa tahu siapa yang harus bertanggung jawab.”
“Jangan bicarakan masa lalumu,” Surip diam sejenak, suasana hening. “Tuhan Maha pemurah, Dia memaafkan hambaNYA yang bertobat. Buktinya aku sebagai hambaNYA bisa menerimamu apa adanya. Sebab cinta adalah ekspresi tanpa pamrih, ketika cinta berpamrih, itu tidak disebut cinta lagi.”
“Benarkah?” Muniroh semakin tidak mempercayai apa-apa yang didengarnya.
“Kau bisa tinggal di rumahku!” Surip menawari Muniroh untuk tinggal di rumahnya. Mendengar hal tersebut kedua orang tuanya yang menguping pembicaraan mereka menjadi marah besar.
“Kau tidak bisa mengajak Muniroh tinggal di rumah ini,” tegur Bapaknya.
“Memangnya kenapa? Saya ingin membantunya melewati masa-masa sulit ini, lagi pula saya akan mengawininya nanti.”
“Apa?” kedua orang tuanya sama-sama tercengang mendengar perkataan anaknya.
“Kau tidak mungkin mengawini wanita yang sedang hamil,” ibunya berusaha menasihati dengan lemah lembut.
“Anak kita telah diguna-gunai oleh wanita jalang itu!” jari tangan Bapaknya mengarah pada Muniroh yang membuat tangis gadis tersebut bertambah keras.
“Kalian setuju atau tidak, aku tidak peduli. Pokoknya aku ingin bersama Muniroh titik. Jika tidak, aku akan bunuh diri!” ancam Surip. Ancaman Surip membuat kedua orang tuanya tak berdaya. Ibu Surip mengajak suaminya ke belakang, mereka merembukkan sesuatu, tiada beberapa lama, mereka keluar dengan menyetujui Muniroh tinggal di rumah mereka sementara waktu.
Kedua orang tua Surip selalu berusaha menyakiti hati Muniroh dengan kata-kata penghinaan saat Surip tak ada. Gadis itu tak betah lagi tinggal di rumah Surip, puncaknya Muniroh pergi diam-diam tanpa tujuan yang pasti. Dia berjalan tak tentu arah. Dalam keputus-asaan, tanpa sadar dia berjalan di tengah-tengah jalan raya. Sebuah bus berkecapatan tinggi menabraknya. Dia tewas seketika bersama janin yang dikandung.
Mendengar Muniroh mati, Surip mengamuk. Dia melempar apa saja yang ada di depannya, membanting apa yang ditemuinya, mengamuk sejadi-jadinya. Masyarakat berdatangan ke rumahnya berusaha menenangkan, tapi kewalahan juga, jangankan menenangkan, mendekatinya saja sangat sulit.
Secara diam-diam salah seorang penduduk berhasil mendekatinya ketika Surip sedikit lengah, orang tersebut memukul kepala Surip dengan ketas. Surip jatuh pingsan, tidak ingat apa-apa lagi. Sejak itulah keadaan Surip seperti sekarang keadaannya.
Ekspresi cinta yang luhur, diakhiri kematian kekasihnya, menjadikannya setengah tidak waras. Suatu siklus kehidupan yang aneh. Cinta yang merupakan muara dari kebahagian di dunia, malah menjebak seseorang dalam kegilaan. Berarti antara cinta dan kegilaan terdapat batas yang tipis, dalam diri Surip.
“Kau suka rokok, ya?” tanpa menunggu jawaban Surip, aku menyerahkan sebungkus rokok. Dia gembira sekali menerimanya, dia menggengam tanganku dan menciumnya. “Tidak usah begitu. Kita berteman bukan?”
“Aku ambilkan kelapa muda!” Tanpa meminta persetujuanku, dia memanjat pohon kelapa yang tingginya sekitar 15 meter. Dengan gesit kakinya memanjat, dalam sekejap sampai di atas. Dia menurunkan seikat kelapa sekaligus.
“Cukuuup!” teriakku dari bawah, Surip tidak mengindahkan suaraku, baru ketika aku berpura-pura akan pergi, dia turun kembali. “Wah! Ini terlalu banyak.” Dia tidak menggubris kata-kataku. Satu-satu kelapa itu mulai ditampung, dan diberikannya padaku. Aku makan sampai puas, perut terasa kembung. “Lain kali jangan terlalu banyak, nanti dimarahi kedua orang tuamu.”
“Aku sudah tidak memiliki apa-apa. Pohon-pohon kelapa yang berjejer di ladang ini, adalah sahabatku dalam kesendirian.”
“Kau setiap hari menyabit rumput?” meski sudah tahu, aku tetap menanyakannya. Biasa basa basi.
“Mengisi kehidupan adalah rutinitas yang wajar. Antara orang yang waras dan tidak waras sama-sama dituntut bertindak, guna menghasilkan karya, karya yang hadir pada sesama sebagai sarana meng-ada. Bedanya orang yang tidak waras mendapatkan kemerdekaan penuh dalam karyanya, tidak diatur pasar, tidak diatur kepentingan, tidak diatur uang, tidak diatur siapapun. Hakikat kemerdekaan sejati milik orang yang tidak waras. Sedang orang waras tak memiliki kebebasan tersebut.”
“Kulihat kau tidak pernah bersedih.”
“Ha ha ha! Tertawa ungkapan kegembiraan manusia. Orang sepertiku akan tertawa setiap saat guna mengekspresikan diri dalam kehidupan. Tertawa menertawakan diri sendiri dan diri yang lain, yang terjebak dalam kepentingan sesaat. Tertawa menertawakan kehidupan yang hanya menghormati hukum-hukum alam, tanpa penghormatan pada manusia. Tertawa menertawakan manusia yang berprilaku seperti binatang. Tertawa menertawakan kenyataan yang tampak didewakan, yang tak tampak dimustahilkan. Kasihan manusia!”
“Aku tidak bertanya tentang kegembiraan.”
“Kesedihan milik orang yang diperbudak keinginan, keinginan yang bersumber pada pemuasan sesuatu dalam jiwa. Kesedihan milik orang yang menatap kehidupan dari sudut keprihatinan. Kesedihan milik orang yang menjalani kehidupan seperti drama sinetron. Kesedihan milik orang yang mengagungkan kewarasan, sehingga ketidakwarasan dianggap abnormal. Kesedihan milik orang yang tidak memiliki dirinya.”
Aku semakin mengagumi kata-kata bijaknya, yang lebih arif dari seorang filsuf, lebih arif dari seorang profesor, lebih arif dari seorang pastur, lebih arif dari seorang pendeta, dan lebih arif dari seorang Kiai.
Persabatan kami semakin hari semakin akrab, hal yang menimbulkan kekhawatiran di tengah-tengah keluarga dan masyarakat.
Aku sedang membantu ibu di pasar berjualan, saat mendengar kabar dia terjatuh dari pohon kelapa. Aku bergegas menuju rumah sakit. Menjenguk sahabatku, yang banyak mengajarkan makna kehidupan padaku.
“Bagaimana keandaanmu?”
“Tidak apa-apa, hanya tulang iga patah, kepala bocor sedikit, dan kedua kaki lumpuh.”
“Syukurlah!” dia menggenggam tanganku erat.
“Terima kasih pertolonganmu selama ini. Kau sahabat sejatiku!” air matanya menggenangi kedua kelopak mata.
“Kau telah sadar?” Aku kaget melihat dia mampu menjawab setiap pertanyaanku dengan tepat, tidak ngelantur lagi.
“Berkatmu, teman!” Aku memeluk erat ingin mengungkapkan rasa syukur yang tak terhingga. Sembuh dari ketidakwarasan merupakan anugerah terbesar baginya. Mungkin efek jatuh dari pohon kelapa menyebabkan kesadarannya muncul kembali.
Ada sebuah pertanyaan yang mengganjal dalam hatiku, bagaimana mungkin dia ingat bahwa aku sahabatnya selama ini? Sahabat yang menemani dia ngobrol, bersenang-senang dengan merokok sambil makan kelapa muda, dan mencoba mengerti keadaanya. Dalam pemahamanku orang yang gila, tidak akan mengingat apa-apa lagi, maka hadirnya kesadaran musnah semua lupa. Dia mampu mengingatku dalam ketidaksadaran dan dalam kesadaran. Sesuatu yang tidak dimengerti.
“Beban keluarga bertambah berat,” ujar Bapak Surip. “Sewaktu setengah tidak waras, dia masih bisa bekerja membantu kami. Tapi sekarang, kaki lumpuh tulang iga patah, tidak ada yang bisa dikerjakannya.”
Ucapan Bapaknya tersebut lebih mengagetkanku dari melihat sahabatku sembuh dari ketidakwarasan. Orang yang selama ini membesarkan Surip, ternyata menyimpan pamrih. Ketika anaknya sadar dari ketidakwarasan bukannya bersyukur, malah menggerutu. Lebih ajaib hal itu dilakukan orang tua, yang dikenal sebagai orang yang rela mengorbankan apapun demi anaknya.
Kutatap matanya, dia membuang muka. Aku mengerti dia merasa terpukul. Seandainya boleh memilih antara dilahirkan atau tidak dilahirkan ke dunia, dia akan memilih tidak dilahirkan. Baginya hidup di dunia bagai hidup di atas bara api, setiap saat bersiap-siap untuk terbakar hangus.
“Dia bisa tinggal di rumahku!” usulku.
“Jangan bermimpi! Apa kau sudah kerja? Apa kedua orang tuamu menerima? Apa kau sanggup menghidupi dia? Kau seorang pengangguran bukan?” Pukulan telak yang tak mampu kujawab. Aku seperti seorang petinju yang terkapar dipukul KO secara telak, tidak dapat bangun lagi. “Sudahlah! Jaga dia sekarang, aku mau pulang!” Bapaknya meninggalkan kami yang tak tahu harus berbuat apa.
Aku duduk di pinggir tempat tidur. Aku menatap matanya yang digenangi air mata. Air mata yang tidak pernah kusaksikan dalam ketidakwarasannya. Aku berusaha menghapusnya dengan sapu tangan, dia menggenggam tanganku erat seperti tak mau dilepaskan.
Aku menjaga dia sampai diizinkan pulang oleh dokter yang merawat. Biaya rumah sakit yang besar membuat Bapaknya tambah menggerutu, sedang aku tidak mampu membantu. Aku benar-benar menyesal tidak memiliki pekerjaan, karena tidak dapat membantu meringankan bebannya.
Keberadaan Surip di rumahnya, justru memperburuk kesehatannya. Makanan tidak disentuh, hanya sesekali dia mau minum air, itupun jika aku datang menjenguk. Perhatian keluarganya tidak ada lagi. Penyakitnya bertambah parah.
Hari Jum’at, aku sedang berada di masjid, manakala Hardi sepupunya datang kepadaku, memberitahu bahwa kondisi Surip kritis. Aku berlari sekencang-kencangnya. Seandainya punya sayap aku akan terbang. Seandainya bisa menghilang, aku akan menghilang dan berdiri di dekatnya. Seandainya aku jin, aku akan datang ke sampingnya secepat kilat. Kehidupan bukan seandainya.
“Hhhheh hmmm!” nafasku turun naik, aku langsung mendekatinya. Orang-orang berkerumun, ada yang mengaji, ada yang berbincang-bincang, ada yang menangis. Nampak kedua orang tuanya bersedih, tapi aku menganggapnya sebagai lelucon yang tak lucu.
Ah perhatian yang sia-sia! Seharusnya perhatian itu ada ketika dia tidak waras dan sakit, bukan menjelang kematian.
Merasakan kehadiranku, dia membuka kedua kelopak matanya, bibir memutih, muka pucat, sekujur tubuh mulai kaku. Dia berusaha menarik tanganku, aku mendekatkan ke telinganya mungkin ada yang ingin diucapkan.
“Ke…ti…dak…wa…ra…san, Ha…ke…kat…ku!” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Tidak ada kata-kata lain, tidak ada urat nadi yang bergerak, tidak ada deru nafas. Kematian menjemputnya. Aku memeluk erat, pelukan yang tidak ingin kulepas. Begitu terlepas, aku terduduk di lantai tak mampu berkata apa-apa.
Wonosari, 25 Agustus 2005





“Hakikat Hidup”
Sidarta Nugroho, seorang pengusaha sukses. Namanya hampir setiap hari diulas media cetak dan elektronik, mengingat kesuksesan yang dicapai. Dia merupakan seoranng konglomerat yang memiliki kekayaan terbanyak di bumi ini. Kekayaannya konon mengalahkan Bill Gates, yang telah bertahun-tahun menguasai tahta sebagai orang yang terkaya di jagat raya.
Dengan kekayaan yang berlimpah, Sidarta merasa ada sesuatu yang kurang dari kehidupannya, dia merasa belum pernah merasakan kebahagiaan sejati.
Pikiran selalu terpusat pada upaya meningkatkan kekayaan, dengan segala daya upaya, segala cara ditempuh, segala sesuatu dilakukan, untuk mencapai yang diinginkan. Sehingga dia melupakan yang lain.
Sidarta mulai meluangkan waktu untuk mencari kebahagian dalam segala bentuk kesenangan yang ditawarkan di sela-sela kesibukannya; kehidupan malam, menikmati dunia under cover, diskotik, berwisata ke hampir semua negara yang ada di muka bumi, segala macam wanita, tidur di atas tumpukan uang, menyewa bermacam-macam artis, menghambur-hamburkan uang, semuanya tidak ada yang dapat menawarkan kebahagian sejati.
Suatu hari dia mengumpulkan orang-orang yang dianggap mampu memberinya kebahagian.
“Kau seorang paranormal yang paling tersohor, bisa mendatangkan kebahagian padaku?”
“Kebahagian tidak bisa didatangkan seperti Jin.”
“Bukankah kebahagian dan jin sama-sama ghaib, mengapa kau tidak bisa?”
“Maaf! ilmuku terbatas di alam ghaib, tidak di alam nyata.”
“Kalian orang yang dekat dengan Tuhan, tentu bisa mendatangkan kebahagiaan.”
“Kebahagian akan datang kalau kita mendekatkan diri pada Tuhan yang Esa. Kebahagian adalah anugerahNYA.”
“Justru itu, maka kau yang dianggap dekat kepadaNYA kusuruh mendatangkan kebahagian.”
“Maaf, kami tidak sanggup mengintervensi kehendak Tuhan.”
“Apa tanggapanmu, wahai psikolog!”
“Jiwa sumber kebahagian, kau harus mampu menggali jiwamu sendiri.”
“Jiwa yang mana yang mau digali?”
“Hati nurani, yang harus digali kembali.”
“Aku sudah lama tidak menggunakan hati nurani. Nasihatmu tidak berguna. Sedang kau filsuf.”
“Kau harus mampu melakukan nihilisme pada segala bentuk pemikiran, mendekonstruksi paradigma yang keliru, dan menemukan eksistensi diri.”
“Bahasamu terlalu ruwet, aku perlu yang sanggup mendatangkan kebahagian. Masih ada lagi?” Suasana senyap, dari pintu muncul seorang lelaki tua, pakaian lusuh, rambut tak terurus, dan memegang sebuah tongkat.
“Aku menginginkan seseorang yang bisa mendatangkan kebahagian, bukan seorang pengemis.”
“Dia merasa sanggup mendatangkan kebahagian,” sahut salah seorang anak buahnya.
“Jika tidak dibutuhkan, aku pergi!” pengemis itu hendak membalikan badan.
“Tunggu sebentar! Apa kau bisa mendatangkan kebahagian?”
“Aku bisa!” pengemis itu mengurungkan niat untuk pergi.
“Benarkah? Oh ya. Kalian yang tidak berguna, harap pergi dari sini!” Mereka melangkah pergi, tidak mendapatkan imbalan apa-apa. Uang satu milyar yang dijanjikan bagi yang sanggup mendatangkan kebahagian gagal diraih. “Bagaimana caranya?” Setelah tinggal mereka berdua.
“Asal kau sanggup melakukan tiga syarat yang kuajukan.”
“Mendatangkan kebahagian masih memakai syarat, tidak usah saja.”
“Baik, aku pergi!” Orang tua itu berdiri dari kursi.
Sidarta tercenung sesaat. Banyak orang ditanyai mulai paranormal, psikolog, psikiater, filsul, pendeta dan Kiai, semua tidak sanggup. Orang tua ini mengatakan sanggup, berarti terpaksa aku menuruti tiga syaratnya.
“Aku sanggup, Bapak tua!” Orang tua itu duduk kembali di atas sofa mewah yang dibungkus kain sutera.
“Syarat pertama; laksanakan usaha dengan jujur dan penuhi hak seluruh buruh atau karyawan yang bekerja di perusahanmu, naikkan gaji mereka 20%.”
“Kalau jujur, aku tidak akan menjadi orang terkaya di dunia.”
“Selama kau tidak jujur, kebahagian tidak akan datang.”
“Aku setuju. Aku akan menjadi orang yang jujur. Orang terkaya di dunia sudah kuraih, tinggal kebahagian yang belum kuraih. Mengenai gaji buruh atau karyawan aku sudah membayar mereka sesuai standar upah yang ada, tidak mungkin dinaikkan lagi.”
“Berarti tidak sanggup?”
“Kau hebat, Bapak tua. Baru kali ini aku harus patuh pada orang lain.” Sidarta menyuruh anak buahnya untuk mengadakan rapat mendadak, seluruh pimpinan perusahaan, baik di dalam maupun di luar negeri, dihubungi dengan cepat. Begitu rapat yang dilaksanakan secara Maya dimulai, dia memberikan instruksi dua hal; kejujuran dan menaikkan gaji hak buruh 20%. Banyak yang ingin membantah, rapat segera ditutup, dia memiliki agenda yang lebih penting. “Apa syarat kedua?”
“Aku ingin minum dulu!” Bapak tua itu meminum air putih, di antara bermacam-macam minuman yang disediakan. “Syarat kedua; dalam kekayaanmu ada hak-hak fakir miskin, yatim piatu, janda-janda terlantar, para gelandangan. Kau harus menyerahkan kembali hak-hak mereka. Kau harus serahkan sendiri sumbanganmu tanpa diikuti anak buahmu. Kau lakukan ini sampai aku hadir kembali ke sini.”
“Apa? Aku harus berkeliling mencari orang-orang itu, lantas menyerahkan uang secukupnya pada mereka. Yang benar saja, Bapak tua.”
“Terserah padamu!”
“Oke, akan aku jalankan! Kau benar-benar membuatku tak berkutik.”
“Ingat kau tidak boleh menggunakan pakaian mewah, atau menggunakan mobil pribadi, kau harus berjalan sendiri naik bus kota atau angkot. Dalam melakukan perjalanan tidak boleh marah. Aku pergi dulu!” tanpa menghiraukan dirinya, orang tua itu pergi meninggalkannya, yang masih bingung dengan banyaknya syarat. Dia tidak berkutik, mau tidak mau harus menjalankan, bila menginginkan kebahagian.
Pagi yang cerah, Sidarta berangkat ke tempat-tempat yang disuruh pengemis tua itu. Untuk melakukan penyamaran dia menggunakan celana jins belel, memakai kaos oblong, menggunakan pet di kepalanya. Dia menyetop bus, para penumpang penuh sesak, saling berdesak-desakan, bau keringat menyengat, membuatnya tidak betah, dia ingin keluar, tapi tekad untuk mencari kebahagian membuatnya dipaksa menjalaninya. Seseorang yang menyikutnya, membuatnya marah, tapi dia berusaha menahan diri. Menahan amarah yang hampir meledak merupakan sesuatu yang baru dialami.
“Lagi-lagi koran memuat berita Sidarta Nugroho, pengusaha paling rakus di dunia,” seorang penumpang berbicara dengan temannya
“Dunia ini seperti miliknya semata.”
Sidarta hendak marah lagi mendengar kata-kata itu, tapi ditahannya. Dia menahan amarah berulangkali, sehingga perlahan-lahan kesabaran menjadi menyatu dalam dirinya.
Sidarta pergi ke panti-panti asuhan yang ada di Jakarta, dalam sehari selesai perjalanan. Dia bisa melihat langsung tawa anak-anak yatim piatu, menyaksikan kegembiraan mereka menerima sumbangan, yang di matanya tidak memiliki arti sedikitpun. Keesokan hari, setiap pengemis yang ditemui diberi uang. Dia bisa turut merasakan kegembiraan mereka.
Pada hari ketiga Sidarta mencari-cari para gelandangan, menyerahkan bantuan pada mereka, dia disanjung-sanjung bagai dewa yang datang dari langit. Dia merasa gembira sekali. Dia mulai menyenangi pekerjaan barunya ini.
“Kau lihat berita hari ini!” Sidarta ingin tahu apa yang dibicarakan orang, waktu itu dalam perjalan pulang setelah menyelesaikan tugas.
“Mengapa?”
“Seluruh perusahaan milik Sidarta Nugroho, menaikkan gaji 20% mulai bulan ini. Benarkah?”
“Ya benar. Kedatangan ilham dari mana dia.”
“Kedatangan malaikat kali.”
“Ha ha ha!” tawa mereka. Dia tersenyum, kegembiraan yang dialami bertambah. Sewaktu turun dari bus, dia haus sekali, dia pergi ke warung sederhana di pinggir jalan. Rasa haus yang sangat membuat minuman Aqua terasa nikmat sekali.
“Bapak Sidarta Nugroho Hebat, ya?”
“Dia menjadi dewa penolong bagi para buruh dan karyawan seperti kita, yang dihimpit berbagai kebutuhan mendesak.”
“Aku tidak menyangka keputusan mendadak ini. Semoga dia senantiasa dilindungi Allah!”
“Amien!” sahut Sidarta dalam hati. Kegembiraan yang semakin menumpuk di dada. Anehnya belum menjelma menjadi kebahagian.
Dalam seminggu melakukan perjalanan, Sidarta merasa telah selesai melaksanakan tugas memberi bantuan, dia merasa gembira.
Sesampai di rumahnya, Sidarta melihat pengemis tua itu telah duduk di ruang tamu. Dia mulai hormat padanya yang telah menunjukkan jalan pada kegembiraaan-kegembiraan yang dirasakan selama seminggu, kegembiraan yang benar-benar menggembirakan, meski kebahagiaan belum datang.
“Capek, ya?” enteng sekali pertanyaan pengemis itu.
“Tapi menyenangkan.” Sidarta duduk di sofa, kaki diluruskan, meregangkan otot-otot yang lelah.
“Maaf, Bapak tua, saya lelah sekali!” Rasa lelah membuat Sidarta tertidur, ketika bangun orang tua itu masih duduk di depannya duduk bersila sambil berdzikir. “Nikmat rasanya bangun dari tidur karena capek.” Sidarta menggerak-gerakkan tubuhnya.
“Kau mulai menikmati tidurmu, menikmati perjalananmu menjadi orang biasa, menikmati tertawa bersama, menikmati kesusahan orang, menikmati kesabaran. Dalam tawa orang lain, kau tertawa. Dalam kegembiraan orang lain, kau gembira. Dan ini yang penting, dalam kebahagian orang lain, kau akan bahagia. Ketika kau bersikap jujur dalam usaha, bersabar atas segala apa yang terjadi, orang-orang yang kau penuhi haknya bahagia, dan orang-orang yang kau bantu berbahagia, kau akan merasakan kebahagian. Syarat ketiga; kau duduk dengan tenang, kosongkan pikiran, hadirkan apa yang kau alami seminggu ini, kebahagian akan kau rasakan.”
Sidarta menuruti perintah pengemis tua itu, duduk bersila seperti orang bersemedi, mengosongkan pikiran, merasakan kembali kegembiraan-kegembiraan dalam kesatuan, dia merasa sesuatu berjalan dalam jiwa yang gersang, sesuatu yang melegakan, sesuatu yang misterius mengalir dalam batin, sesuatu yang tidak dimengerti membuatnya seperti melayang dalam alam kebahagian yang tak terhingga. Kata-kata tak sanggup melukiskan kebahagian yang dialami. Dia terus merasakan itu sampai imajinasi-imajinasi yang hadir hilang seluruhnya, baru dia membuka mata, orang tua itu sudah tidak ada di hadapannya, dia pergi entah ke mana. Padahal dia siap menyerahkan uang satu milyar seperti yang dijanjikan.





“Akhir Sebuah Pencarian”
Surya merenung beberapa saat, kedua mata menatap langit, tangannya menggenggam buku tentang Tasawwuf6. Dia mencoba memahami berbagai wacana tasawwuf; Khauf (Takut) menurut Hasan Bisri, Hubb (Cinta) menurut Rabi’ah Al-Adawiyah, Anal Haq (Akulah Kebenaran) menurut Al-Hallaj, dan Melihat Allah menurut Abu Yazid Al-Bistami. Dia kebingunan menemukan berbagai wacana yang tidak dimengertinya.
Dalam kebingungan, Surya teringat nasihat tokoh sufi terkemuka, untuk mendalami tasawwuf seseorang harus berguru pada Mursyid (pembimbing). Dia memutuskan akan mencari mursyid, agar dibimbing dalam bertasawwuf yang merupakan jalan terbaik. Buktinya Hujjah Islam Al-Ghazali, lari dari filsafat ke tasawuuf, karena filsafat hanya menawarkan keraguan, kebingungan, dan ketidakmengertian, sedang tasawwuf menawarkan ketenangan batin.
Pada tahap pertama dia pergi ke seorang Kiai yang terkenal sebagai pembimbing suatu Tarekat7. Tarekat merupakan salah satu sarana untuk mencapai taraf tertinggi di bidang tasawwuf, itulah pemahaman yang diraihnya dari dalam buku.
“Kau harus berdzikir secara khusu’. Adapun amalan dzikir yang dilakukan yaitu; tahmid 1000x, takbir 1000x, dan hamdalah 1000x, setiap hari. Ini permulaan saja,” nasihat sang Kiai.
“Apa dibaca sehabis shalat saja?”
“Terserah! Kapan dan dimanapun kau sempat melafadzkan dzikir. Ingat seminggu sekali berkumpul di sini untuk melaksanakan dzikir bersama.”
“Baik, Kiai!” Mulailah hari-harinya dipenuhi dzikir. Surya melaksanakan perintah gurunya secara patuh, tanpa bantahan. Setiap detik, menit, jam dan waktu dia berdzikir. Tidak ada waktu untuk kegiatan lain.
Melihat dirinya berdzikir terus, tidak pernah membantu kedua orang tuanya menjaga toko lagi seperti dulu, membuat mereka menjadi was-was.
“ Kau tidak pernah membantu Bapak akhir-akhir ini.”
“Maaf, Pak! Aku sedang menjalankan ajaran tarekat.”
“Tarekat apaan? Apa bisa makan dari tarekat?”
“Bapak berpikirnya hanya masalah makan saja. Orang hidup tidak hanya memikirkan perut.”
“Oh! Anakku mulai pintar rupanya. Aku lebih banyak makan asam garam kehidupan darimu. Jangan mengguruiku!” Bapak Surya mulai naik pitam.
“Bukan begitu maksudku. Beri kesempatan padaku untuk memperdalam kehidupan batin!”
“Sudahlah, Pak!” Ibunya ikut nimbrung. “Siapa tahu dia bertambah dewasa dengan ikut tarekat.” Bapaknya tidak menyahut, melangkah pergi menuju kamar. Ibunya mengangguk pertanda persetujuan pada anaknya. Surya berdzikir; siang, sore, dan malam.
Amalan dari gurunya bertambah menjadi masing-masing 10.000x. Setiap bagian dari waktu digunakan untuk berdzikir, bertahmid, bertakbir, dan hamdalah.
Sang malam menyelimuti bumi, jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari. Dia bangun dari tidur, melaksanakan shalat Tahajjud dan berdzikir lafadz Allah sampai pagi. Setelah dirinya mampu berdzikir sebanyak 10000x, kini meningkat untuk berdizikir lafadz Allah setiap putaran waktu, meningkat ke amalan Hua Hua Hua. Hati merasa jernih, merasa tenang, merasa tentram, dan merasa lebih dekat pada Ilahi; pencipta dunia, pengatur kehidupan, pengawas manusia, dan pemilik jagad raya.
Surya telah mampu melaksanakan dzikir secara mandiri, dia mulai melaksanakan langkah selanjutnya, menjadi musafir3. Dia mengambil uang simpanan secukupnya sebagai bekal dalam perjalanan. Dia berpamitan pada kedua orang tuanya untuk belajar ilmu di Pesantren, agar diizinkan terpaksa berbohong. Sebab jika dikatakan alasan sebenarnya tidak akan diizinkan.
Perjalanan menjadi musafir adalah tahapan lanjutan yang harus ditempuh, karena dia tidak puas pada pembimbing tarekat, yang dijalani selama ini sekedar menawarkan amalan dzikir yang sama, sementara dirinya belum mencapai tingkat yang dicapai Rabi’ah Al-Adawiyah, apalagi mau mencapai tingkat yang dicapai Yazib Al-Bistami.
Dalam perjalanan seorang sufi tidak boleh menggunakan kendaraan, tapi harus berjalan kaki. Surya melangkah melewati jalan beraspal, jalan setapak, ladang, hutan belantara, hutan beton, sawah-sawah yang membentang luas. Dari satu desa ke desa lainnya, dari satu kota ke kota lainnya. Setiap tokoh yang dianggap alim di desa atau kota tersebut, di singgahinya. Dia ingin menyerap ilmu sebanyak-banyaknya untuk mencapai kesempurnaan.
Kunjungan ke beberapa guru belum mencapai yang diharapkan dirinya, dia belum bertemu dengan Nabi Khidzir yang dianggap mursyid paling tinggi dalam tasawwuf, sebagai tahapapan awal sebelum mencapai hakikat hidup dan kesempurnaan. Dia tak tahu beberapa waktu yang diperlukan untuk itu.
Putaran waktu yang dijalani tidak diingat sama sekali, Nabi Khidzir tak mampu dijumpai. Surya berusaha tanpa kenal menyerah. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dianggap tantangan yang harus dijalani seseorang yang ingin mencapai taraf kesempurnaan hidup. Kalau menyerah berarti kalah, tiada guna segala kesusahan, kelelahan, kegundahan, perjalanan dan amalan yang telah dilakukan selama ini.
Bekal sudah habis, untuk makan Surya mengemis ke rumah-rumah penduduk sekedarnya. Kebutuhan untuk makan terpenuhi, dia berhenti mengemis. Dia kembali melanjutkan perjalanan, dari satu desa ke desa lain, satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain. Menjelajah mulai dari Madura, Jawa, Kalimantan sampai Sumatera untuk mencapai yang diinginkan, tapi tujuan belum tercapai.
Suatu malam dalam kelelahan, Surya tertidur. Dia merasa berjalan dalam kegelapan, dia melihat ke kanan yang tampak adalah kegelapan, dia melihat ke kiri yang tampak adalah kegelapan, dia melihat ke depan yang tampak adalah kegelapan, dia melihat ke belakang yang tampak adalah kegelapan. Dia melihat kegelapan yang tanpa ujung, tanpa batas, tanpa pijakan. Dia seperti mengawang-awang dalam kegelapan yang tidak dimengertinya.
Surya merasa terbang dalam kegelapan, namun kemanapun dia terbang, yang tampak hanya kegelapan. Tidak ada sebintik sinar sedikitpun, sebab sinar itulah mungkin yang ingin dicarinya. Dalam terbang yang tak berarah, dia menemukan sebuah tangga yang tinggi sekali, kedua mata tak mampu menjangkau ketinggian tangga. Sangat tinggi, membumbung ke angkasa yang gelap gulita.
Surya mencoba menaiki tangga, berjalan tertatith-tatih. Terus berjalan tiada henti. Ketika lelah, dia diam sebentar, berjalan lagi. Dia ingin merasakan seperti yang dirasakan Abu Yazid Al-Bistami, merasa melihat dan berbicara dengan Nur Tertinggi, Nur di atas nur-nur yang lain.
Segala daya upaya dilakukan untuk menggapai impian, namun Surya tidak sampai-sampai juga. Dia bingung, gelisah, galau, hampir putus asa. Dia merasa sia-sia seluruh perjalan yang dilalui.
“Gdbuk!” Surya terbangun mendengar susuatu terjatuh. Perlahan-lahan kedua kelopak mata dibuka, sinar Matahari pagi membelai mukanya. Tadi dia merasa dalam kegelapan, bagaimana mungkin kegelapan berganti pagi yang cerah. Dia mencoba mengembalikan semua ingatan, setiap usaha mengingat membuat dirinya tak mampu mengingat apapun, yang diingat hanya kegelapan. Dia tidak ingat bahwa kegelapan yang dialami adalah mimpi. Yang diingat kegelapan adalah kenyatan, seperti melihat kenyataan pagi yang ada di hadapannya. Kenyataan tentang kegelapan dan pagi sama nyata di depannya.
Surya berjalan melintasi persawahan, rumah-rumah penduduk dan jalan beraspal. Ketika berjumpa dengan orang-orang, keanehan mulai terasa pada dirinya; dia melihat petani yang sedang mencangkul bagai seorang budak dengan rantai di kakinya yang dipaksa bekerja keras, dia melihat seorang perempuan yang berjalan melambai bagai anjing yang menggonggong, dia melihat orang-orang yang baru keluar dari pabrik bagai patung-patung berjalan, dia melihat para karyawan yang keluar dari kantor bagai mummy-mummy, dia melihat mobil-mobil mewah berisi babi-babi rakus, dia melihat anak-anak muda di Mall bagai tikus dan kucing yang saling berkejaran, dia melihat orang-orang di pasar berubah menjadi vampir yang haus darah, dia melihat gelandangan di pinggir jalan berubah menjadi sampah, diinjak orang-orang yang berlalu lalang. Dia tidak mengerti dengan pandangannya.
Surya melihat barang-barang eloktronik di toko seperti layar yang menelan manusia, melihat buah-buahan berjejeran seperti bara api yang akan membakar, melihat barang-barang yang dijual di Mall seperti intan di dasar jurang, jika tak berhati-hati akan terjerumus, melihat sayur mayur seperti kertas-kertas tak berguna, melihat barang-barang di pasar seperti melihat tumpukan kayu yang akan terbakar api.
Rasa lapar yang tak tertahankan, memaksanya membeli makanan di warung. Sewaktu akan menyantap makanan, dia seakan-akan menyantap tumpukan cacing, dibuangnya jauh-jauh. Dia memutuskan tidak akan makan lagi. Dia mengambil air Aqua, hendak meminumnya, tapi air berubah menjadi air limbah yang kotor, dibuangnya kembali. Tidak ada yang bisa dimakan dan diminum.
Berulangkali dia menggosokkan kedua mata, memastikan yang tampak di depan mata bukan imajinasi, bukan ilusi, bukan haluisinasi, tapi kenyataan. Setiap usaha memastikan kenyataan yang ada, semakin memperjelas bahwa itu semua benar-benar nyata. Mungkinkah sesuatu yang nyata bisa menjadi tak nyata, jadi nyata kembali, dalam sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak dimengerti.
Orang-orang melihatnya sebagai orang gila. Surya dianggap gila ketika membuang makanan, minuman, dan uang pemberian mereka. Dia dianggap gila dengan pakaian compang camping, jenggot yang panjang, rambut awut-awutan yang berjuntai hampir menyentuh tanah. Dia dianggap gila karena melihat orang lain dalam kenyataan yang berbeda. Sebab di antara orang-orang sekitarnya, hanya dirinya yang nampak manusia utuh.
“Sini teman-teman! Ada orang gila.” anak-anak kecil mengerumuninya.
“Kau gila, ya?” tanya seorang anak kecil polos.
“Tentu saja tidak. Kalian kok seperti tiang-tiang berjalan.”
“Tuh, mulai gilanya,” sahut anak yang lain.
“Ayo, anak-anak pergi! Jangan ganggu orang gila ini.” Seorang lelaki dewasa menghalau mereka, yang tampak setengah hewan setengah manusia.
“Orang gila….” Anak-anak beringsut pergi membiarkan dirinya yang menatap tidak mengerti. Surya melanjutkan perjalanan kembali. Karena rasa lelah tak tertahankan, dia beristirahat di bawah pohon kelapa. Belum lama mata dipejamkan, seorang lelaki tua menepuknya.
“Assalamu’alaikum!”
“Hhh! Wa’alaikum salam,” dia membuka mata melihat seorang lelaki yang memancarkan raut muka kehijau-hijauan, rambut berkibar, jenggot lebat, tubuh tegap, pancaran mata yang menyejukkan. Belum pernah dalam hidupnya bertemu dengan lelaki seperti yang ada di hadapannya.
“Apa kau sudah menemukan yang kau cari?”
“Jadi, kau tidak menganggapku gila. Terima kasih!” Dia mulai meyakini bahwa dirinya tidak gila. “Kau berbeda dengan orang-orang yang kutemui, mereka kulihat tidak seperti manusia, benda-benda yang kulihat nampak terbakar api.”
“Itulah manusia sekarang yang sesungguhnya dan itulah hakekat dunia.”
“Apa yang kulihat adalah kenyataan?”
“Kenyataan yang nyata dalam hati jernih sebening kaca, tak akan kelihatan dalam hati yang tergores noda. Dalam hati yang terselimuti, yang nyata menjadi kenyataan yang diikuti, sedang yang tak nyata dianggap kemustahilan, sehingga berusaha dijauhi. Padahal dalam ketidaknyataan mengandung kenyataan, bahkan itulah kenyataan yang hakiki.”
“Berarti bukan aku yang gila, tapi mereka semua yang menjadi gila.”
“Sudahlah! Tidak perlu membicarakan mereka. Apa kau sudah menemukan yang kau cari?”
“Belum. Aku baru menemukan kegelapan dan tangga tak berujung.”
“Shalat hajat dua rakaat!” Dia menuruti perintah lelaki yang memancarkan wibawa dan sinar dari raut mukanya.
“Sekarang kau berdzikir hanya mengingat Allah dengan memejamkan mata. Kosongkan pikiran. Anggap dunia wujud yang tak berwujud. Bukalah pintu hati nuranimu!” Pikiran mencoba dikosongkan, dia tidak mengingat apa-apa selain Allah, dan saat bersamaan hati nurani dibuka lebar-lebar. Dalam kegelapan dia melihat sebintik cahaya di dalam hati. Cahaya yang terang menderang, menerangi jiwa, menerangi pikiran, menerangi tubuh dan memberi cahaya pada dunia. Sebentuk perasaan asing yang tak mampu dirangkai dengan untaian kata, menyelimuti dirinya. Seumur hidup tidak pernah merasakan hal itu.
“Kau telah menemukan yang kau cari.”








“Dor!”
Dengan sigap tanganku bergerak, dalam sekejap dompet mampu kuraih dari saku seorang lelaki perlente di pusat perbelanjaan. Aku berjalan pelan seperti orang yang tak melakukan apa pun dengan senyum dikulum. Ini merupakan langkah awal dari perjalanan kehidupan yang panjang.
Yah! Ini hari pertama memulai hidup baru, hidup baru yang berjalan dengan sukses sesuai perencanaan awal. Setelah lelah mencari pekerjaan dari satu kantor ke kantor lain. Setelah dipecat dari perusahaan yang jatuh bangkrut. Setelah menganggur beberapa lama tanpa pekerjaan. Setelah luntang-lantung sani sini. Setelah kegagalan demi kegagalan. Kini pintu kesuksesan terbuka lebar, meski menapaki dunia hitam tanpa cahaya.
Seluruh uang hasil pencopetan dihabiskan di rumah pelacuran, menikmati gairah dalam hitungan menit, sirna dalam lelap tidur malam hari. Ketika bangun di pagi hari, kaki melangkah melanjutkan langkah demi langkah jalani hidup yang semakin tak pasti.
Menjadi pencopet kurang menjanjikan hasil yang besar, maka dengan mengikuti teman-teman yang telah lama menekuni profesi perampok. Aku menjadi pengintai dan penunjuk jalan, sesuatu yang terlalu mudah untuk dijalani. Menjadi penunjuk jalan bukan sesuatu yang menantang dengan pembagian hasil yang minim. Maka, mulailah kubentuk kelompok baru dalam melakukan perampokan. Kami beroperasi dari satu Bank ke Bank lain, dari satu rumah ke rumah lain, dari satu tempat ke tempat lain.
Sampai sejauh ini, keberhasilan demi keberhasilan bisa diraih. Aku semakin disegani oleh sesama kawan-kawan dari dunia hitam. Bukan apa-apa, dari setiap aksi yang dilakukan, aku selalu menjadi “panglima” di garis depan, tanpa mengenal rasa takut satu inci pun. Di samping itu, aku membagi secara rata hasil pembagian kejahatan pada kawan-kawan secara adil, aku tidak pernah mengambil lebih. 10 % hasil kejahatan disimpan di Bank dimanfaatkan untuk membebaskan anggota kelompok yang terjaring aparat. Dengan komitmen ini, apapun yang terjadi, aku selalu aman dari sentuhan aparat, sebab kawan-kawan yang ditangkap selalu menggunakan aksi tutup mulut.
Aku kadang tertawa geli, melihat penjahat-penjahat kelas teri, yang dalam aksi pertamanya selalu tertangkap. Aku yang sudah melakukan kejahatan puluhan tahun, tak satu kalipun tertangkap, apalagi menikmati gelapnya pintu penjara. Aku selalu membanggakan diri dengan semua prestasi yang kuraih.
Aku kadang tersenyum sendiri, menjalani semua kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan prestasi yang mengagumkan. Mungkin jika disediakan penghargaan Award untuk para penjahat, akulah master dari segala master. Sebab dalam melakukan aksi, aku tidak hanya mengandalkan fisik dan keberanian, melainkan perhitungan matang dan pemikiran yang jenius berbekal ijazah sarjana S1 dari universitas paling terkenal di republik ini.
Dalam gelap malam saat sendirian, mendadak semua bentuk senyum, tawa, dan kegembiraan mengingat semua prestasi kejahatan, berganti bayang-bayang kelam yang menghantui. Kegelapan seperti menyeliputi benak yang membuat diriku merana.
Sewaktu merampok di sebuah rumah mewah, aku membunuh seorang wanita setengah baya yang menjadi pembantu rumah tangga, aku menggorok lehernya sampai putus saat wanita itu terbangun dan hendak berteriak. Setelah diselidiki, ternyata wanita tersebut menghidupi empat anaknya di desa dari hasil menjadi pembantu rumah tangga. Dengan kematiannya terputus sudah pengiriman rutin setiap bulan. Bahkan salah seorang anaknya yang merantai ke Jakarta, menjadi teman kencannya di kompleks pelacuran, ini diketahui setelah mereka berbincang-bincang agak lama. Inilah yang mendorongku menjadi langganan perempuan tersebut sampai sekarang, dan dia memberikan sejumlah uang yang tidak sedikit sewaktu berkunjung.
Dalam perampokan terhadap seorang nasabah Bank, aku berhasil menembak sang sopir, menembak lengan bosnya, sayangnya peluru nyasar mengenai anaknya, seorang anak yang pernah menjuarai olimpiade Fisika di luar negeri. Aku tidak merasa bersalah dengan kematian sopir dan bapaknya, tapi membunuh seorang pemuda yang memiliki harapan cerah untuk membawa perubahan pada Republik “sekarat” ini adalah sesuatu yang disesali seumur hidup.
Aksi yang tak kalah heroik, ketika aku berhasil membobol mesin ATM berikut semua isinya. Manakala hendak melarikan diri seorang lelaki tua melihatku, tiada jalan lain kecuali melepaskan tembakan yang mengenai jantungnya. Yang lebih menggenaskan, ternyata lelaki tua itu adalah seorang guru ngaji, yang tak menerima serupiah pun dari kegitan itu.
Seorang gadis yang sedang berjalan pelan sambil menimang buku, jatuh tersungkur terkena peluru nyasar ketika diriku sedang adu tembak dengan aparat kepolisian. Gadis itu ternyata seseorang yang bercita-cita ingin mengangkat derajat kaum wanita dengan tulisan-tulisannya yang ditulis secara tulus, penuh dedikasi, dan ketekunan. Cita-cita yang terhenti bersama kematiannya.
Itu hanya beberapa catatan dari serentetan kejahatannya yang menumpuk. Jika semua catatan dikumpulkan, mungkin bisa sampai ke bulan. Mengingat semua itu, membuat dirinya linglung, bingung, putus asa, stres, depresi dan kalut. Dalam keadaan demikian tiada jalan lain selain melarikan diri pada obat-obatan, minuman keras, dan pelacur kesayangannya, namun itu hanya sekejap hilang, lantas menghantuinya kembali dalam hari-hari selanjutnya.
Suatu saat, dia berkunjung ke seorang Kiai terkenal, memiliki rumah mewah, mobil lima buah, dan pakaian perlente, ketika menginjakkan pintu di rumah Kiai tersebut, timbul bisikan di hatinya untuk merampok Kiai kaya itu, namun diurungkan. Bagaimana mungkin dia merampok orang yang ingin dimintai tolong.
“Bagaimana keadaan Anda?” tanya Kiai langsung, dengan mobil mewah yang dibawa dan pakaian mewah, dia diterima duluan olehnya, padahal banyak orang yang menunggu dalam waktu lama, tidak ditemui terlebih dahulu.
“Baik!”
“Semua masalah bisa diatasi dengan solusi yang tepat, coba ceritakan!” Kiai itu meraih rokok cerutu yang mahal harganya. Hembusan asap rokok memenuhi ruangan itu.
“Saya sebenarnya sukses dalam menekuni pekerjaan, tapi hidup saya dipenuhi dengan kegelisahan, kekalutan, trauma, stres dan depresi berat tanpa mampu diatasi. Saya …”
“Apa pekerjaanmu?” potong sang Kiai. Aku terdiam beberapa saat, menceritakan yang sebenarnya tidak mungkin. Aku berusaha mengarang pekerjaan yang tepat. Dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa Kiai ini tidak mampu menyelami dirinya, padahal dalam legenda; sang Kiai mampu mengetahui apa pun yang berkaitan dengan tamunya meski tak mengatakan sepatah kata pun. Tapi Kiai di hadapannya bukan seperti itu.
“Saya seorang Renternir yang memberikan hutang pada orang lain dengan mengambil bunga yang besar padanya.” Aku lega mengatakan semua itu, sebuah perumpamaan yang tepat.
“Oh, begitu! Tunggu sebentar!” Kiai itu ke dalam sebentar, tiada beberapa lama keluar dengan membawa sesuatu yang dibungkus rapi.
“Kamu mungkin memiliki banyak musuh, maka pakailah azimat ini. Saya yakin kamu bisa keluar dari masalahmu.”
“Terima kasih!” Aku gembira sekali, menemukan jalan keluar hanya dengan sebuah azimat, betapa hebatnya Kiai itu. Aku mengeluarkan uang dalam amplop tebal, Kiai itu menerima dengan senyum dikulum.
Waktu berlalu dengan cepat, sayangnya azimat itu tak mampu mengobati kegelisahan demi kegelisahan, stres demi stres, depresi demi depresi yang kualami, malah justru memperparah. Aku kembali mencari pelarian di tempat pelacuran, minuman keras dan obat-obatan.
Hari itu, aku melakukan perampokan di semua rumah mewah. Tanpa disangka orang-orang di rumah itu terbangun dari tidurnya. Dalam keadaan panik, aku membunuh mereka satu persatu dengan peluru yang dilengkapi peredam suara. Mereka yang berhasil kubunuh sebanyak tujuh orang; sepasang suami istri, dua orang anak, dua orang pembantu dan seorang penjaga rumah. Lalu aku mengambil semua yang dianggap penting, termasuk sebuah map yang berisi surat-surat yang siapa tahu lebih bernilai dari sejumlah uang.
Seperti biasa, Aku berhasil meloloskan dirinya dengan gemilang beserta lima orang kawan-kawannya. Setelah dibagi rata, kawan-kawanku menyerahkan map itu padaku, lalu mereka beranjak pergi dengan senyum dikulum.
Aku membuka map itu, ternyata berisi catatan pengelolaan yayasan yatim piatu. Kubuka halaman selanjutnya, sebuah surat ucapan terima kasih dari sebuah lembaga yang mengelola anak jalanan atas sumbangan berupa sejumlah uang untuk dijadikan modal usaha bagi mereka yang ada di lembaga itu, sehingga anak-anak jalanan keluar dari pekerjaan “berat” yang ditekuni selama ini. Kubuka kembali, sebuah catatan transfer rekening ke sebuah pesantren di Madura sejumlah 300 juta untuk digunakan bagi pembangunan perpustakaan dan isinya. Dalam catatan terakhir, termaktup sebuah kata-kata yang menyentakkannya; “Ini bekal hidupku untuk menjemput kematian.”
Aku benar-benar tersungkur. Kubaca sekali lagi dengan penuh ketidakpercayaan. Kubaca lagi, begitu terus menerus yang kulakukan, sampai setiap paragraf, kalimat, kata dan huruf melekat dalam benakku. Lalu kurobek-robek tak bersisa. Namun setiap hal terlanjur tersimpan rapi dalam kesadaran dan alam bawah sadar.
Aku mengambil bir di kulkas, kuminum sampai habis, semua bayangan dari apa yang dibaca justru menguat. Aku mengambil suntikan obat, kusuntikkan ke lenganku. Aku melayang sebentar, tapi dalam dunia bayang-bayang itu, justru catatan itu seperti menari-nari mengejeknya. Aku semakin mengamuk, melempar apa yang di hadapan, merusak barang-barang dan menghancurkannya berkeping-keping.
Dalam kelelahan, aku duduk dengan pandangan kosong dan hampa. Inilah hukuman yang harus kuterima dengan semua kejahatan yang dilakukan. Inilah ganjaran dari semua pembunuhan yang dilakukan. Inilah derita yang harus dialami dengan semua dosa-dosaku. Jika begitu, penjara lebih enak, menyenangkan dan merupakan tempat yang tepat.
Penjara tak akan mampu mengobati semua luka, buktinya selama ini tak pernah aku tak pernah di penjara. Alangkah enaknya orang-orang yang dipenjara, sempat menyadari apa yang dilakukan, merenungkan tingkah laku yang keliru di balik jeruji besi, dan siapa tahu bisa berubah menjadi orang yang baik. Berarti sebenarnya penjara adalah hukuman yang tepat di dunia. Mengapa aku selama ini tidak pernah dipenjara?
Aku berdiri, tapi langkahku terhenti. Aku terduduk kembali.
Jika penjara bukan tempat untukku, berarti tempat yang adalah… Yah tempat yang tepat adalah… Dunia yang benar adalah….
Aku mengambil pistol. Kumasukkan sebuah peluru ke dalamnya, dan memasang peredam. Kudekatkan ke otakku, tempat yang mengajariku segala macam perhitungan, strategi, dan berpikir tentang hal-hal yang hendak kulakukan. Kini tiba waktunya untuk menghentikan semua itu sama sekali.
“Dor!”
Sebuah rasa sakit yang maha dasyat menyerang diriku. Tubuhku meronta-ronta. Seakan-akan seluruh tubuhku disayat-sayat dengan pedang sangat yang tajam. Tubuhku seperti diiris kecil-kecil, setiap irisan mendatangkan rasa sakit yang luar biasa. Aku tidak pernah merasakan rasa sakit sehebat ini.
Hal ini berlangsung agak lama tanpa seorang pun datang menolongku.
Wonosari, 10 Oktober 2006



Menolong Maling
“Klek,” aku terbangun dari tidur mendengar suara itu. Kubuka mata. Kedua telinga mendengarkan seksama, meyakinkan pendengaran. Suara tidak terdengar lagi. Aku berusaha duduk, menimbang-nimbang akan keluar atau tidak. Tercenung beberapa lama, menumbuhkan keberanian di hati. Aku melangkah keluar.
Antara keberanian dan ketakutan terdapat tapal batas yang tipis, meski dalam tindakan perbedaan itu nampak jelas. Seorang yang takut cendrung bertahan dalam kondisi menyerah, sedang orang yang berani bisa bersikap menyerang atau bertahan dengan persiapan matang. Kebetulan aku mencoba bertahan dengan persiapan matang, sehingga baru keluar setelah berpikir lama.
Kugenggam erat botol di tangan. Kalau ada apa-apa, paling tidak aku punya senjata. Antara pertarungan dua perasaan; takut dan berani, aku mengelilingi rumah; mulai dapur, ruang tamu sampai belakang rumah. Tidak ada yang mencurigakan.
“Hhhh hah!” lega rasanya, ternyata sesuatu yang dikhawatirkan tidak terjadi. Aku melangkah menuju kamar mandi, berwudhu’, bersiap melaksanakan shalat tahajjud. Dalam raka’at pertama, terdengar samar-samar derap langkah kaki di luar.
“Klek!” suara sesuatu terbuka. Aku berusaha tidak mempedulikan, tetap menyelesaikan satu rakaat tersisa. Selesai shalat, aku beranjak menuju dapur, dan memeriksa seluruh ruangan, jendela di ruang tamu terbuka lebar.
“Eooong …!” Kucing meloncat dari jendela. Dadaku bergerak cepat, jantung seperti dipompa. Mungkin kucing yang membuka jendela, dan melompat ke dalam. Mungkinkah? Aku mencoba berpikir. Kejadian yang berlangsung cepat, membuatku tak mampu berpikir jernih, sedang perasaan makin berkecamuk. Tanpa curiga, aku melangkah menuju kamar. Pintu kubuka.
“Awas, jangan berteriak!” Sebuah clurit dikalungkan di leher, dia menutupi wajah dengan topeng. Aku gemetar. “Mana kau letakkan uang dan perhiasanmu?”
“A…da di le…ma…ri.”
“Cepat kau ambil!” Aku menuruti keinginannya. “Cepat, nanti kubunuh kau!” Aku membuka lemari, sambil berimajinasi, mencari jalan keluar. Imaji-imaji di otakku menawarkan beberapa gambaran yang bisa dilakukan; berbalik dengan cepat, berusaha merampas clurit, atau menunduk sambil mengirim tendangan, atau melangkah sedikit dan menghadapi dengan tangan kosong, semua mustahil. Sampai kulihat parfum yang tergeletak di pinggir lemari. Aku merenung sejenak, mencoba mengaitkan imajiku dengan parfum, apa yang bisa dilakukan?
Kuserahkan uang dengan tangan kanan, tangan kiriku meraih parfum -jarak yang dekat antara lemari dan maling memungkinkan hal itu-, secepat kilat menyemprotkan ke matanya. Tepat mengenai kedua mata.
“Aduuuh!” rintihnya. Saat itu kurebut clurit dari tangannya.
Istriku terbangun. Mata mengerjap menatap sekeliling, kaget melihatku menggengam clurit dengan seorang lelaki bertopeng.
“Ambilkan tali, Bu!”
“A…da a…pa?”
“Ambil tali cepat!” istriku mengambil tali, walau seribu pertanyaan bergentayangan di otaknya. Kuambil tali dari istriku, kuikat sekencang mungkin. Untuk melihat siapa gerangan maling gagah berani ini..
“Pak, apa sebaik dilaporkan ke polisi,” istriku beranjak menuju telepon.
“Tidak usah, Bu!” istriku urung mengangkat telepon. ”Aku masih ada urusan dengan maling ini,” geramku. Mengingat clurit di leher tadi, ingin rasanya kuayun clurit ini ke lehernya. Aku tidak berani melakukannya. Untuk apa? Paling-paling dia tewas, dan aku akan menikmati hari-hari yang menggetirkan di balik jeruji besi. Dihadapan hakim orang yang mencoba mempertahankan diri dengan membunuh penjahat sekalipun tetap dianggap bersalah.
Kutatap wajah sangar di hadapanku. Di antara suara rintihan, kulihat paras lelaki ini, tegar dan garang, seakan segala resiko sudah diperhitungkan. Aku memberanikan diri menatap kedua mata yang mengerjap, menahan sakit.
“Ampuuun! Ampuni aku!”
“Sekarang minta ampun, tadi nyawaku hampir melayang oleh cluritmu. Tidak mungkin kuampuni.”
“Ampun, Mas! Aku terpaksa.”
“Mengapa kau berani masuk?”
“Terpaksa. Aku sudah berkeliling di sekitar lingkungan sini, hanya jendela punyamu yang bisa dibuka dengan mudah. Jadi kuberanikan diri masuk.”
“Oh, begitu. Kenapa senekat itu, padahal sudah tahu orangnya ada di dalam?”
“Maling, pekerjaan baru yang kutempuh. Istriku jatuh sakit, aku tidak mampu membawanya ke Puskesmas. Salah seorang tetanggaku yang berprofesi sebagai maling sejak lama, mengajariku cara mudah mendapatkan uang. Aku berguru padanya, dan memprakatekkan malam ini di rumahmu. Aku gagal total pada hari pertama bekerja.”
“Mengapa tidak mencari pekerjaan lain?”
“Pekerjaan apa?” Pertanyaan yang menusuk jantungku. Pekerjaan apa bagi orang desa seperti maling ini. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak dulu, justru baru kini benar-benar dirasakan masyarakat. Pada awal krisis, harga-harga melambung tinggi, dibarengi melambungnya harga produk-produk pertanian, sehingga krisis ekonomi tidak terasa. Sekarang harga-harga melambung tinggi, tidak diikuti dengan melambungnya harga-harga produk pertanian, jasa dan penghasilan masyarakat, maka menjadi tidak seimbang. Sebagai contoh harga tembakau anjlok di pasaran, padahal untuk tahun ini masyarakat berbondong-bondong menanamnya. Dari mana penghasilan petani diperoleh?
“Bapak bisa bercocok tanam, bukan?”
“Dimana aku akan menanam? Sawahku seluas dua ratus meter persegi, sudah kujual. Tidak ada barang tersisa di rumah untuk bisa dijual, semua habis untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aku bekerja pada petani tembakau dengan sistem upahan, mereka tidak membayarku. Bagaimana mau membayarku, sedang tembakaunya tidak laku.”
“Sakit apa istrimu?” Aku ingin mengorek keterangan lebih jauh.
“Entahlah! Tubuhnya panas sekali, lemas dan melangkah dua langkah sudah ambruk.” Hatiku merasa iba mendengarkan kisahnya yang menggetirkan. Seakan-akan sandiwara kehidupannya diskenario sebagai tokoh yang mengalami kesialan-kesialan terus menerus. Maka tegakah aku, yang beruntung memiliki orang tua yang mampu mendidik dengan baik, sehingga sekarang menjadi pedagang yang sukses, untuk menyerahkannya ke polisi. Jika kulakukan, hakekatnya akulah yang maling, mencuri kebebebasan orang malang yang terpaksa mencuri guna menolong istrinya yang jatuh sakit.
Tanpa terasa hari bernajak pagi, kubuka tali yang mengikat tangan lelaki itu, dia memandangku tak percaya. “Bisa mengantarkanku ke rumahmu?”
“Untuk apa?” penuh ketidakmengertian.
“Aku ingin membuktikan kata-katamu.”
“Tolong jangan ceritakan kejadian ini pada istriku. Dia seorang istri yang lembut, setia, baik dan menerimuku apa adanya, aku khawatir dia akan marah melihatku menjadi maling.”
“Jangan khawatir, akan kubilang kau kerja lembur padaku. Baru bisa pulang pagi ini.”
“Pak!“ seru istriku, ada nada kecemasan di raut wajah. Aku tersenyum meyakinkan.
“Tidak apa-apa, Bu! Dia sosok manusia yang malang, sebagai sesama manusia aku mesti membantunya. Tenang saja, aku yakin dia tidak berbohong.’
“Kalau ada apa-apa dengannya, semoga aku dikutuk gusti Allah di dunia dan akhirat. Percayalah! Aku mempertaruhkan nyawaku untuknya,” mau tidak mau istriku menganggukkan kepala.
Kami tiba di desa terpencil. Untuk sampai ke rumah yang dituju, harus berjalan sejauh lima ratus meter. Aku terkesima memandangi rumah gedek, yang luasnya mungkin 3x4 meter. Lantai rumah berasal dari tanah liat, kursi-kursi sederhana yang tak terurus, ranjang dari kayu di ruang tamu, satu kamar, dan dapur sederhana. Aku mulai memahami ungkapan-ungkapannya.
“Bu, ini Mas Anto, ju…ra…gan baruku!”
“Maaf, rumah kami berantakan,” wanita setengah baya itu berusaha bangun, tubuhnya kurus, rambut awut-awutan, dan pandangan mata hampa.
“Tidak usah bangun!”
“Suamiku berbohong, ya?” Hati seorang istri tidak dapat dibohongi. Dia memahami kata-kata “juraganku”, adalah kata-kata bohong yang dirangkai suami untuk menghibur dirinya. Mungkin dia mencuri, tertangkap, dan disuruh berpamitan.
“Mari kita bawa istri Bapak ke Puskesmas, guna memperoleh perawatan yang semestinya.”
“Bukan dibawa ke kantor polisi?”
“Ibu jangan berpikir macam-macam, yang penting sekarang ikut kami.” Lelaki itu menggotong istrinya ke mobil Carry yang diparkir di jalan raya. Lima ratus meter menggendong tanpa berhenti, suatu ungkapan kesetiaan yang luhur. Aku yang tidak diperkenankan membantu, belum tentu sanggup melakukan hal yang sama.
Aku kagum melihat kedua suami istri yang malang. Mereka berdua memberikan contoh hubungan suami istri yang seharusnya, yang terjalin dibalut kesetian, dan keinginan saling memberi antara yang satu dengan lainnya. Rumah tangga seperti ini akan langgeng.
“Untung datang tepat waktu,” ujar dokter yang merawat. “Terlambat sedikit, nyawanya tidak akan tertolong, dia terserang penyakit tifus akut.”
“Terima kasih, Mas!” berulangkali ucapkan terima kasih dihaturkan padaku. Aku bahagia mendengarkannya.
Nilai uang yang kukeluarkan untuk membantu, hakekatnya tidak seberapa, tapi karena diberikan pada orang yang benar-benar membutuhkan, menjadikannya bernilai sangat mahal. Besar kecil sebuah sumbangan tergantung sejauh mana kebutuhan orang atau lembaga yang dibantu. Antara sumbangan dan kebutuhan menjadi mata rantai yang tak terpisahkan, guna mengetahui nilainya.
Kesehatannya mulai pulih setelah dirawat seminggu. Dia diperkenankan pulang. Aku bersedia mengantar mereka menuju rumah. Memberikan pertolongan pada seseorang harus tuntas, itulah prinsip hidupku. Kami melangkah menuju mobil di halaman puskemas.
“Tak ada kata-kata yang mampu mengungkapkan isi hati kami,” suami istri itu memegang tanganku, dan secara bersamaan tersungkur dihadapanku seperti orang yang menyembah. Aku mengangkat tubuh mereka, air mata haru menetes di pipiku. Saat itulah aku merasa menjadi manusia. Aku menjadi manusia utuh yang peduli pada nasib sesama. Selama ini aku bekerja pontang panting, siang malam tak mengenal waktu, hanya demi tujuanku sendiri. Kini kusadari makna harta yang kucari selama ini, yakni agar memberi manfaat bagi sesama manusia. Aku mengenang hari ini, sebagai hari yang membahagiakan bagiku dan keluarga. Hari yang tak pernah dilupakan seumur hidup.
Wonosari, 12 Januari 2003


Mimpi Buruk
Zamhari Hasan

“Kita putus, sekarang!”
“Kenapa harus putus? Apa salahku?”
“Pokoknya putus, tidak ada kata lain.” Pradipta melangkah pergi meninggalkan Eko yang penasaran. Kata-kata putus, merupakan sesuatu yang menakutkan bagi sepasang kekasih. Dia membiarkan Pradipta pergi, tak berusaha mengejar.
Sewaktu melangkahkan kaki di jalan trotoar menuju ruang kuliah, kedua matanya menyaksikan Pradipta berjalan bersama seorang pemuda tampan. Dia mengerti makna kata putus itu. Mencintai Pradipta merupakan keputusan yang terburuk yang pernah dibuat; dia seorang gadis cantik, rambut terurai indah, mata memancarkan kelembutan, tubuh tinggi semampai, mulut tipis dan body yang aduhai membuat setiap orang ingin menelannya hidup-hidup. Belum lagi latar belakang keluarga yang berasal dari pengusaha terpandang. Sedang dia, seorang mahasiswa perantau dari Madura, wajah biasa-biasa saja, hanya mengandalkan kecerdasan yang di atas rata-rata.
Pradipta mau berpacaran dengannya, karena dia mahasiswa paling cerdas, dan rajin kuliah, sehingga dia bisa dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingannya. Begitu kepentingan habis, habis juga masa berpacaran yang dianggap terindah baginya. Masa-masa nonton di bioskop 21 atau Planet Hollywood, makan di restauran mewah, dan pulang pergi diantar mobil Mercedes Bens, berakhir sudah.
“Hei, kembali ke asal nih ye!”
“Mana tuan putri yang sedia antar jemput?”
“Baru dicampakkan rupanya.”
“Ha ha ha!” Kerumunan teman-teman di kampus mengejeknya, dia berusaha meneguhkan kesabaran, berusaha menerima segala kenyataan yang ada.
Dia melanjtkan langkahnya, di pertigaan jalan telinganya mendengar percakapan, dia seperti mengenali suara yang sedang berbicara. “Aku mencampakkan pacarku yang tak berguna lagi.”
“Huss! Jangan bilang begitu.”
“Memangnya, kenapa? Tidak ada yang istimewa pada dirinya, mengharapkan cinderela dari langit.” Mereka tertawa semua, menertawakan dirinya.
“Sejelek apapun, dia pernah jadi pacarmu, lho!”
“Pacar apa pengawal? Dia patuh kusuruh-suruh; menyalin catatan untukku, menulis tugas-tugasku, dan setia mengantarkanku kemanapun aku suka. Aku menganggapnya seperti budakku.”
“Hhmm!” Dia mnghirup nafas tiga kali, menenangkan gemuruh jiwa yang menggelora. Seandainya yang mengatakan seorang lelaki, dia akan menghajarnya. Sayang yang mengatakan seorang wanita, wanita yang pernah benar-benar dicintainya. Kini tak ada rasa cinta yang tersisa dalam hati, melihat kenyataan yang ada.
Dia berjalan lewat arah lain, menghindar percakapan mereka yang dikhawatirkan akan menimbulkan sesuatu yang tidak diingankan. Ia ingin mengendalikan diri. Ia ingin mengendalikan emosi yang bergerak. Ia ingin menyingkirkan amarah yang membara. Ia ingin menghilangkan sisi gelap dalam dirinya, lewat menghindar dari sesuatu yang tidak diinginkan. Dia berjalan memutar.
Sepulang kuliah, dia menunggu bus kota. Sebuah mobil BMW melaju perlahan mendekatinya, salah seorang penumpang menumpahkan air kemukanya. Mobil itu melaju pergi, disertai tawa terbahak para penumpannya, yang salah satunya adalah Prabdita.
“Mobil kurang ajar, mengapa tidak dikejar Mas?”
“Tidak ada gunanya.”
“Mentang-mentang orang kaya seenaknya.”
“Biarkan saja. Mereka hanya ingin bersenang-senang.”
Dia tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya dua hari ini. Dia sebenarnya yang disakiti, diputus pacarnya, dicaci maki di depan teman-teman, dan disiram air dari mobil. Kenapa seorang Prabdita, yang dikenal gadis yang lembut berubah total dalam sekejap. Dia berusaha mengingat semua yang pernah dialami selama ini, agar diketahui kesalahannya. Dengan mengetahui kesalahan, siapa tahu ia dapat mengerti apa yang terjadi padanya. Semua ingatan dikembalikan, tidak ada suatu alasan atau kesalahan berarti yang pernah dilakukan.
“Dita, tunggu sebentar!” Dia mencegahnya di depan kampus.
“Aku terburu-buru,” Prabdita hendak melangkah pergi. Cekalan tangan yang kuat menghentikan langkahnya. “Auu! Sakit. Jangan penggang tanganku keras-keras, kau bukan siapa-siapa bagiku.”
“Aku tahu. Ini bukan berarti aku ingin kembali padamu. Aku hanya ingin penjelasan sikapmu yang keterlaluan. Apa salahku?”
“Oh, kau ingin tahu salahmu. Salahmu adalah …,” Prabdita berpikir sejenak. “Kesalahanmu berasal dari orang miskin, kesalahanmu memiliki wajah yang tidak tanpan, kesalahanmu mencintaiku.”
“Bukankah itu naluri manusia yang wajar? Cinta anuegrah Ilahi pada setiap hamba dalam menikmati kehidupan. Lebih baik kau tidak bersedia menjadi pacarku dulu, jika akan berkahir begini.”
“Itulah keputusanku paling bodoh. Sudahlah, aku masih ada urusan,” dia mengibaskan tangannya, pergi meninggalkannya termangu-mangu.
Pulang kuliah Prapdita mengajaknya jalan-jalan, tanpa curiga dia ikut. Siapa tahu dia mendapatkan penjelasan yang berarti, atau dia ingin rujuk kembali. Mobil Mercedes Bens yang ditumpangi, berhenti di bangunan yang belum rampung. Suasana sepi.
“Tunggu, sebentar! Aku ingin buang air kecil.” Dia hanya mengangguk tanpa rasa curiga. Tiba-tiba muncul sebuah mobil BMW, empat orang lelaki tegap keluar, dipimpin Alex. Mereka menariknya dari mobil, dia berusaha meronta dan melawan.
“Ada apa ini?”
“Terimalah ini!” Eko menerima pukulan di wajahnya. Dia berusaha melawan, apa daya melawan empat orang yang garang, mereka bertubuh kekar, dengan tato di sana-sini. Pukulan dan tendangan yang bertubi-tubi membuatnya jatuh bangun. Dia sempoyongan.
“Cukup sayang!” seru Prapdita dari belakang.
“Ja…di, ini ulah…mu Di…ta,” dia terbata-bata.
“Ha ha ha! Kau pintar baca buku, tidak pintar menangkap maksud orang. Ayo kita pergi!”
“Ini tendangan perpisahan!” Eko jatuh tersungkur, tidak ingat apa-apa. Begitu kesadaran muncul, dia telah berada di rumah sakit. Empat hari dirawat, baru diperbolehkan pulang..
Ketika kesehatan pulih seperti sedia kala, dia kuliah lagi. Materi yang disampaikan dosen tidak ada yang diingat, konsentrasinya hilang, pikiran kacau. Dia mencoba mengalihkan dengan membaca buku di perpustakaan.
Dia mengambil buku sastra, duduk di pojok ruangan yang sepi, buku itu dibukanya, aneh yang tampak Prapdita sedang tertawa. Dia membuka lembar selanjutnya, yang tampak Prabdita sedang tertawa. Dia menatap langit-langit perpustakaan, yang tampak Prabdita sedang tertawa. Dia menatap foto yang ada di dinding, yang tampak Prapdita sedang tertawa. Dia memejamkan mata, yang tampak Prabdita sedang tertawa. Dia benar-benar tak bisa menguasai ingatan dan penglihatannya. Semua hal menjadi Pradibta yang sedang tertawa.
**********
Kampus geger, sosok mayat wanita cantik ditemukan di kamar mandi. Pakaian compang-camping, dari mulutnya keluar busa, dan nampak seperti bekas pemerkosaan. Polisi yang datang ke TKP, mengumpulkan semua barang bukti. Orang-orang yang terkait dengan korban diinterogasi di kantor polisi.
Koran-koran menulis headline hari itu tentang pembunuhan di kampus terhadap mahasiswi, putri pengusaha terpandang. Penangkapan Alex pacar baru korban menimbulkan kehebohan. Polisi menemukan sidik jarinya di kamar mandi. Sedang Eko dijadikan saksi karena berstatus sebagai mantan pacar.
Dalam keterangan polisi, bukti-bukti yang ada di TKP, bekas tangan di leher Prapdita, di baju yang compang-camping, dan di dinding kamar mandi menguatkan indikasi bahwa pelakunya adalah Alex. Polisi hanya tidak menemukan alasan kenapa dia membunuhnya. Polisi sempat curiga pada Eko, sebab dari keterangan beberapa saksi, mereka baru putus berpacaran dan korban beberapa kali menyakitinya, namun tidak ada bukti sedikitpun yang bisa dikaitkan dengannya. Sehingga dia bebas dari segala tuduhan.
Usaha Alex menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, tidak diindahkan polisi. Alex menjelaskan bahwa mereka saling mencintai, tidak mungkin membunuhnya. Pada waktu kejadian, dia berkencan di kamar mandi, lalu seorang lelaki muncul membiusnya, dia tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu keesokan hari, Prapdita ditemukan tewas. Polisi tidak percaya cerita ini.
Dia juga bilang pada polisi, bahwa mereka sempat menghajar Eko bersama teman-temannya, untuk menunjukkan yang bermasalah dengan korban adalah Eko. Meskipun ini diperkuat saksi-saksi yang menghajar Eko, tapi bukti-bukti keterlibatannya tidak ada sama sekali, sementara seluruh bukti yang ada mengarah padanya. Alex hanya bisa pasrah menerima nasib.
Dalam pengadilan yang sangat menghebohkan, pengunjung yang hadir memenuhi ruang sidang. Mendengar pembelaan terhadap Alex yang dianggap pembunuh kejam, mereka bilang “Huuuu!” Bersama-sama. Opini di media massa menguatkan bahwa dia memang anak nakal yang bergaul dengan preman-preman jalanan, dan dialah pembunuh sebenarnya. Hakim memutuskan hukuman 20 tahun penjara kepadanya. Disambut sorak sorai para pengunjung, karena pembunuh telah menerima hukuman yang setimpal. Biar menimbulkan efek jera pada para penjahat.
***********
“Eko, kemarilah!”
“Tidaaak! Kau sudah mati.”
“Bukankah kau ingin kembali padaku, sayang. Hi hi hi!”
“Jangan ganggu aku!”
“Aku tidak akan pernah berhenti mengganggumu. Hi hi hi!”
“Dalam hidupmu kau menggangguku, mengapa saat matipun kau masih menggangguku?”
“Karena kau pantas diganggu!” Gadis berbaju putih yang berjuntai ditiup angin, mendatangi Eko, dan mencekik lehernya. Dia berteriak keras.
“Jangaaan!” Eko kaget membuka kedua kelopak mata, dia bangun dari mimpi yang menakutkan. Ini mimpi yang kesekian baginya. Tidak ada tidur yang dilalui tanpa mimpi buruk. Malam-malam yang sunyi, dia terbangun mimpi buruk datang lagi. Semakin hari, mimpi buruk bertambah kuat mengitari, membuatnya jarang tidur. Perlahan-lahan tubuhnya mulai kurus. Dia tidak bergairah menjalani kehidupan.
Dia berusaha untuk tidak tidur, rasa kantuk yang tak tertahankan memaksanya tertidur, sehingga mimpi buruk datang kembali. Bahkan ketika tertidur sebentar di atas kursi, mimpi buruk pasti menemani.
Dia tidak kuat menerima kenyataan yang ada. Berhari-hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun berlalu, mimpi buruk tetap datang. Bahkan ketika dia pulang ke desanya setelah menyelesaikan kuliah, mimpi buruk setia menemani tidur-tidurnya. Dia mencoba pergi ke beberapa orang pintar agar mimpi buruk bisa dihilangkan, tak seorangpun sanggup menghilangkannya. Dia pergi ke psikolog, juga tak bisa menyembuhkan. Dia pergi berbagai macam orang, tak ada yang mampu menyembuhkannya. Dia hidup bersama mimpi buruk yang selalu hadir, kapan dan dimanapun dia tidur.


Perkawinan Bisu
Seperti biasa, Kardi pergi ke sawah membantu ayahnya. Dia menikmati bekerja di sawah yang hanya sepetak, mulai pagi sampai siang menjelang, kadang sampai sore jika pekerjaan belum selesai. Bekerja di sawah, dibelai angin berhembus, menghirup udara segar, pemandangan lepas sejauh mata memandang, padi-padi berdiri rapi, dan kali kecil yang mengalir ke setiap petak-petak sawah, menyenangkan sekali.
Dia menerima pekerjaan mengalirkan air di sawah milik orang lain, pembayaran sewaktu panen sesuai perjanjian, lumayan buat menambah penghasilan. Pekerjaan ini dilakukan sebelum membantu ayahnya, sebab pelayanan pada orang lain terkandung kontrak kerja yang jelas, meski tidak di atas kertas bermaterai. Dalam waktu yang tidak terlampau lama, mengaliri air itu selesai, dia berangkat ke sawah milik ayahnya.
Kedua kaki hendak menginjak tanah dalam langkah yang hampir mendekati sawah ayahnya, saat dia melihat seorang gadis sedang menyabit rumput. Rambut terurai panjang, wajah lonjong, dan tubuh tinggi semampai, tidak terlalu cantik, cukup menarik baginya.
“Ayo pulang Surti!”
“Hwk hwk hwk!” Dia tak mampu menangkap kata-kata itu, tapi dari isyarat anggukan kepala dia mengerti. Saking asyiknya menatap, kakinya melayang, terjerempab di kali kecil. Gadis itu tertawa, dia tersenyum malu-malu. Sesuatu bergetar dari lubuk hati.
“Makanya lihat-lihat.”
“Hwk hwk hwk!” tangannya menunjuk seorang gadis.
“Kenapa dengan gadis itu?” Ayahnya berbicara sambil memberi isyarat menggunakan tangan. “Kau suka?”
“Hwk hwk hwk!” dia menganggukkan kepala. Ayahnya tersenyum, dia tahu anaknya bisu semenjak kecil, dan gadis yang menyabit rumput juga seorang yang bisu. Keinginan ayahnya mempersatukan mereka, bukan sesuatu yang sulit. Dia bekerja sangat bersemangat sekali, sehingga pekerjaan cepat selesai. Gadis impian membuatnya semakin bersemangat.
Ayah, ibu, dan dirinya datang ke rumah gadis itu, pada malam harinya. Keluarganya menyambut gembira kedatangan mereka..
“Pasar mulai ramai, ya?” Kebetulan keluarga Surti berjualan pakaian di pasar tradisional.
“Justru sedang sepi, daya beli masyarakat menurun. Maklum, harga-harga yang melambung tinggi gara-gara kenaikan harga BBM, listrik, dan telepon, membuat masyarakat lebih memilih untuk membeli kebutuhan pokok, dari pada membeli pakaian. Apalagi harga produk pertanian menurun, mereka benar-benar dipaksa melakukan penghematan.”
“Sama, kami barusan terpukul harga tembakau yang jatuh di pasaran, sehingga persiapan untuk belanja empat bulan berantakan. Terpaksa menjual yang ada. Sekarang mencoba menanam padi, semoga saja harganya bisa tinggi seperti BBM, biar berimbang.”
“Ngomong-ngomong ada perlu apa?” tuan rumah menenangkan kegelisahan Kardi. Surti keluar menyuguhkan teh. Dia tersenyum, membuat jantungnya berhenti berdegup. Mereka yang hadir sama-sama menahan senyum.
“Begini!” Surti melangkah ke dalam. “Anak kami tertarik pada putri Bapak. Kami ingin melamar untuknya.”
“Benarkah?”
“Benar sekali. Sebelumnya perlu diketahui bahwa anak saya bisu. Walau demikian dia sorang pekerja keras, dia bekerja mengaliri sawah milik orang, dan rajin membantuku di sawah. Insya Allah, mengenai kebutuhan materi cukup diandalkan.”
“Ini benar-benar rahmat yang luar biasa bagi kami. Tentu kami menerima lamaran Bapak dengan senang hati. Apalagi kedua orang itu nampaknya sudah saling memberi isyarat persetujuan. Putra Bapak tidak perlu duduk gelisah lagi.”
“Ha ha ha!” mereka tertawa bersama-sama. “Kardi dia menerima lamaran kita,” ayahnya berbicara sambil menggunakan isyarat tangan. Dia menganggukan kepala berulang kali, sambil menyalami ayah, dan calon mertuanya.
Suatu proses waktu yang tidak membutuhkan waktu lama. Padahal dalam dunia orang-orang yang berkata-kata, proses pengenalan dan pacaran bisa mencapai bertahun-tahun, malah lebih sering gagal, sedang bagi orang-orang yang tidak menggunakan kata-kata cukup dengan isyarat senyum. Senyum lebih bermakna dari jutaan kata-kata.
Kedua keluarga menyadari bahwa mereka disatukan dalam satu nasib, melahirkan anak-anak yang bisu. Mereka bangga pada anak-anaknya mau bekerja keras menjalani kehidupan yang memang keras.
Mereka berbahagia ternyata Allah benar-benar memberikan keadilan, dengan perjodohan antara mereka. Sebelumnya mereka dipusingkan tidak kawin-kawinnya anak mereka. Mereka telah pasrah jika anak-anaknya tidak kawin. Keadaan mereka yang bisu, membuat mereka memahaminya. Justru dalam kondisi demikian, keduanya dipersatukan dalam suatu mahligai rumah tangga.
Kedua mempelai melakukan akad nikah disaksikan keluarga dari kedua belah pihak, dan penduduk sekitar. Modin yang mengawinkan sempat kebingungan bagaimana prosesi akad nikah dilangsungkan. “Pembacaan Syahadat dari mempelai laki-laki?”
“Dia tahu membaca syahadat dalam hati. Biar saya yang berbicara,” bapaknya menyuruh membaca syahadat, dengan menggunakan bahasa lisan dan isyarat tangan. Dia memejamkan mata, begitu selesai kedua mata dibuka.
“Baru kali ini, saya menikahkan dua orang seperti ini. Tapi saya menikmatinya sebagai karunia Allah. Apa selanjutnya?” Modin tidak bisa mengatur seenaknya lagi.
“Prosesi selanjutnya menggunakan tulisan tangan, yang telah disediakan kedua pihak keluarga. Kedua mempelai tinggal mengangkat tulisan yang disediakan.”
“Baik dipersilahkan pada mempelai laki-laki!”
Saya dari pihak laki-laki memberikan mas kawin seperangkat alat sholat dan Al-Qur’an kepada pihak wanita Surti Hartatik. Tulisan ini diangkat pihak laki-laki, modin mengangguk.
“Sekarang, pihak perempuan!”
Saya menerima mas kawin seperangkat alat sholat dan Al-Quran secara langsung dengan tulus ikhlas. Modin mengangguk
“Pihak laki-laki silahkan mengucapkan akad nikah, maaf menuliskan akad nikahnya.”
“Ha ha ha!” Orang-orang tertawa, sedang keringat Modin nampak bercucuran.
Saya terima nikahnya Surti Hartatik Binti Sarbini, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan Al-Qur’an langsung. Kembali tulisan diangkat.
“Bagaimana saksi? Sah pernikahan ini.”
“Ya, sah!” Dilanjutkan penyerahan pihak perempuan pada pihak laki-laki yang diwakili kedua orang tua masing-masing. Perkawinan yang menyita perhatian penduduk selesai, banyak di antara mereka yang tersenyum simpul, menyaksikan perkawinan yang sangat luar biasa antara dua mempelai.
Perkawinan ini sama sekali tak membutuhkan kata-kata, kata-kata milik orang-orang yang berbicara. Orang yang berbicara bisa memanipulasi kata dengan caranya; seorang plaboy berkata-kata dengan kebohongan, seorang pengusaha berkelit dengan kebohongan, seorang pejabat memaniskan kata agar rakyat terbuai, seorang koruptor menghalakan segala cara bekerja sama dengan hakim, jaksa, dan pengacara agar lolos dari huku. Semua masalah berangkat dari kata-kata yang tidak bermakna kata-kata, untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Maka ketika kata-kata disingkirkan kedua mempelai ke dalam jurang terdalam dari kehidupan mereka, hakekatnya mereka menunjukkan bahwa hidup tidak memerlukan kata-kata.
Mereka bersyukur dengan keadaanya bisa menemukan jodoh yang sama, saling mengisi satu sama lain, dalam kehidupan rumah tangga kata-kata justru sering menjadi hantu menakutkan yang menghancurkan kehidupan keluarga. Berapa banyak perkawinan hancur karena fitnah? Berapa banyak perceraian karena pergunjingan? Berapa banyak perkawinan yang tercerai berai karena miskomunikasi? Semuanya bersumber pada kata-kata.
Tak berartinya kata-kata, membuat mereka bisa mengarungi bahtera rumah tangga dengan komunikasi yang hanya mereka mengerti sendiri. Mereka bisa menutup rapat rahasia rumah tangga, sebab sulit rasanya berbicara panjang lebar dengan orang lain tanpa kata. Kehidupan rumah tangga ini akan langgeng, sebab prahara yang disebabkan dari dalam dan luar bisa dihilangkan.
Mereka bisa berbicara dalam tatapan mata, gengangaman tangan yang erat, pelukan mesra, menggunakan bahasa hidung, dan mengekspresikan seluruh tubuh dalam kata-kata yang sesungguhnya. Malam pertama benar-benar tidak membutuhkan kata-kata.
Wonosari, 22 januari 2003


SEKILAS TENTANG PENULIS
Penulis dengan nama Ahmad Zamhari Hasan, aktif membaca dan menulis sejak kelas III pesantren Al-Amien Madura atau setingkat kelas III SMP/MTs. Garis nasib menaqdirkannya hanya kuliah sampai semester III STIDA yang kini berubah menjadi IDEA dan kuliah informal DII di Pesantren Tinggi Al-Amien, serta menjadi pedagang kecil di pasar tradisional Wonosari. Lebih banyak belajar otodidak tentang sastra; cerpen, novel, drama dan puisi, skenario, filsafat, Islam, dan politik, dengan menyisihkan sebagian uang hasil berdagang untuk membeli buku-buku yang bermacam-macam.
Ketika mondok di Pesantren Al-Amien mempelopori lahirnya SUASA (Suara Sastra Al-Amien) aktif menulis kolom, cerpen dan artikel, menjadi staf redaksi majalah Qolam, mempelopori penerbitan majalah Al-Hikam. Pengalaman hidupnya adalah Mengajar di Pondok Pesantren Al-Amein Madura dua tahun, Mengajar Bahasa Indonesia di pondok pesantren Ciburuy Bogor satu tahun setengah, Mengajar Bahasa Indonesia di SMA Islam Pecalongan 3 bulan, Mengajar di TPA dan MQA Al-Azhar Wonosari 6 tahun.
Prestasi yang pernah dicapai adalah Juara baca tulis cerpen Se-Madura di Talang Sumenep, juara pertama karya tulis cerpen, ilmiah populer, dan artikel di Pesantren Al-Amien, dan tulisannya pernah dimuat di harian Surya saat berusia 22 tahun.
Karya tulis yang dihasilkan adalah novel : novel Bidadari Posmodern terbit bulan September 2006, Berniaga Dengan Iman, Kiat-Kiat Agamis Menjadi Saudagar terbit Oktober 2006, BELAJAR OTODIDAK, Kuliah Alternatif Dalam Abad 21 terbit bulan Desember 2006, dan kumnpulan cerpen Setitik Harapan terbit Januari 2007. Novel Pengabdi Kemulyaan Cinta Sejati, tiga ontologi puisi; Menjangkau Tuhan, Aceh Tersenyum Bahagia, dan SMS TUHAN, membuat kumpulan tulisan tentang Pembacaan Kreatif (belum terbit), Membuat Skenario film layar lebar: Bidadari Posmodern, skenario sinetron; Permainan Cinta (Belum difilmkan atau disinetronkan).
Kumpulan cerpen ini merupakan cerpen-cerpen yang ditulis dalam kurun waktu tiga tahun yakni 2003-2006, meski sebagian di antaranya mungkin ditulis dua tahun sebelumnya. Ini menunjukkan kesungguhan, kerja keras, optimalisasi perasaan, imajinasi, pikiran, dan hati nurani dalam menulis setiap cerpen yang ditulis. Meski disadari usaha yang maksimal, proses yang optimal, belum tentu menghasilkan karya yang monomental.

Pengelola www.sampenulis.blogspot.com
Berhubung Kuliah Alternatif Online (KAO) dilakukan secara Gratis bagi siapa saja yang mau mengikutinya, maka perlu sumbangan dermawan ke No. Rekening 01081817202 Bank Muamalat cabang Jember atas nama SAMHORI.